Donny BU: Hoax Bukan Salah Teknologi Informasi dan Media Sosial

Senin, 16 Januari 2017 | 07:00 WIB
Donny BU: Hoax Bukan Salah Teknologi Informasi dan Media Sosial
Pakar sekaligus peneliti teknologi komunikasi dan informasi atau Information and Communication Technology (ICT), Donny Budi Utoyo. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dewan Pers akan memberikan barcode atau tanda khusus kepada media yang sudah terverifikasi. Menurut Anda apakah ini efektif?

Niat itu baik dan perlu didukung. Mereka akan melakukan register dan verifikasi. Gagasannya bagus, kalau publik ingin berita yang benar, maka lihat dulu media itu ada penandanya atau tidak. Media yang tidak terdaftar, tidak dijamin medianya itu benar. Sehingga muncul konstruksi, bahwa media yang tidak mempunyai tanda itu kemungkinan beritanya hoax.

Tapi jangan-jangan setelah aturan registrasi dan verifikasi, media itu harus mempunyai lisensi. Jika itu terjadi, maka akan kembali ke zaman orde baru yang mengharuskan media mempunyai SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan).

Saya bilang, ini harus hati-hati. Jangan-jangan nanti Dewan Pers meminta lisensi. Tapi untuk saat ini Dewan Pers yang diduduki Nezar Patria dan Stanley bilang tidak mungkin balik ke zaman orde baru. Tapi masalahnya syaratnya sudah dua terpenuhi, register dan verified, selain itu nggak dijamin.

Ini harus hati-hati mudah tergelincir. Kalau orang-orang seperti Nezar Patria atau Stanley sudah tidak di sana bagaimana? Jangan sampai penanganan seperti ini jadi top down. Saya belum mendengar usaha dari Dewan Pers dan Kominfo bergerak di sisi hulu, seperti literasi digital. Apa sih berita yang kredible? Yah harus dilihat informasi awal dan kredible.

Anda melihat pemberian label di media ini tidak efektif…

Mundur sih nggak, teknologi maju terus. Hanya saja cara berpikirnya yang tidak selaras dengan kecepatan teknologinya. Kenapa tidak kita bikin kampanye bersama di Facebook dan Twitter. Beri Twitter dan Facebook diskon pajak 80 persen. Tapi pasang iklan hoax semasiv mungkin, itu misalnya.

Kemudin upaya di hilir tadi harus berbarengan dengan upaya di hulu dengan mencerdaskan masyarakat dan membentuk kritis membaca informasi. Presiden Joko Widodo harus panggil Menkominfo dan Menteri Pendidikan.

Dibuat kurikulum tentang teknologi informasi, bukan kurikulum cara pakai komputer. Tapi bagaimana mereka bisa aman di internet. Sekarang pemerinth lebih sibuk di hilir. Jangan-jangan nanti berita hoax-nya akan lebih canggih lagi.

Negara juga akan membentuk Badan Siber Nasional untuk mengatasi hoax. Sejauhmana badan ini bisa berhasil? Apa masukan Anda untuk konsep badan ini?

Badan Siber Nasional penting. Badan ini akan masuk di bawah Lemsaneg. Penting untuk menjaga infrastruktur IT di Indonesia. Tapi kalau badan ini untuk melawan hoax, yah terlalu ecek-ecek. Tapi nggak apa-apa, mungkin nanti akan berkembang. Jadi hoax akan menjadi salah satu tujuan kerja mereka. Tapi yang lebih besar adalah membangun infrastruktur teknologi informasi Indonesia.

Jangan-jangan badan ini akan menjadi tukang blokir…

Itu dia yang harus kita kawal bareng. Sekarang di UU ITE sudah masuk pasal 40 tentang pemerintah bisa putuskan akses. Pertanyaannya, yang belum beres dibahasa adalah bagaimana prosedur pemutusan akses itu.

Sebenarnya ada aturan menteri tentang penanganan konten negatif, atau Permen Blokir. Permen itu dirilis pada zamannya Tiffatul Sembiring yang dinilai masih perlu disempurnakan. Terkait tentang prosedur yang transpran, akuntabel dan professional. Jika perlu harus lewat pengadilan untuk kasus-kasus tertentu. Saya pernah ngobrol sama Kominfo, katanya Permen ini jadi prioritas untuk direvisi. Jadi jangan semena-mena pemerintah memblokir.

Bagaimana perbandingan negara lain seperti di Eropa, Australia atau di Amerika untuk mengatasi persoalan keamanan internet?

Kalau di negara maju, fake news itu juga jadi ancaman. Tapi masyarakatnya tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya teknologi. Di Indonesia, sebelum tahun 1998 belum bisa bicara apa-apa. Begitu ‘keran’ berpendapat dibuka pasca1998, ini bablas. Mereka yang tidak biasa berdebat dan menyaring informasi.

Tahun 1999-2000 internet mulai ramai di Indonesia, jadi ada gegar teknologi. Negara maju, ngaconya sama. Tapi masyarakatnya termasuk lebih nature terhadap teknologi. Di Amerika sudah banyak edukasi tentang internet sudah ada.

Bahkan Amerika mengatur penggunaan internet untuk melindungi anak. Jadi sejak kecil sudah dibangun kultur pakai internet. Jadi bukan bicara soal internet siap atau tidak siap, tapi ini soal masyarakatnya harus lebih siap. Banyak yang bicara soal literasi digital, tapi tidak ada yang mengerjakan.

Tahun 2016, survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mencatat 132 juta orang Indonesia adalah pengguna Intenet. Naik 50 persen di banding 2014. Bagaimana mendidik mereka agar Bisa menggunakan internet dengan cerdas dan aman?

Yang harus dilakukan intervensi masuk ke kurikulum. Kurikulum sekolah itu kan investasi. Investasi cara berpikir, nalar dan akal budi kan investasi. Tapi kata Kemendikbud, nggak mudah mengubah kurikulum. Saya sudah bilang dengan Anies Baswedan dan Mendikbud sekarang. Bahkan Mendikud Muhajir mengatakan penting kurikulum.

Apa yang dimasukan ke dalam kurikulum itu?

Di era teknologi saat ini, murid harus diberikan pilihan. Memperlakukan siswa untuk memandang teknologi dengan berpikir kritis. Tidak bisa mendoktrin kebenaran yang tunggal. Literasi digital adalah kemampuan anak untuk memilah dan memilih informasi menggunakan ICT. Bukan bicara soal bagaimana bisa pakai komputer.

Di Internet Sehat, kami sedang menerjemahkan buku literasi digital yang dipakai di Uni Eropa. Buku itu untuk guru dan murid. Buku itu gratis, dan tanpa harus bayar. Jadi bisa dipakai siapa saja. Saya ingin tunjukan ke Mendikbud. Buku itu sudah lama di UN dan banyak diadopsi negara lain. Judul bukunya ‘Web We Want’.

Selain kurikulum, lewat mana lagi pendidikan literasi media bisa dilakukan?

ICT Wacth bersama Wacthdoc akan merilis film dokumenter ‘Lenteramaya’. Film ini mengisahkan tantangan merawat demokrasi dan toleransi di internet. Selain menjadi catatan sejarah tentang pergulatan antara para penyampai kebijakan dan toleransi versus penyebar hoax dan radilalisme di dunia maya.

Film dokumenter ini diharapkan juga menjadi pengingat dan penyemangat bagi netizen Indonesia untuk berupaya merawat toleransi di Indonesia.

Jadi kami mendorong masyarakatnya yang berdiskusi, jadi mereka mendiskusikan masalah internet ini di kalangan mereka. Sehingga dengan sendirinya membentuk anti-body dan sel sendiri. Jadi jangan sampai pertempuran hoax antar orang di sosial media. Akun A bicara begini, lalu akun B bicara begini. Itu tidak akan selesai. Kan yang menyebarkan informasi hoax juga unlimited jumlahnya.

Makanya kami terpikir, yah tidak apa-apa kalau ada komunitas anti hoax dan sebagainya. Tapi kita bikin proses imunisasi dengan cara seperti itu. Itu kita buat sejak 6 tahun lalu. Tiap tahun selalu ada isu dan buat dokumenter.

Dokumenter itu tentang isu-isu internet. Tahun lalu kita buat tentang internet masuk desa, bagaimana desa berdaya dengan ICT. Sebab tahun lalu ada isu tentang dana desa. Makanya kita buat film dokumenter, bagaimana mereka bisa pakai ICT.

Profil singkat Donny Budi Utoyo

Donny Budi Utoyo atau yang biasa disapa DBU merupakan Direktur Eksekutif ICT Watch, sebuah lembaga yang banyak bekerja di bidang literasi kegiatan dunia maya atau intenet. DBU salah satu pelopor gerakan Internet Sehat di Indonesia. Lulusan Computer Engineering di Universitas Gunadarma, Jakarta itu memang pakar di dunia maya. DBU pernah berkarir menjadi jurnalis teknologi dan membesarkan sebuah media cyber.

Sejak tahun 2000, Donny sudah mulai terlibat dalam aktivitas literasi internet sebagai penyiar radio dan kolumnis di tengah kesibukannya sebagai jurnalis media online. Saat ini lelaki lulusan master Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu menjadi pengajar di beberapa universitas.

Hingga kini Donny pun aktif menjadi peneliti di Citizen Lab, Universitas Toronto. Dia merupakan inisiator beberapa pertemuan teknologi informasi tingkat internasional. Di antaranya Rights Con Southeast Asia, Manila (2015),  Indonesia CSOs Network for Internet Governance, Jakarta (2012), Southeast Asia Freedom of Expression Network, Jakarta (2013), Indonesia Secretariat, IGF XII, Bali (2012 –2013), dan Indonesia Internet Governance Forum, Jakarta (2012). Donny aktif memberikan pemikiran dan masukan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di bidang teknologi informasi, terutama media sosial dan internet.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI