Suara.com - Peristiwa demo massa anti Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2 Desember 2016 yang berakhir rusuh sempat menimbulkan genting. Malam itu, beberapa televisi nasional menayangkan kerusuhan itu.
Gambar pembakaran mobil polisi menghiasi televisi selama berjam-jam. Jika televisi dibiarkan menayangkan kerusuhan itu, bisa jadi akan menyulut masyarakat di luar kawasan Jakarta juga rusuh.
Buktinya malam itu juga ada penjarahan sebuah minimarket di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Polisi mengatakan penjarah memanfaatkan demo rusuh setelah menonton di televisi. Hal serupa pernah terjadi tahun 1998. Saat itu sentiment SARA menguat.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis langsung mengirimkan pesan singkat ke masing-masing direktur utama televisi swasta. Isinya imbuan menghentikan siaran yang menayangkan gambar kerusuhan. SMS itu dituruti.
Penggalan cerita itu diulang saat heboh persidangan Ahok yang dituduh menistakan agama. KPI mengumpulkan berbagai pihak, termasuk pihak penegak hukum, Dewan Pers dan pemimpin redaksi media. KPI mengimbau televisi tidak menyiarkan langsung sidang Ahok dengan berlebihan.
Tugasnya sampai 2019 ke depan akan dihadapi dengan permasalahan rumit. Sampai tahun 2019 itu dianggap sebagai tahun politik. Sebab ada pilkada serentak tahun 2017 dan Pilpres 2019. Di sisi lain, sebagain besar media penyiaran dimiliki oleh politisi.
“Misalnya MNC media, mungkin dilihat itu punya Harry Tanoe. Tapi begitu dilihat lebih detil di masing-masing media MNC tidak ada nama Hary Tanoe (Ketua Umum Perindo) sebagai direktur utama dan komisaris utama,” kata Yuliandre saat berbincang dengan suara.com di ruang kerjanya di Kantor KPI, Jakarta akhir pekan lalu.
Hanya saja Yuliandre yakin bisa melewati tahun politik itu. Dia akan menjalankan peraturan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, meski dia akui banyak ‘bolongnya’.
Bagaimana usaha Yuliandre bersama 8 komisioner KPI lainnya untuk menghadapi tantangan ‘tahun politik’ sampai 2019?
Selain itu, ada tuduhan KPI sangat ‘akrab’ dengan pemilik modal media, bagaimana jawaban Yuliandre?
Simak wawancara suara.com dengan doktor Ilmu Komunikasi itu berikut ini:
Saat ini, media penyiaran kecenderungan menonjolkan fungsi hiburan. Meski dalam teorinya, media harus seimbang menjalankan fungsi pendidikan, informasi dan kontrol sosial. Apa terobosan KPI untuk mendorong media penyiaran menjalankan fungsi yang ideal itu?
Semangat dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, penyiaran digunakan sebagai saluran yang mencerdaskan kehidupan bangsa, itu salah satu tujuan dari Undang-Undang Dasar 1945. Dari hirarki itu banyak multi produk yang ditimbulkan, misalnya karakter dan watak bangsa, selain itu budaya Indonesia hadir dengan total, pada akhirnya tujuan ini adalah nasionalisme.
Lalu bagaimana menjadikan ini ideal? Memang agak susah karena banyak persepsi soal ideal. Masing-masing berbeda menterjemahkan ideal. Khususnya dalam sebuah proses penyampaian informasi. Sehingga orang bisa mengklasifikasi kan, mengapa dia menyatakan seperti ini dan itu.
Seperti beberapa media TV yang pemiliknya adalah politisi. Di saluran politik mereka, mereka beranggapan persepsinya harus begini. Tapi bagi orang lain ketika saluran itu digunakan untuk menjadi sebuah arena pertarungan kepentingan, tentu itu menjadi dianggap sebuah kepentingan politik. Akhirnya itu membuat media tidak menjadi ideal.
KPI memandang objektivitas itu harus hadir. KPI tidak ingin informasi tercampur dengan kepentingan politik, mentang-mentang ownernya adalah seorang politisi. Seolah-olah itu akan menyiarkan tentang politik terus.
KPI akan berjalan dengan profesional dan proporsional. Bagaimana media-media harus melaksanakan fungsinya. Sebagai fungsi hiburan, informasi, Edukasi, termasuk fungsi budaya. Sejauh itu bisa dilakukan oleh media, maka KPI beranggapan media itu sudah objektif.
Tetapi apabila mereka lari dari koridor, kami anggap sebagai melanggar undang-undang penyiaran. Khususnya dalam peraturan KPI soal Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (SP3SPS). Maka KPI akan melakukan sebuah teguran.
Dalam sebuah undang-undang juga dipahami, media ini adalah aset bangsa. Hanya dengan media lah segala sesuatu bisa disampaikan dengan baik dan benar. KPI berbeda dengan lembaga negara yang lain. Seperti KPK, mereka punya kewenangan jelas untuk menangkap orang yang korupsi.
Di KPI, setiap harinya mengawasi 9.000 program. Bayangkan kalau karena hanya satu program yang melanggar, maka TV akan ditutup. Sementara publik beranggapan dengan kesalahan satu program, maka TV harus ditutup. KPI punya prosedur yang membedakan dengan lembaga negara yang lain.
KPI mempunya kategori media penyiaran sudah melanggar…
Persepsi harus disamakan dahulu, apa yang dimaksud dengan media yang tidak sesuai dengan arah fungsi media. Misalnya acara ILC (TVone) yang pernah kita tegur. Kalau dilihat dari sebuah undang-undang pers, ILC memberikan sebuah kebebasan informasi, kebebasan seseorang dalam sebuah penyampaian. Seseorang bebas memberikan pendapat.
Tapi saat itu ada aduan masyarakat, ILC kurang memperhatikan penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan serta prinsip-prinsip jurnalistik yang mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Saat itu yang ditayangkan soal perdebatan kasus Ahok. Isi siaran saat itu bermuatan perbedaan pendapat dalam masalah berlatar belakang Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) yang berpotensi menimbulkan pro-kontra di masyarakat. KPI meminta pihak TVone tidak menayangkan kembali program tersebut.
Dalam hal ini ada ketidakmampuan pembawa acara untuk melakukan penghambatan terhadap pernyataan-pernyataan narasumber yang bersifat menyinggung. Karena ini kan sifatnya siaran langsung. Itu menjadi sebuah catatan kami.
Kita menganalisa, banyak program-program yang perlu diberikan peringatan, teguran bahkan sanksi. Prosedur semua kita jalankan. Namun tidak ada yang namanya, langsung kita berangus kemudian program itu tidak boleh lagi siaran. Tetapi kita lakukan pembinaan.
Kalau TV live memang sulit dikendalikan karena tidak bisa di-edit...
Itu memang menjadi catatan terlemah. Harus didorong memberikan pengetahuan kepada pembawa acara dan tim produksi sebelum melakukan siaran langsung. Mereka harus memikirkan dampak yang ditimbulkan dari acara tersebut.
Kita ingat beberapa kasus ada TV yang siaran langsung ulang tahun media mereka. Mereka mengundang seorang artis, tiba-tiba pakaian yang dikenakan artis itu sangat minim, sampai kelihatan bagian dada dan bokong. Artis itu terus bergoyang dan mengeksploitasi tubuhnya.
Dan akhirnya apa? Kita berikan teguran dan pembinaan kepada mereka. Kita kasih tahu agar hati-hati jika melakukan siaran langsung.
Ada juga TV yang dimiliki pimpinan parpol yang memutar lagu-lagu partai mereka berulang kali. Apakah itu sebuah pelanggaran penggunaan frekwensi publik untuk kepentingan politik?
Kalau bicara kepemilikan, semua orang punya hak sama saja. Mereka warga negara Indonesia dan sesuai dengan badan hukum yang tercantum sebagai pemilik media. Yang tidak boleh adalah monopoli, dalam artian kepemilikan media secara keseluruhan oleh satu orang saja. Dari 15 TV jaringan nasional, rata-rata dimiliki oleh segelintir orang.
Namun era globalisasi ini membuat suasana kepemilikan itu berbeda. Misalnya MNC media, mungkin dilihat itu punya Harry Tanoe. Tapi begitu dilihat lebih detil di masing-masing media MNC tidak ada nama Hary Tanoe sebagai direktur utama dan komisaris utama.
Tapi dalam holdingnya pemiliknya adalah dia. Hal seperti ini tidak diatur rapih oleh undang-undang. Sebab kalau bicara soal undang-undang kepemilikan sebuah perusahaan dilihat dari pimpinannya yaitu direktur utama. Maka dari itu kita hanya beranggapan asumsi sesuai data dan fakta kepemilikan media.
Apakah KPI bisa mencegah kepemilikan media yang sudah menggurita?
Kepemilikan media dari 1 orang itu hanya asumsi. Fakta realitas secara hukum tidak ada. Misalnya Surya Paloh, dia bukan direktur utama dan komisaris utama di MetroTV.
Negara mana yang iklim politiknya sama seperti Indonesia, namun fungsi media bisa berjalan ideal?
Indonesia lagi mencari format idealnya sebuah media. Namun anggapan ideal itu berbeda beda. Indonesia mengatakan media yang ideal adalah TVRI.
Contoh mudah soal iklan di media. Undang-Undang Penyiaran mengkategorikan sebuah iklan hanya dua, iklan komersil dan iklan layanan masyarakat. Tidak ada yang namanya iklan politik.
Artinya KPI tidak bisa menegur stasiun TV yang menayangkan berkali-kali lagu sebuah partai politik. Sebab itu hitungannya adalah iklan komersil. Yang memasang iklan itu membayar. Namun masyarakat tahu kalau iklan itu tujuannya apa? Dan dipasang siapa? Tapi kembali lagi itu adalah sebuah persepsi bukan fakta hukum.
Tahun 2016 kita pernah tegur RCTI menayangkan iklan Perindo. Kita mengaku pada perlindungan kepentingan publik yang telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012.
Aduan masyarakat menilai siaran iklan Partai Perindo dinilai tayang dengan intensitas yang tidak wajar. Tayangan dengan muatan mars Partai Perindo tersebut berpotensi mengganggu kenyamanan publik dan memiliki dampak negatif terhadap masyarakat yang menonton, terutama anak-anak dan remaja.
Jadi menurut anda undang undang penyiaran ini memang banyak bolongnya?
Sangat banyak celah. Karena saat pembuatan undang-undang ini di tahun 2002 tidak berfikir ada pemilihan umum 2004 dan saat ini. Bahkan tidak berfikir bahwa media dimiliki oleh politikus. Bahkan tahun 2014 ada insiden perhitungan cepat yang berbeda.
Saat itu akhirnya KPI hadir dan memberikan rekomendasi mencabut izin dua televisi itu ke Menteri Komunikasi dan Informatika. Karena untuk mencabut stasiun TV harus lewat pengadilan dan harus disepakati oleh dua lembaga yaitu KPI dan Kominfo. Kalau KPI ingin mencabut tapi menterinya tidak mau, tidak akan bisa.
Makanya tahun 2017 ini usia Undang-Undang penyiaran sudah 14 tahun. Saatnya dilakukan perubahan, dan sekarang sudah masuk ke DPR ingin dibahas.
Di mana letak bolongnya UU Penyiaran ini?
Salah satunya soal penambahan kategori iklan politik. Kalau iklan komersil boleh saja 10 kali dalam sehari. Tapi bagaimana kalau iklan politik ditayangkan sesering itu? Itu sudah dianggap memonopoli.
Yang kemarin itu sempat juga kita tegur, akhirnya dari 10 kali dalam sehari, menjadi empat kali dalam sehari. Sebab orang sudah paham iklan itu bicara soal kepentingan kelompok. Tapi jika kita berdebat secara undang-undang, kita kalah.
Anda termasuk yang termuda di komisioner KPI. Bagaimana membangun ketegasan untuk mengawasi lembaga penyiaran?
Posisi tegak sudah kita jalankan ketika beberapa kali program program yang dianggap memang harus ditegur. Bagi kami ini bicara soal sebuah kepentingan atas nama bangsa. Jadi dalam empat bulan ini KPI banyak mengurusi isu-isu strategis. Seperti perpanjangan izin televisi dengan syarat 7 komitmen, salah satunya masalah politik.
7 Komitmen Perpanjangan Izin Penyiaran:
1. Sanggup untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dan kebijakan KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
2. Sanggup untuk menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol dan perekat sosial dalam rangka membangun karakter bangsa,
3. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan isi siaran program jurnalistik, tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran,
4. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum,
5. Sanggup melaksanakan penayangan yang menghormati ranah privat dan pro justitia yang mengedepankan asas praduga tak bersalah secara proporsional dan profesional,
6. Sanggup untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, antara lain berupa penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita,
7. Bersedia untuk dilakukan evaluasi setiap tahun terhadap seluruh pelaksanaan komitmen dan bersedia untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan evaluasi sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.
Meskipun undang undang tidak mengatur, tapi kami lakukan.
Dalam sehari, berapa jumlah temuan KPI terhadap program-program yang melanggar?
Setiap hari mungkin bisa 5 sampai 6 temuan, bahkan lebih. Ketika menemukan sebuah pelanggaran, tidak semua mengirimkan surat teguran. Karena tenaga kita sangat kurang. Yang menonton TV untuk mengawasi program program di KPI hanya 4 sift.
Jadi KPI tidak bisa menunggu ditemukan program-program yang melanggar. Kita harus langsung terjun ke stasiun TVnya. Kami pernah mengadakan pertemuan dengan mereka untuk memberi tahu soal aturan Undang-Undang Penyiaran, tapi hanya 10 orang yang datang. Sementara 10 orang itu tidak mungkin memberitahu kepada ribuan orang karyawan di televisi.
Saya mendapatkan informasi, Anda bisa langsung mengirimkan pesan singkat kepada pemilik media jika ada pelanggaran. Apakah itu betul?
Iya betul. Semua CEO saya kirim pesan dan telepon. Karena ada cara pendekatan yang lebih simpel. Contohnya ketika demo 212 yang berakhir dengan rusuh, tidak ada waktu untuk mengirim surat. Saya langsung mengirimkan SMS kepada direktur utama TV swasta untuk mencegah pemberitaan yang sifatnya provokatif dan menayangkan kerusuhan di banyak tempat.
Saya bilang kembali masukan program utama saat itu, tidak terus-terusan menayangkan tentang demo yang rusuh. Saya bilang juga jangan seolah-olah bikin ada rusuh-rusuh di banyak tempat karena saat itu sudah terlihat damai.
Saya meminta media memperbaiki negara ini dengan cara yang baik dan tidak dengan cara yang otoriter.
Ketika terjadi kejadian seperti itu, harus segera. Karena untuk mendorong masyarakat untuk tidak gaduh. Jadi harus seperti itu.
Kadang-kadang pemilik media itu tidak nonton TV, jadi tidak tahu. Ketika saya SMS, mereka akan turun langsung ke pemimpin redaksi dan meminta tayangan dihentikan. Selama ini KPI tidak pernah menghubungi pemimpin redaksi, bahkan produser.
Kami tidak mengenal mereka. Yang dikenal KPI hanya direktur utama. Makanya surat KPI selalu ditujukan kepada direktur Utama.
Makanya KPI harus dekat dengan direktur Utama karena yang kita bina adalah industri. Bayangkan kalau kita ingin menghancurkan industri, tinggal tidak memberikan izin kepada TV. Maka 20.000 orang akan menganggur. Kalau kita block TV itu, ekonomi harus kita pikirkan.
Saat ini TV-TV juga kompak tidak menyiarkan langsung persidangan Ahok…
Sebelum persidangan Ahok kita mengadakan focus group discussion (FGD). Kami udang Komisi Yudisial, Mahakamah Agung, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Dewan Pers, Menkominfo, dan para pemimpin redaksi. Saya jelaskan dampak jika sidang itu disiarkan.
Biasanya KPI menegur setelah siaran tayang, tapi ini mencegah dulu. Akhirnya tidak menayangkan live saksi-saksi. Agar tidak terjadi pengadilan jalanan seperti sidang Jessica kemarin. TV-TV membentuk opini di medianya dengan menghadirkan para pengamat. Bahkan saksi-saksi dihadirkan.
Komisioner KPI sering dituduh ada kedekatan khusus dengan industri media?
Buktikan kedekatannya seperti apa? Dekat itu memang harus karena kami mempunyai fungsi relugatif, yudikatif dan eksekutif. Karena mereka harus dikasih tahu harus begini lho.
Bayangkan kalau kami selalu dibenturkan terus dengan lembaga penyiaran, tidak akan selesai. Karena masing-masing menempuh jalur hukum. Kedekatan dengan industri harus kita lakukan.
Sebelum mencalonkan, Anda dekati dulu para pemilik TV?
Tidak. Saya tidak pernah. Tapi ada pemilik media yang merupakan kawan lama saya.
Soal blur juga pernah dipersoalkan publik. Bahkan acara kartun diblur…
Yang mem-blur itu bagian quality control di TV. Sementara di bagian ini sering berganti orang di TV. Kita melatih bagian quality control di TV di sekolah P3SPS agar mereka paham. Tapi industri TV itu kan padat karya, mereka kadang susah waktu untuk datang ke KPI.
KPI tidak melarang kartun untuk diblur. Lebay kalau diblur, begitu juga patung-patung. KPI hanya melarang benda-beda yang memancing birahi dan eksploitasi.
Komifo banyak block situs berbau radkal, bagaimana dengan TV?
Kalau TV agak sulit, mereka sifatnya free to air. Masyarakat bisa langsung menegur kalau TV itu mengujar kebencian, mereka akan dibully. Jadi tidak ada TV yang mengujar kebencian.
Dulu ada Radio milik Singapura yang dituduh mengujarkan kebencian dan dituduh menyiarkan soal ISIS di Batam. Tapi setelah dicek KPID, ternyata tidak benar. Radio itu hanya menyiarkan agama Islam.
Tapi kita ada PR juga, karena dalam UU Peniaran lingkup kami adalah TV dan Radio. Bagaimana dengan TV dan radio streaming? Kan kami tidak mengawasi itu.
Aliansi Jurnalis Independen pernah melakukan riset soal rating. Intinya mereka menyarankan dibentuk dewan pengawas rating untuk mengawasi lembaga rating. Anda setuju?
Saya sangat setuju. Tapi di UU kami nggak ada mengatur lembaga pengawas rating.
Bagaimana degan membentuk lembaga rating?
Kalau KPI diberikan kewenangan, boleh juga. Tinggal membangun infrastruktur dan mencari people meternya. Terutama dananya juga harus kuat. TV-TV juga sudah harus digital.
Biografi singkat Yuliandre Darwis
Yuliandre lahir 21 Juli 1980. Dia merupakan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) periode 2016-2019. Yuliandre menyelesaian Sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung. Lalu memperoleh gelar master dan doktor di bidang Komunikasi Massa di Universitas Teknologi Mara (UiTM), Shah Alam, Selangor, Malaysia.
Yuliandre pernah menjadi doktor ilmu komunikasi termuda. Dia memperoleh gelar doktor di usia 29 tahun.
Yuliandre pernah terpilih sebagai duta muda UNESCO dan mewakili Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Paris. Selain menjadi akademisi, Yuliandre pernah menjadi pengusaha dan tergabung di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Setelah menjadi Ketua KPI, usahanya diserahkan ke keluarganya.
Selain menjadi Ketua KPI, sampai 2017 mendatang Yuliandre menjadi Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI). Dia pernah menjadi Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada 2015. Saat ini Yuliandre masih aktif mengajar di sebagai dosen ilmu komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas, Padang.