Negara juga merelokasi warga yang tinggal di kawasan rawan bencana. Mereka direlokasi karena kawasan tempat tinggal awal sudah tidak layak. Ini menarik karena tidak mudah merelokasi mereka…
Proses relokasi sepeti di Gunung Sinabung sangat lama dilakukan. Ini disebabkan tidak ada lahannya. Anggarannya ada, tapi lahan sangat terbatas. Harga tanah terus meningkat.
Bagaimana untuk prediksi bencana 2017?
Diprediksi akan terus jadi, tergantung besaran pemicunya. Di Jakarta misal, masih akan terjadi banjir jika curah hujan tinggi. Selain itu masih rentan karena banyak sungai yang dangkal. Bayak pemukiman di daerah rawan bencana.
Jutaan masyarakat Indonesia terpapar dari ancaman bencana. Mereka tinggal di daerah-daerah rawan bencana. Kemampuan mitigasi, baik structural dan non structural masih terbatas. Menurut BMKG diprediksikan tahun 2017 musim normal. Tidak ada penguatan El Nino yang menyebabkan curah hujan menurun sehingga menimbulkan kekeringan.
Tidak ada fenomena penguatan La Nina yang menyebabkan curah hujan meningkat. Sampai Maret 2017 diprediksikan curah hujan normal. Sehingga ancaman banjir, longsor dan puting beliung akan berkurang.
Namun banjir, longsor dan puting beliung masih akan mendominasi bencana selama 2017. Puncak bencana Januari-Februari 2017. Sementara gempa tidak bisa diprediksi, namun rata-rata setiap bulan ada sekitar 450-500 kejadian gempa di Indonesia.
Sejak 3 tahun terakhir kawasan bencana di Indonesia di luar peta bencana. Di mana kawasa-kawasan yang belum masuk peta bencana namun mempunyai kerawanan yang tinggi?
Indonesia bagian timur sebenarnya harus waspada bencana. Potensi gempa dan tsunami di sana lebih besar, tapi riset tentang kebencanaan di sana minim. Jadi kita tidak ada peta yang akurat, terutama peta kebencaan gempa.
Misal di Pidie Aceh, merupakan daerah yang belum dipetakan. Bahkan ada sekitar lebih dari 80 zona sesar aktif di Indonesia yang belum dipetakan dengan detil.
Potensi tsunami sangat tergantung dari besaran gempa bumi dan lokasinya. Jika gempa lebih dari 7 skala richter, kedalaman kurang dari 20 km dan berada di jalur subduksi maka potensi tsunami. Sistem peringatan dini tsunami sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Sebanyak 315 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya sedang-tinggi dari banjir di Indonesia. Jumlah penduduk terpapar dari bahaya sedang-tinggi banjir 63,7 Juta jiwa. Sementara 274 kabupaten/kota berada di daerah bahaya sedang-tinggi dari longsor di Indonesia. Jumlah penduduk terpapar dari bahaya sedang-tinggi longsor 40,9 Juta jiwa.
Dengan data itu, kita dihadapkan kepada ancaman yang bisa datang kapan saja.
Bagaimana penguatan BNPB untuk menanggulangi bencana itu?
Secara umum tingkat kesiapsiagaan masyarakat Indonesia dalam menghadapi bencana terus meningkat dibandingkan sebelumnya. Pengetahuan bencana meningkat signifikan. Tapi pascatsnunami aceh, pengetahuan bencana ini belum meningkat menjadi sikap dan perilaku (practice). Bahkan belum menjadi budaya.
Bayangkan saja, di Pidie Jaya, banyak bangunan yang rusak karena gempa. Di sisi lain masyarakat sadar kalau bencana bisa datang kapan saja, tapi tidak diikuti dengan sikap untuk membangun rumah yang tahan gempa.
Sementara sistem peringatan dini pun masih minim. Misalnya, kita membutuhkan sirine tsunami 1.000 unit, tapi BMKG baru membangun 52 unit. Karena anggaran terbatas. Anggaran kebencanaan ini harus dinaikan.
Saat ini dana cadangan penanggulangan bencana Rp 4 triliun perlu ditingkatkan karena ancaman bencana dan dampak bencana makin meningkat. Sementara pembiayaan dampak bencana di Garut saja sudah dihabiskan sampai Rp600 miliar, di Aceh Rp2 triliun, kemudian di Bima Rp1 triliun.
Kami memberikan masukan, ke depan harus ada asuransi bencana untuk melindungi masyarakat dari bencana.
Seperti apa skema asuransi bencana ini?
Sebenarnya asuransi bencana ini sudah dibahas cukup lama sejak 2012 dengan DPR. Bahkan BNPB dan DPR ini sudah sepakat pentingnya asuransi bencana. Preminya nanti dibayarkan oleh negara. Sebagian masyarakat juga saat ini sudah mengikuti asuransi rumah, tapi premi bayarkan individu.
Sementara asuransi bencana ini dibayarkan oleh negera ke konsorsium asuransi swasta atau pun BUMN. Jumlah presmi yang dibayarkan sekitar Rp400 miliar. Perusahaan itu yang akan membayarkan stimulus pembangunan rumah. Besarnya, tahun 2012 lalu disepakati rumah rusak berat sekirat Rp30 juta, sampai rusak ringan Rp10 juta.
Dengan asuransi itu, pendataan rumah rusak bisa sangat cepat oleh asuransi profesioal, sehingga penanganan bencana akan cepat pula. Negara lain yang memakai skema asuransi bencana ini di antaranya, Jepang, Kanada, Italia, Turki dan beberapa negara.
Mengapa warga negara belum juga sadar soal bahaya bencana?
Terutama masalah ekonomi. Karena sebagian besar masyarakat membangun rumah berdasarkan ketersediaan anggaran yang ada, bukan berdasarkan tingkat ancaman yang ada. Biasanya rumahnya tidak tahan gempa, karena membangun rumah tahan gempa akan lebih mahal.
Selain itu tukang bangunan banyak yang tidak paham. Sebenarnya banyak buku pedoman tentang pembangunan rumah tahan gempa. Tapi dalam implemetasi sangat lemah. Bahkan di izin mendirikan bangunan (IMB) tidak ada klausul syarat pendirian rumah tahan gempa.
Ini yang perlu didorong, bagaimana pengawasan implementasi di lapangan. Padahal tata peta sudah bagus, tapi implemetasi di lapangan sangat lemah.
Dari dunia usaha pun sangat minim sadar dengan bangunan tahan gempa. Jangan membangun bangunan berlebih di kawasan tahan gempa. Mereka harus membangun bangunan tahan gempa.
Artinya ini masalah ekonomi, negara mana yang bisa dijadikan contoh yang keadaan ekonomi masyarakatnya sama dengan tingkat kerawanan yang sama juga?
Tidak ada. Hanya di Indonesia. Indonesia jadi contoh. Namun soal gempa, Selandia Baru, Jepang dan Chile bisa jadi contoh. Mereka patuh dengan peta yang sudah ada. Hasil kajian ilmiah dituangkan ke peraturan dan jalankan oleh warganya.
Jadi saat Selandia Baru di sana diguncang gempa 7,8 SR, korban meninggal hanya 2 orang. Di Indonesia korban meninggal ratusan. Orang tewas bukan karena gempa, tapi bangunannya.
Biografi singkat Sutopo Purwo Nugroho
DR. Sutopo Purwo Nugroho lahir di Boyolali 7 Oktober 1969 . Saat ini Sutopo adalah Kepala Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sutopo menyelesaikan sarjana di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Ia merampungkan pendidikan MSc dan PhD nya di Institut Pertanian Bogor di bidang hidrologi.
Sutopo mengawali karirnya pada 1994 dengan bekerja sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sejak 2010 hingga sekarang ia bekerja di BNPB.
Selain menjadi Humas BNPB, Sutopo juga mengajar kuliah manajemen kebencanaan di beberapa kampus. Dia juga menyandang status ilmuan kebencanaan ternama di Indonesia. Sutopo terjun langsung menyaksikan penanggulangan dan rehabilitasi bencana di Indonesia.