Suara.com - Tindakan intoleransi menjelang akhir tahun 2016 terus meningkat. Puncaknya, pembubaran paksa acara Kebaktian Kebangunan Rohani Natal di Gedung Sabuga Institut Teknologi Bandung, Selasa (6/12/2016) oleh kelompok mengatasnamakan ormas Islam.
Setelah itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan fatwa kontroversi. Mereka melarang umat Islam mengenakan atribut keagamaan lain. Fatwa itu dikeluarkan menjelang Natal.
Fatwa MUI itu disikapi oleh Kepala Kepolisian Indonesia Tito Karnavian sampai Presiden Joko Widodo. Keduanya mengimbau MUI tidak mengeluarkan fatwa yang memicu perpecahan. Namun MUI pernah juga mengeluarkan fatwa yang menyinggung urusan agama lain di tahun 1981. MUI mengharamkan umat Islam mengucapkan Natal.
Pendeta sekaligus ilmuan teologi sejarah Kristen, Jan Sihar Aritonang protes secara terbuka dengan fatwa MUI itu. Profesor di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta itu tersinggung lantaran fatwa dikeluarkan jelang Natal. Imbasnya, banyak kelompok radikal memaksa pusat pembelanjaan melepas atribut Natal. Bahkan mucul viral di media sosial soal larangan menggunakan topi Santa Claus.
Profesor yang aktif terlibat di isu perdamaian dan toleransi ini banyak mengulas soal sejarah Kristen dan Islam. Salah satunya dia tuliskan dalam buku ‘Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia’. Dalam buku itu, Jan banyak mengulas soal konflik berlatar agama di masa lalu.
Maka itu, Jan tidak kaget dengan konflik berlatar SARA yang belakangan terjadi. Kata dia, bukan hanya alasan politik, itu agama ‘dimainkan’. Konflik SARA saat ini pun tidak semenakutkan di era orde baru, bahkan sampai terjadi pembunuhan.
Jan pun bercerita, tokoh agama sudah berkali-kali bertemu untuk menyelesaikan masalah konflik berbalut SARA. Namun banyak yang tidak menemui jalan tengah. Namun Jan berharap pembahasan perdamaian di Indonesia tidak terhenti saat isu SARA sudah tidak kembali menguat.
Simak wawancara suara.com dengan Jan Aritonang di ruang kerjanya di STT Jakarta pekan lalu:
Anda menulis protes dengan fatwa MUI tentang larangan penggunaan atribut keagamaan non muslim. Mengapa?
Ini yang lebih saya persoalkan, mana ada agama namanya ‘Non Muslim’. Kalau kita bisa lihat nomenklatur dan rumus legal formal, tidak ada nama agama itu. Tidak ada undang-undang di negara ini yang menyebut agama yang namanya Non Muslim.
Meski itu ingin disamarkan, kita tahu konteks larinya ke mana fatwa itu. Apalagi MUI menyebut menggunakan atribut itu haram dan yang menggunakannya kafir. Saya terdorong untuk klarifikasi tentang itu.
Pertama, sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, saya merasa wajib merespons fatwa itu. Kedua, fatwa itu bukan yang pertama yang dikeluarkan MUI. MUI mengeluarkan fatwa haram menghadiri ibadah Natal, tertanggal 7 Maret 1981, disusul fatwa larangan mengucapkan Natal. Umat Islam dilarang datang ke acara Natal.
Yang ketiga, karena saya pendeta dari sebuah gereja, saya melihat fatwa seperti ini bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak di umat Kristen di Indonesia. Sehingga saya terdorong untuk merespons fatwa itu supaya MUI mengeluarkan fatwa yang menyejukkan, jangan membuat tambah panas suasana.
Saya ingin bicara ke mereka, kalau membuat fatwa tentang pihak lain, seharusnya ajak dulu pihak lain itu untuk bicara. Jangan sampai menimbulkan salah paham.
Dulu mereka membuat fatwa tentang larangan bagi kaum Muslim mengikuti Natal juga tidak mengajak umat Kristen untuk berdiskusi dan jelaskan alasan dikeluarkan fatwa itu. Seakan-akan fatwa itu dikeluarkan sebagai atribut dari agama.
Saya pikir agama mana yang membuat fatwa sebagai atribut keagamaan yang resmi? Yang disebut sebagai atribut keagamaan dalam fatwa itu ‘kan barang dagangan. Orang yang membuat itu, motifnya bukan untuk menjalankan ritual keagamaan, tapi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Belum ada kesepakatan gereja di seluruh dunia yang secara bersama-sama menetapkan sebuah atribut keagamaan Kristen. Masing-masing gereja membuat atributnya sendiri. Bahkan menetapkan perayaannya. Dalam hal ini gereja yang lain tidak ada hak untuk menyatakan itu salah atau tidak perlu.
Sampai sekarang gereja Kristen belum pernah membuat konsensus tentang atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu. Bahkan ada juga gereja yang tidak merayakan hari Natal dan tidak menggunakan simbol salib. Atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu muncul dari tradisi sebagian gereja, terutama yang di Barat, Eropa dan Amerika, yang kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Sepengetahuan saya, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang menyebut orang Kristen sebagai kafir.
Dalam fatwa MUI disebutkan masalah atribut keagamaan, sehingga ada peristiwa yang melarang menggunakan topi Santa Claus atau Sinterklaas dan menggunakan pohon Natal di mal. Itu bukan atribut agama Kristen. Itu bagian dari tradisi masyarakat di satu tempat atau di beberapa tempat untuk merayakan Natal.
Jadi penggunaan pohon Natal sampai topi Santa Claus di perayaan Natal itu bagian dari perayaan masyarakat, bukan agama.
Jadi yang pakai topi Santa Claus, tidak berarti merayakan Natal?
Jelas tidak. Anda pergi saja ke Jepang, di sana banyak yang pakai topi Santa Claus saat Natal. Padahal mereka tidak merayakan Natal. Ini juga terjadi di Cina dan Taiwan.
Jadi ini sudah menjadi semacam budaya global. Siapa pun boleh pakai. Di dunia, perayaan Natal sudah menjadi hal yang tidak asing. Mereka merayakan, tapi tidak meyakini Natal sebagai perayaan agama. Jadi hanya sekedar menjadikan Natal bagian dari keramaian masyarakat dan tujuannya sosial.
Jepang, mempunyai penduduk Kristen kurang dari 1 persen, tapi yang paling rajin bikin pernak pernik Natal itu di antaranya Jepang. Tahun ini pohon Natal paling besar sedunia ada di Jepang. Padahal mereka mana percaya dengan Natal. Bagi mereka itu bagian dari keramaian umum saja.
Jadi bagaimana seharusnya menyikapi fatwa ini?
Saya tidak mau mengatakan fatwa itu hal yang penting atau tidak penting. Yang saya mau katakan, fatwa itu dikeluarkan dalam konteks apa? Nyatanya dikeluarkan saat Natal. Walaupun di situ tidak disebut untuk perayaan Kristen atau Nasrani, tapi kita tahu arahnya ke sana.
Sikap intolerasi dan intimidasi terhadap minoritas dalam beberapa pekan ini juga terjadi tiap tahun. Bahkan jelas tujuannya ke siapa.
MUI menyebutkan fatwa dikeluarkan dengan dalih toleransi ...
Saya tidak tahu makna toleransi yang dipahami dalam fatwa ini. Sebab toleransi ini sangat luas maknanya.
Kalau kita menelusuri sejarah hubungan atau perjumpaan Kristen dan Islam di seluruh dunia sejak awal abad ke-7, pada awalnya toleransi memaknai saling menghargai, saling menghormati, dan saling mendukung.
Tapi dalam perkembangan selanjutnya, ketika kelompok Islam semakin kuat dan menginvasi banyak negara-negara yang sebelumnya Kristen, mulai dari Mesir, Maroko, hingga Spanyol, arti toleransi sudah berubah.
Jadi Islam mentoleransi agama lain dalam pengertian, “Anda sebenarnya salah, tapi kami tidak menyatakan salah atau kami tidak hukum. Menurut hukum agama kami Anda salah. Tapi atas nama toleransi, kami akan biarkan Anda tumbuh. Sehingga toleransi saat itu juga berarti tidak mengambil tindakan terhadap sesuatu yang dipahami salah.
Pengertian toleransi seperti itu sampai ke Indonesia. Islam sebagai agama mayoritas berhadapan dengan teman sebangsanya, Kristen, Hindu, dan Buddha, mereka dianggap salah. Jadi sesuatu yang dianggap salah, tapi dibiarkan atas nama persahabatan, hubungan baik, toleransi.
Saya pernah ke daerah Tapanuli Selatan. Di sana kawasan mayoritas Muslim. Hidup warga di sana berdampingan dengan kelompok Kristen tua. Masyarakatnya hidup berdampingan dan saling mengundang jika ada acara Natal dan juga Lebaran. Ada sumber air di masjid, umat Kristen boleh mengambil air dari sumber itu untuk dinikmati.
Jadi arti toleransi itu tidak kaku dalam satu pengertian saja. Dia bisa berkembang sesuai dengan perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya di dunia.
Toleransi yang seperti itu bagi Islam mungkin sangat dianggap baik sekali, istilahnya “walau melanggar agama tetapkan izinkan”. Tapi bagi umat beragama lain pengertian toleransi seperti itu kan tidak enak.
Selalu disebutkan selain agama Islam adalah kafir. Nah, bagaimana ceritanya semua manusia selain Islam dikatakan kafir?
Saya pernah mencoba cari tahu, apa sebenarnya makna kafir? Ternyata pengertian kafir itu bermacam-macam. Kalau dilihat dari Kamus Umum Bahasa Indonesia, ada empat pengertian kafir. Di antaranya tidak percaya kepada Tuhan dan penyembah berhala.
Lalu kami ingin tahu, kenapa kami dicap kafir? Di kitab Suci kami ada juga istilah kafir. Di sana dipahami kafir sebagai orang yang tidak percaya kepada Tuhan.
Di dunia ada 7 miliar manusia, 1,5 miliar orang Islam. Berarti 5,5 miliar orang sisanya adalah kafir? Bagaimana untuk menjelaskan itu?
Anda banyak mengkaji tentang Teologi. Sebenarnya apa makna kafir?
Orang yang tidak percaya kepada Tuhan.
Makanya saya juga pernah protes ada pihak dari Eropa menyebut suku-suku di Indonesia zaman dulu semua kafir. Itu tidak benar, mereka juga menyembah Tuhan. Kalau Tuhannya tidak sama dengan Islam atau Kristen, itu soal lain.
Jadi hati-hati kita untuk memberikan cap. Jangan hanya melihat dari perspektif sendiri yang menyebutkan: pokoknya jika yang tidak seagama dengan kita adalah kafir. Menurut saya itu cara pandang yang sangat sempit. Padahal banyak agama atau kepercayaan yang muncul lebih dulu di Indonesia. Baru muncul agama lain seperti Islam dan Kristen.
Kebencian terhadap agama tertentu menguat dan sifatnya musiman. Selain karena faktor politik, mengapa ini terus terjadi?
Masih ada banyak kasus lagi yang berbau SARA. khususnya kental berbau keagamaan yang belum dikemukakan, namun berbagai kasus yang sudah dikemukakan di atas tersirat sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik masyarakat beragama Islam dengan orang Kristen tak terhindarkan.
Di buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia saya catat sejarahnya hampir dalam kurun waktu 500 tahun terakhir. Saya dengan gamblang mengungkapkan banyak sekali kesalahan di pihak Kristen.
Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam suasana yang kurang bersahabat. Anda bisa baca buku itu, saya tidak tutup-tutupi kesalahan dari pihak Kristen. Saya pun memberikan masukan jangan sampai mengulangi lagi. Jadi konflik masa lalu kedua agama ini memang panjang. Sehingga wajar masih terasa sentimen negatif sampai saat ini karena tersimpan hingga menjadi dendam ratusan tahun.
Tapi sudahlah, itu bagian dari masa lalu.
Tapi tentang intoleransi yang belakang terjadi sekarang ini bukan sesuatu yang baru. Kalau kita pakai intoleransi dalam arti pihak mayoritas tidak mentolerir minoritas, belum tentu semua pihak mayoritas.
Saya tahu banyak sekali saudara Islam, terutama yang ada di Nahdlalatul Ulama dan Muhamadiyah, mereka sangat bersahabat dengan kami. Kami mempunyai hubungan yang terus menerus terjalin sejak puluhan tahun. Bahwa ada perbedaan, itu tidak perlu dipermasalahkan.
Saya yakin, tindakan intoleransi yang terjadi belakangan ini tidak didukung oleh umat Islam secara menyeluruh. Justru kelompok garis keras itu yang minoritas Islam. Tapi mereka lebih vokal dan lebih radikal tindakannya serta lebih berani maju ke depan.
Munculnya kelompok-kelompok seperti itu sudah terjadi sejak awal Indonesia merdeka. Misalnya saat itu gerakan Kartosuwiryo yang mengklaim sudah mendirikan Negara Islam sebelum Indonesia merdeka.
Saat itu banyak sekali yang menjadi korban adalah orang Kristen, pembakaran gereja dan pembunuhan. Jadi saat ini bukan gejala yang aneh kalau muncul gerakan intoleran. Dulu juga ada pembakaran gereja di Meulaboh tahun 1967. Terlebih saat itu yang menjadi korban adalah orang Tionghoa yang merupakan kaum minoritas ganda (Kristen dan Cina).
Pada zaman Orde Baru peristiwa intoleransi pun terjadi. Sampai pada puncaknya di pemerintahan Soeharto tahun 1994 sampai 1998. Lalu pada Era Reformasi lebih marak lagi. Jadi tindakan intoleransi saat ini bukan sesuatu yang baru.
Yang terjadi saat ini belum separah yang terjadi tahun 1996 atau 1998. Tapi kita tidak berharap itu terjadi lagi.
Jadi jika ditanya ini lebih banyak muatan agama atau politiknya, tidak mudah dijawab. Entah pada level dunia atau juga level Indonesia. Karena di banyak kalangan atau umat beragama Islam atau Kristen berpendapat agama tidak terpisah dengan masalah negara. Bahkan urusan agama ini dilihat sebagai urusan Negara, atau juga urusan negara adalah urusan agama.
Persoalan SARA sudah rumit, tidak bisa kita jawab dengan mudah apakah ini masalah agama atau politik. Jadi sudah tercampur aduk masalah agama dan politik.
Apakah itu juga yang menyebabkan persoalan keyakinan di Indonesia menjadi hal yang sensitif?
Tapi bukan hanya di Indonesia masalah agama dan kesukuan sangat sensitif. Di Timur Tengah, misalnya Lebanon, Suriah, Turki, dan Irak. Bahkan di Mesir sudah terjadi sejak lama.
Untuk diketahui, sejak abad pertama, mayoritas penduduk Mesir memeluk agama Kristen. Namun mulai abad ke-7, Mesir dikuasai oleh Islam. Di Mesir, entah berapa ratus kali terjadi gesekan antara Islam dan Kristen.
Jadi yang terjadi di Indonesia memang sesuatu yang besar, walaupun bukan yang paling hebat. Kita tidak mengharapkan ini terjadi dalam skala besar.
Sejauh mana peran pemuka Agama meredam konflik SARA?
Kita sudah sejak beberapa puluh tahun membina hubungan yang baik, paling tidak sejak tahun 1960-an. Meskipun tidak selalu berhasil dalam musyawarah. Misalnya pada saat peristiwa Makassar Oktober 1967 yang direspons dengan mengadakan Musyawarah Antar Umat beragama pada 30 November 1967.
Sudah banyak dialog, kerjasama dan macam-macam istilah yang kita ciptakan untuk perdamaian antar Agama. Entah yang difasilitasi pemerintah atau juga oleh lembaga keagamaan.
Hanya saja usaha para pemuka agama belum bisa mengimbangi kelompok ekstrem kiri dan kanan. Padahal kami sudah berusaha membuat situasi lebih akrab, saling pengertian, tapi ada saja kelompok-kelompok radikal yang tidak mau diajak diskusi.
Padahal radikalisme di Indonesia akarnya berasal dari luar Indonesia ini, misalnya ISIS dan terorisme. Kaum radikal mempunyai banyak motif yang campur aduk untuk meneror. Mulai dari masalah ekonomi sampai ideologi.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelompok kelompok radikal ini?
Jadi kelompok-kelompok moderat dan para pemuka agama jangan hanya berkumpul pada saat situasi sedang memanas. Jika ada pertemuan yang bersifat membahas kebhinekaan, tidak ada salahnya para kelompok radikal itu juga diundang.
Saya masih ingat pernah ada pertemuan yang diprakarsai oleh PGI. Saat itu PGI mengundang kelompok radikal, mereka bicara keras. Tapi kita tetap pendengar. Pertemuan itu terjadi 10 tahun yang lalu.
Saat ini saya juga sedang meminta PGI membuat pertemuan seperti itu. Mungkin bentuknya seperti seminar agama. Semua kalangan umat beragama bisa diundang sebagai pembicara.
Hal lain, warga negara juga harus mendapatkan perlindungan, bukan hanya kelompok mayoritas yang dilindungi, minoritas juga. Semua elemen negara yang berbeda keagamaan agar dijamin menjalankan ibadahnya dengan tenteram dan damai. Adanya fatwa MUI ini justru menimbulkan kegelisahan.
Jangan lagi mengoyak kerukunan beragama di Indonesia yang sudah dibangun oleh pendahulu kita. Indonesia dibangun dengan berbagai macam suku, ras dan agama.
Sasaran intoleransi salah satunya sering menyerang Nasrani. Apa yang harus dilakukan umat Anda?
Saya berharap mereka tidak ikut-ikutan menyatakan bahwa atribut-atribut atau pernik-pernik Natal adalah atribut keagamaan. Artinya mereka harus dengan kritis juga memahami macam-macam perhiasan itu bukan atribut agama Kristen.
Umat Kristen tidak mesti merayakan Natal dengan pohon Natal ataupun atribut yang tidak jelas hubungannya dengan iman. Tidak ada hubungan iman kita dengan lagu jingle bells atau juga Santa Claus. Jalankanlah ibadah Natal menurut hakikatnya. Lalu tidak usah bereaksi terlalu emosional terhadap fatwa itu. Sabar saja, Tuhan selalu menemani kita.
Biografi singkat Jan Sihar Aritonang
Pdt. Prof. Jan Sihar Aritonang, Ph.D. merupakan Guru Besar bidang Sejarah Gereja. Ia mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Selain jadi ilmuwan, Jan juga pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia atau yang dikenal dengan GKPI. Selama menjadi teolog, Jan banyak menuangkan pemikirannya tentang isu beragaman dari sisi sejarah Kristen.
Jan menamatkan Sarjana Teologi (S.Th.) dariSekolah Tinggi Teologi Jakarta (1976), lalu gelar masternya didapat di tempat yang sama tahun 1980. Jan pun melanjutkan gelar doktornya di South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), Singapura 8 tahun kemudian. Tahun 2000 Jan kembali mendapatkan gelar doktor dari Utrecht University, the Netherlands.
Jan lahir di Sibolga, 22 Januari 1952. Minatnya terhadap sejarah menyebabkan ia melakukan berbagai penelitian terkait sejarah gereja. Beberapa di antaranya adalah Sejarah Gereja Baru (Pentakostal dan Injili) di Indonesia, Sejarah Gerakan Ekumene di Indonesia, dan juga Sejarah Kekristenan dalam Indonesia Merdeka (1945-2004).
Selain menjadi pendeta GKPI, Jan juga mengepalai Pusat Dokumentasi Sejarah Gereja Indonesia (PDSGI) sejak tahun 2004. Pada tahun 1995-1999 dan 2007-2011 Jan Sihar Aritonang menjabat sebagai Ketua STT Jakarta. Ia juga menjadi pernah menjadi konsultan penerbit buku BPK “Gunung Mulia” sejak tahun 1989-1995. Selain itu, Jan Sihar Aritonang juga aktif dalam beberapa organisasi gerejawi, baik dalam maupun luar negeri.
Beberapa karya tulis Jan Sihar Aritonang yang telah dipublikasikan antara lain: ‘Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia’ tahun 2004. Buku ini fenomenal dan menjadi bacaan wajib di beberapa universitas Islam. Salah satunya di Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu dia juga menulis ‘Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja’, ‘Mission Schools in Batak land – Indonesia’, ‘Apa dan Bagaimana Gereja?’, dan ‘Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak’.
Saat ini Jan sering terlibat dalam pembahasan resolusi konfik.