Suara.com - Tahun 1965 terjadi pemunuhan massal kepada orang-orang yang dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembunuhan ribuan orang itu terdengar sampai Amerika Serikat.
Surat kabar dan majalah di sana menampilkan foto-foto pembunuhan antara warga sipil. Berita itu sampai ke Northwestern University, Amerika Serikat. Tjia May On, sebagai orang Indonesia, ditanya soal pembunuhan itu.
Tjia May On baru lulus sebagai mahasiswa S3 jurusan fisika partikel di sana. MO Tjia meyakinkan ke teman-temannya dan profesor pembimbingnya jika Institut Teknologi Bandung (ITB), tempat dia bekerja aman-aman saja.
Saat itu M.O Tjia ditawarkan untuk melanjutkan pendidikan post doctor di sana. Tawaran itu hanya untuk orang-orang terpilih dan jenius. Namun Tjia menolak, dia bela-bela pulang ke Indonesia di tengah situasi negara yang mencekam.
Namun sepulangnya, fisika partikel yang dipelajari Tjia tidak terpakai. Indonesia tidak mampu membiayai penelitian sekelas fisika partikel. Puluhan tahun setelah itu, sampai saat ini Indonesia pun belum mampu memfasilitasi kejeniusan Tjia.
Penelitian yang dilakukan Tjia, seperti yang dilakukan Newton. Tjia meneliti bagian sangat kecil di alam semesta. Saat ini Tjia sudah pensiun menjadi profesor dan pengajar di ITB, namun dia masih aktif menulis dan membantu mahasiswa fisika ITB. Sejak pensiun, di 2005, dia sudah menerbitkan puluhan penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah internasional.
Ditemui suara.com di sebuah ruangan dekat laboratorium eksperimen ITB, Bandung, Tjia sibuk membimbing penelitian fisika.
“Anda duduk dulu saja, minum air putih itu,” kata Tjia yang tampak sibuk melihat lembar demi lembar gambar grafik.
Baru-baru ini Tjia mendapatkan penghargaan LIPI Sarwono Award 2016. Dia Tjia menceritakan kisahnya menjadi peneliti fisika yang aktif di lembaga penelitian internasional. Dia juga sering terlibat bersama fisikawan dunia untuk meneliti. Di masa tuanya itu, Tjia pun mengungkapkan kekecewaannya dengan Indonesia.
Berikut wawancara suara.com dengan Tjia selengkapnya:
Pada awal 1960-an, para sarjana fisika di Indonesia baru mempelajari partikel kuantum. Dua bidang itu yang mengubah pandangan dunia secara radikal-revolusioner awal abad XX tentang alam semesta dan asal-usulnya. Sepuluh tahun kemudian, di Indonesia hanya ada lima nama yang punya otoritas untuk berbicara tentang kuantum dan relativitas. Salah satunya adalah Anda. Bisa Anda cerita soal itu?
Tahun 1965, begitu ingin pulang setelah mendapatkan doktor di Northwestern University, Amerika Serikat, saya ditawarkan untuk lanjut ke program post doctor oleh seorang guru besar di sana. Saya bilang, “saya hanya ingin pulang.”
Padahal saat itu terjadi peristiwa pembunuhan massal simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di luar negeri, peristiwa itu diterbitkan di media massa. Dan foto-fotonya ditampilkan dari sisi kekejaman.
Saat itu saya ditanya, mengapa begitu kejamnya orang Indonesia sampai membunuh. Saya bilang, “itu kan hanya segelintir orang yang terkena hasutan.”
Tapi guru besar itu mengatakan, “kamu gila? Dalam kondisi begitu mau pulang? Kamu tidak takut jadi korban?”
Saya bilang, itu tidak terjadi di Bandung. Saya bekerja, bukan di lingkungan orang seperti begitu. Saya jelaskan, saya juga punya kontrak dengan ITB, begitu selesai sekolah, harus pulang.
Tapi di dalam hati kecil, orang seperti saya di Amerika Serikat sangat banyak. Mereka tidak membutuhkan saya. Tapi di Indonesia, orang seperti saya belum banyak. Saya ingin buktikan dalam kondisi sejelek apapun, pelan-pelan kondisi Indonesia akan bangkit.
Apakah yang Anda teliti?
Paper pertama saya meneliti yang mempunyai unsur terobosan. Saya meneiti Quark Model Approach.
Apa itu?
Saya menggunakan Quark Model Approach untuk mengkaji interaksi semi leptonik. Kita mengembangkan model quark yang bisa mejelaskan proses yang bisa menjelaskan interaksi partikel-partikel yang disebut semi lapton. Penelitian soal partikel ini belum banyak diteliti saat itu.
Sementara fisika partikel mempelajari partikel dasar pembentuk benda dan radiasi. Selain itu mempelajari interaksi antara mereka. Banyak partikel dasar di alam yang tidak terjadi dalam keadaan biasa. Partilkel itu dapat diciptakan dan dideteksi pada saat benturan berenergi partikel lainnya.
Apakah kegunaannya di dunia umum?
Nggak ada. Kalau fisika partikel sampai sekarang penerapannya jauh dari industri. Tapi eksperimen yang dibangun ini jika dikembangkan menghasilkan spin off, baik sofeware pengolahan data dan alat-alatnya. Itu untuk membuat akselerator yang besar-besar magnetnya.
Industri elektronik sangat membutuhkan ini. Dan juga untuk program analisa data.
Sampai sakhir ini ada yang namanya sinar x yang dihasilkan oleh elektron singroton. Sinar x itu mempunyai kemampuan untuk mendapatkan data Kristal lebih detil dari sinar x radio aktif. Jadi hasilnya ke mana-mana.
Jadi hasil fisika partikelnya tidak bisa dikatakan langsung terkait. Karena umur partikel sangat singkat sekali, sepersekian juta detik. Sehingga memerlukan teknologi besar.
Kalau Anda masih bingung, hasil teknologi fisika partikel banyak saat ini. Teknologi itu memerlukan riset lama sekali, tapi kalau sudah jadi, maka akan terpakai selamanya dan menjadi patokan dasar.
Magnet superkonduktor adalah hasil fisika partikel. Teknoogi ini memerlukan medan magnet yang sangat kuat dan harus beroperasi pada jangka waktu lama. Teknologi magnet superkonduktor komponen utama dalam alat pencitraan resonansi magnet atau MRI (magnetic resonance imaging). Saat ini banyak terdapat di rumah sakit modern.
Selain itu alat terapi kanker dengan hadron. Lainnya, teknologi grid. Komputasi grid adalah teknik komputasi yang menggunakan banyak sekali komputer yang terdistribusi di seluruh pelosok dunia dan terhubung melalui jaringan Internet. Teknologi ini lalu berkembang untuk simulasi ramalan cuaca, perhitungan struktur dan dinamika pesawat terbang, dan simulasi proses-proses dalam DNA.
Anda juga seorang kosmolog?
Saya sudah jelaskan saya bukan kosmolog. Sebetulnya belajar di Amerika adalah fisika partikel. Pada saat itu ahli fisika partikel di Indonesia hanya tiga orang. Ahmad Baiquni, Muhammad Barmawi dan saya.
Tapi belakangan semuanya berubah. Ahmad Baiquni jadi birokrat, Kepala Batan. Saya dan Muhammad Barmawi banting setir karena di Indonesia. Kalau tetap meneruskan fisika partikel yang berkaitan dengan fisika berteknologi tinggi atau high energy, Itu jauh dari fasilitas yang tersedia di Indonesia.
Riset-risetnya sulit dilakukan di Indonesia. Kalau pun saya mengajarkan kepada mahasiswa, saya merasa berdosa. Karena saya menjerumuskan mereka karena ilmu itu tidak berkembang dan tidak dipakai di Indonesia.
Jadi akhirnya saya ambil keputusan, begitu juga Barnawi. Akhirnya saya berpetualang terhadap fisika atau ilmu yang dibutuhkan di Indonesia, yaitu fisika material.
Lalu mengapa Anda dulu mengambil jurusan atau ilmu fisika partikel?
Jadi ilmu fisika atau Ilmu lainnya adalah ilmu empiris. Saya lihat hebatnya seorang Fisikawan kalau teorinya tidak diverifikasi dengan eksperimen, teori itu tidak akan berlaku. Termasuk teorinya Newton sangat terbukti Satiti karena melalui eksperimen yang panjang.
Makanya seorang yang mendapatkan Nobel bukan seorang teoritis, tapi dia sudah membuktikan teorinya melalui eksperimen. Terakhir Fisikawan partikel yang mendapatkan mobil adalah higs karena teori dia tentang partikel Higgs itu terbukti di share dengan fasilitas eksperimen yang maha besar.
Akseleratornya sangat luas sampai jarak lingkarannya sampai 30 km. Indonesia negara yang miskin mana bisa membuatnya? Kalau di Eropa atau Amerika ada fisikawan yang juga kerja di sana. Komunikasi dan informasinya pun sangat cepat.
Kalau tidak cepat kita pasti ketinggalan. Kita mau mengerjakan apa, itu sudah keburu dikerjakan orang.
Jadi akhirnya itu yang menyebabkan saya memutuskan untuk di fisika material saja.
Lalu kenapa Anda mengambil fisika partikel saat itu?
Mungkin itu ada sedikit unsur jiwa anak muda. Karena ada semacam ada pemikiran tidak tertulis. Kalau orang saat itu masuk ke fisika partikel adalah seorang yang dipandang berpotensi. Guru besarnya tidak akan mau menerima bimbingan kalau mahasiswa yang biasa-biasa.
Jadi orang yang mengambil fisika partikel harus mahasiswa yang sudah lolos kualifikasi terbaik. Mahasiswa mengambil master bisa mengajar di sekolah SMA di sana dan itu luar biasa.
Namun ilmuan fisika partikel tidak terpakai di Indonesia…
Jadi kalau sebuah penelitian itu harus menghasilkan produk, itu salah besar. Jadi problem di Indonesia pejabat yang memegang tentang penelitian tidak mengerti tentang penelitian. Sebenarnya riset pendukung penelitian di internasional.
Lihat saja handphone yang saat ini hanya bisa dikeluarkan oleh perusahaan raksasa yang mempunyai basis penelitian. Di mana perusahaan kita yang mempunyai basis penelitian? Tidak ada. Jadi yang namanya industri di Indonesia itu hanya pabrik-pabrik manufaktur saja. Designnya dari luar negeri dan di rakitnya di Indonesia.
Apakah anda pernah bergabung di industri swasta untuk mengembangkan suatu produk?
Dulu saya mengerjakan material organik. Cukup lama saya mengerjakan itu. Jadi mengerjakan Bahan polimer yang mempunyai fungsi-fungsi khusus. Tapi dengan alat yang kita miliki, hanya bisa menunjukkan fungsi-fungsi tertentu.
Kalau itu dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi produk itu memerlukan suatu investasi, uang, dan waktu yang jauh. Jadi tidak mendukung dari sisi penelitian karena tidak didukung dana yang cukup.
Sering baca di media setelah ada pensiun, Anda hanya mendapatkan gaji sekitar Rp2,5 juta. Apa itu benar?
Bukan. Saya mau koreksi.
Indonesia itu dalam mengatur dana pensiun hanya mengakal-akali. Gaji PNS dibuat dalam dua bagian. gaji pokok dan tunjangan Fungsional yang besarannya sama. Tujuan ya kalau PMS itu pensiun maka tunjangan Fungsional itu bisa dicopot. Jadi hanya bayar setengah.
Yang sudah terpotong ini dipotong lagi 20 persen. Sementara 80 persen sisa inilah dana pensiun saya setiap bulan.
Jadi profesor sekarang menerima gaji sampai belasan juta. Sementara saya yang sudah mengabdi puluhan tahun hanya menerima Rp4,5 juta sebulan. Jadi ada contoh seorang istri mantan Profesor yang sudah pensiun hanya menerima uang pensiun suaminya Rp4 juta.
Bayangkan saja sudah puluhan tahun mengabdi ilmu pengetahuan meriset sana sini. Dia nya mendapatkan gaji seperti itu.
Sementara saya sebulan mendapat uang pensiun Rp4 juta.
Biografi singkat Tjia May On
MO Tjia, begitu panggilannya, menamatkan sarjana fisika di ITB tahun 1962. Lalu dia melanjutkan kuliah master dan doktor di Northwestern University, Amerika Serikat, dan rampung tahun 1969 mendapatkan gelar Ph.D.
Tjia merupakan salah satu di antara sedikit fisikawan Indonesia yang pakar di bidang fisika partikel. Kecerdasannya saat ini bisa disejajarkan dengan Newton yang juga meneliti fisika partikel.
Dia telah menerbitkan dua buku teks dan lebih dari 200 penelitian. Peelitiannya itu di dipublikasikan di jurnal internasional Physical Review, Nuclear Physics, Physica C, International Journal of Quantum Chemistry, Review of Laser Engineering, dan Journal of Non-linear Optical Physics. Semua jurnal ilmiah kelas dunia.
Salah satu penelitiannya yang bergengsi di bidang fisika partikel adalah risetnya bersama fisikawan CH Albright dan LS Liu berjudul "Quark Model Approach in the Semileptonic Reaction". Hasil penelitian itu banyak menjadi rujukan peneliti fisika dunia.
Tjia pun pernah aktif meneliti di lembaga riset dunia, International Center of Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia. Lembaga riset ini didirikan fisikawan peraih Nobel asal Pakistan, Abdus Salam.