Musdah Mulia: Menjaga Perdamaian di Tengah Isu Berbalut Agama

Senin, 12 Desember 2016 | 07:00 WIB
Musdah Mulia: Menjaga Perdamaian di Tengah Isu Berbalut Agama
Siti Musdah Mulia. (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

​Anda banyak meneliti soal Islam di Indonesia, terutama soal Islam dan pluralisme. Bagaimana mayoritas muslim memandang pluralisme?

Umat Islam di Indonesia umumnya memandang 3 hal, pluralisme, sekularisme, dan liberalism dengan salah. Anda baca fatwa MUI tentang 3 hal itu. Mereka menganggap pluralisme mencapuradukan agama, dan sekularisme dianggap tidak percaya agama dan negara. Sebenarnya tidak seperti itu.

Sebagai pluralis, saya tidak ingin mengatakan semua agama itu sama. Sebab kata pluralism itu meyakini perbedaan dan banyak. Banyak agama dan berbeda-beda, saya menghargai perbedaan itu.

Apakah mayoritas muslim sadar dengan keberagaman?

Baca Juga: Abdul Basit: Ahmadiyah dan Islam Santun Bertoleransi

​Mereka memandang pluralisme adalah kebersamaan dalam satu tempat di mana tidak terjadi interaksi dan kerjasama di antara mereka. Buat saya itu tidak sekedar seperti itu. Pluralisme tidak sekedar kita bersama, tapi kita saling menyapa, saling mendukung, dan saling membela.

Kala ada yang merasa dianiaya, kalau ada gereja yang dibakar dan kasus kemarin seperti di Bandung, saya langsung marah dan berteriak. Tapi pasti orang mengatakan, mengapa kamu harus marah? Kan itu bukan urusan kamu.

Kalau ada orang yang di diskriminasi dan di Eksploitasi itu persoalan kita juga. Kalau orang diperlakukan tidak adil kita harus marah dong. Sebab satu hari jika kita dihadapkan dengan ketidakadilan, kita akan dibantu dengan orang lain. Jadi jangan pernah menimpakan persoalan ketidakadilan ke siapa pun dan dimanapun, Kena berlaku tidak adil bertentangan dengan makasih manusia dan kita harus berteriak.

Jangan pernah kita berdiam diri kita berdiam diri dan takut dengan cap-cap kafir. Sebab kalau kita membiarkan akan dianggap menyetujui, maka pembiaran inilah yang terjadi. Maka saya sering mengatakan selama 10 tahun masa SBY dan dua tahun masa Jokowi inilah yang terjadi. Semakin luasnya kelompok fundamentalisme di Indonesia. Sementara kelompok intelektual saat ini juga memilih untuk diam.

Bagaimana dari analisa anda soal demo bila Islam kemarin? Apakah ada dampak positif, misalnya perbaikan masyarakat menjadi bertoleransi?

Baca Juga: Obama: Muhammad Ali Pejuang Toleransi Beragama

Menu saya tidak memperbaiki apapun, sebenarnya untuk apa sih dia mau itu? Tidak ada keuntungan buat siapa pun. Saat sekarang Aceh gempa, mengapa mereka tidak datang ke sana? Kalau mereka datang ke sana itu membuktikan Kepedulian mereka, dan terlihat hasilnya.

Tapi kemarin mereka mengatasnamakan pembela Islam. Islam apa yang mereka Bella? Apakah Islam makin kuat ketika Anda membela Islam? Lakukanlah pendidikan yang baik sehingga orang Islam ini terbebas dari pembunuhan, kemiskinan.

Lalu apa yang akan terjadi pascademo besar kemarin?

Kalau itu dibiarkan ini akan menjadi gerakan yang besar dan masif. Dan itu mudah sekali berubah menjadi Taliban. Kalau itu dibiarkan, polisi kita tidak lagi berwibawa. Kewenangan oknum polisi dan oknum tentara itu diambil alih oleh mereka. Mereka yang akan mengambil alih kekuasaan di jalan.

Pengalaman saya menghadiri acara PBB di Afganistan tahun 2011 bertemu dengan ulama-ulama di sana dan bicara soal pentingnya demokrasi dan hak asasi manusia. Ulama sana mengatakan mereka awalnya diam saja dengan gerakan masyarakat di sana. Karena gerakan Taliban saat itu berbungkus gerakan atas nama Islam.

Jadi kelompok mayoritas dan intelektualnya diam saja. Ketika mereka diam, gerakan itu tidak pernah bisa berhenti, terus maju. Begitu kelompok itu menjadi Taliban, akhirnya kelompok perempuan yang mendukung mereka menyesal seribu menyesal.

Karena dengan berkuasanya Taliban di Afganistan, tidak ada ruang bagi perempuan. Semua perempuan ditarik dari ruang publik dan harus kembali ke rumah dan dilarang bekerja. Jadi salah satu jalan, mereka keluar, ke Amerika dan ke mana-mana.

Itu sebabnya Taliban kehilangan tokoh perempuan yang dulunya bekerja. Sebab menurut Taliban, perempuan tidak boleh bekerja, mereka harus kembali ke rumah. Kalau itu terjadi, sudah tidak ada kehidupan untuk si perempuan.

Negara Islam di Timur Tengah, seperti UE dan Dubai lebih moderat…

Kalau Uni Emirat Arab sih sudah lebih dari Eropa. Mereka sebagai negara Arab yang paling maju. Itu disebabkan karena mereka terbuka. Padahal dulunya tidak ada seperti itu. Tapi karena syech di sana pemikirannya terbuka, itu terjadi 20 tahun terakhir ini.

Aparat keamanan juga menunjukan sikap berlebih dalam menanggapi sebuah kasus berbungkus keagamaan. Sebut lah dalam sidang penistaan agama Ahok. Mengapa begitu?

Saya pikir nggak perlu seperti itu. Sidang Ahok selanjutnya harus dijaga normal saja. Tapi saya sudah lama sekali merasa kecewa dengan aparat pemerintah. Dulu dalam persidangan Rizieq, tahun 2008 kasus kekerasan di Monas.

Kondisi peradilan kita tidak berwibawa karena mereka bisa mengadakan tahlilan sebelum acara sidang. Mereka menguasai ruang sidang seperti pengajian. Para penegak hukum kita tidak melakukan apa apa? Padahal itu bertentangan dengan kode  etik di pengadilan.

Lebih lebih sekarang, jangan jangan terjadi seperti itu lagi. Itu mengerikan. Pada saat 2008 untungnyaa kita masih memiliki kekuatan tokoh seperti Adnan buyung Nasution. Saat itu kita roadshow ke hakim hakim untuk menguatkan mereka, kalian jangan takut ini bukan persoalan agama ini persoalan politik.

Kita harus membuat Rizieq masuk penjara karena membuat kesalahan. Apa yang dilakukan FPI terhadap orang-orang yang melakukan memperingati hari kelahiran Pancasila, kelakuan mereka benar-benar biadab.

Bagaimana untuk sekarang ini, apakah roadshow semacam itu akan dilakukan oleh kelompok aktivis yang konsentrasi ada keberagaman?

Saya belum tahu. Karena kelompok moderat belum terkonsolidasi. Mungkin kita akan lakukan itu setelah tahu siapa hakimnya. Saya sedang bicarakan ini dengan teman teman dan melihat sidang pertama ini.

Anda menyebut kelompok moderat bisa membantu sebagai penyeimbang dari gerakan kelompok radikal. Bagaimana eksistensi kelompok ini di Era pemerintahan Jokowi saat ini?

Sayangnya kelompok moderat tidak semilitan kelompok radikal ya. Karena kelompok radikal itu ada iming-iming surganya. Kelompok moderat sangat cair, mudah kumpul tapi mudah cair. Kehadiran kelompok moderat sangat penting sekali.

​Analisa Anda, apakah isu intoleransi dan SARA ini disusupi oleh organisasi terorisme seperti ISIS?

Saya tidak tahu ISIS seperti apa wujudnya di Indonesia. Tapi seharusnya kita tahu gerakan kemarin itu arahnya ke mana? Saya sempat mengatakan aksi itu tidak ada hubungannya dengan Ahok. Ini persoalan yang mengubah Pancasila menjadi ideologi Islam, itu saja.

Mengapa kalian tidak merasa cemas dengan situasi ini. Kalau saya sih cuma sekali. Dipersoalan ini, Ahok menjadi pintu saja. Sebab keinginan untuk mendirikan agama Islam sejak ada sejak dari dulu.

Kemarin saya bersama tokoh lainnya, termasuk Todung Mulya Lubis bertemu dengan presiden. Bang Todung bicara di depan Jokowi, tolong ya pak presiden ini perlu diselesaikan,. Kami benar-benar cemas. Lalu Jokowi mengatakan, iya ini menjadi kecemasan kita bersama.

​Di Indonesia kasus HAM ada tiga di Indonesia yang paling besar. Pertama kasus agraria, kedua hal kebebasan beragama, dan ketiga terkait perempuan dan anak. Kasus agraria paling besar negara kita, ini karena masyarakat kita sudah tidak percaya dengan pemimpin.

Ada wacana pemerintah akan mengetatkan ormas-ormas yang radikal atau tidak berlandaskan Pancasila. Menurut Anda bagaimana masukan untuk menjalankan aturan ini?

Itu sangat diperlukan, pengetatan ormas ormas yang tidak sesuai dengan Pancasila. Tapi aturan ini jangan sampai diskriminatif. Termasuk pengetatan imam dan khatib yang berceramah di masjid. Mereka harus mempunyai sertifikat. Sehingga tidak semua orang bisa jadi Imam dan khatib.

Malaysia dan Turki sudah melakukan itu. Bahkan di Malaysia ekstra mah harus mendapatkan Stempel dari raja. Kalau di Indonesia tidak perlu presiden memberikan tanda tangan untuk teks ceramah. Cukup diatur isi ceramah itu saja. Yang baik yang dibicarakan adalah hal-hal yang membangun kemanusiaan, mendorong orang membuat keadilan dan kejujuran.

Saya tengah meneliti bagaimana kelompok radikal bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Apa yang mereka kembangkan? Apa yang masyarakat kita ini percaya dengan mereka? Karena 20 tahun lalu masyarakat kita tidak terlalu mudah untuk di hasut. Tapi sekarang mudah sekali. Masa kita jadi tidak kritis.

Tingkat toleransi masyarakat menjadi menurun. Lima tahun lalu orang orang melihat Ahmadiyah itu biasa saja, tapi sekarang makan nilai Ahmadiyah sebagai kafir. Jadi masyarakat kita semakin intoleran.

Biografi singkat Siti Musdah Mulia

Profesor Siti Musdah Mulia lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Musdah merupakan perempuan pertama yang meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di IAIN Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Musdah dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan di Dep. Agama tahun 1999.  

Tahun 2007 Musdah menerima penghargaan International Women of Courage mewakili Asia Pasifik dari Menlu Amerika Serikat, Condoleeza Rice dalam peringatan International Women Days di Gedung Putih Amerika Serikat. Tahun 2009, dia meraih penghargaan Woman of The Year 2009 di Italia.

Musdah lama mengenyam pendidikan Pesantren  As`adiyah di Sulawesi Selatan. Musdah meyelesaikan Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar (1980). Tahun 1982 dia lulus dari sarjaa penuh di Jurusan Bahasa dan Sastera Arab di Fakultas Adab, IAIN Alaudin, Makasar. Tahun 1992, Musdah menyelesaikan program S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Syahid, Jakarta. Di Pendidikan S3, Musdah mengambil Bidang Pemikiran Politik Islam di IAIN Syahid, Jakarta, dia melakukan penelitian dan penulisan disertasi di Kairo, Mesir.

Kiprahnya sebagai pluralis, membuat Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini menjadi sosok yang kontroversi. Dia banyak menyatakan pembelaannya terhadap kaum minoritas dan termajinalkan. Termasuk membela kaum LGBT. Pemikirannya yang lintas batas, menjadikan Musdah sebagai sosok ‘Kartini’ masa kini yang modern dan berpikiran luas serta terbuka.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI