Apa pentingnya riset katak semacam ini?
Dulu, kalau orang melakukan Amdal (analisi dapak lingkungan), daftar amphibi dan reptile hanya ada 1 sampai 2 jenis. Sering sekali di daftar itu salah mengklasifikasi hewan. Kedua, saya itu merasa pahit, kerja dengan katak tidak ada yang mengajarkan.
Tidak ada yang kasih tahu jika cari katak itu harus malam. Kalau saya tidak tulis informasi soal katak ini, generasi yang akan datang itu harus pahit-pahitan. Biar satu orang cukup, saya saja.
Selain itu setelah para ahli katak mengevaluasi penyebaran katak di seluruh dunia, katak paling sensitive di bandingkan dengan mamalia. Di dunia, lebih dari 30 persen sepesies katak terancam punah. Jadi amphibi ini paling bagus sebagai parameter keadaan lingkungan sudah buruh atau masih baik.
Saya pernah masuk ke ke wilayah yang mempunyai sungai yang jernih di Aceh, tapi jumlah katak yang saya temukan tidak banyak. Saya memprediksi di hulu sungai ada masalah. Ternyata di hulu ada tempat perendaman karet.
Lalu berapa persen jumlah hutan di Indonesia yang rusak menurut parameter katak ini?
Sudah banyak yang rusak. Parameter yang mudah di Kalimantan. Saya masuk ke daerah dan berjalan beberapa hari. Di sana saya bisa dapat sapai 70 spesies di 1 sungai. Kalau di Sumatera, paling saya dapat 30 spesies katak di satu sungai. Kalau di Jawa, seluruhnya saja hanya 40 spesies katak yang bisa didapat di seluruh sungai se-Jawa.
Sejak kapan penelitian katak mulai dilirik ilmuan dunia?
Mulai akhir abad 19. Di Eropa, banyak museum yang berusia 300-400 tahun. Tapi jumlah terbesar terbesar museum di dunia selama 100-120 tahun. Sejak itu datanya mulai dikumpul.
Sebetulnya tidak ada orang yang fokus meneliti tentang katak. Ada buku yang ditulis Pieter Nicolaas Van Kampen (ilmuan Belanda) tahun 1923 tentang Amphibi Indonesia. Kebetulan dia menulis itu karena ada proyek. Tapi dia buka peneliti katak atau amphibi saja, di lagi nulis tesis doktor saat ke Sumatera.
Setelah dia menulis paper dan menjadi buku, sudah tidak ada lagi lanjutannya, hilang gitu saja. Jadi ibaratnya, dia cuma keliling museum untuk menulis tentang amphibi. Datang ke Belanda, Berlin dan lain-lain untuk mengumpulkan informasi tentang amphibi di Indonesia.
Kapan penelitian katak mulai dilakukan di Indonesia?
Tapi orang Indonesia pertama kali publis sekitar tahun 1970-an, ada 3 paper. Semua ditulis berdasarkan dari koleksi museum. Sedangkan saya, masuk menerbitkan buku tahun 1985. Jadi Indonesia selama 50 tahun gap tentang informasi amphibi. Jadi baru saya yang serius meneliti amphibi, terutama katak dengan datang langsung ke habitatnya.
Berapa jumlah presien yang sudah ditemukan?
Kalau yang saya temukan sudah 200 spesies. Tapi yang sudah dipublikasi sebagai jenis baru mendekati 30 jenis. Sisanya masih saya teliti. Tapi saya lagi menulis peta penyebaran katak. Jadi nantinya generasi baru tinggal membaca buku ini untuk menjadi ahli katak. Mereka juga tinggal menambah penemuannya.
Apa penelitian terbaru Anda saat ini?
Saya tidak bisa katakana ini penelitian terbaru. Karena riset yang saya lakukan saat ini sifatnya cicilan saja. Riset lama yang masih ditumpuk dan masih diteliti. Kalau jumlah informasinya sudah cukup, maka akan saya tulis makalahnya.
Sudah berapa hutan yang Anda jelajahi untuk mencari katak sampai saat ini?
Wah tidak terhitung. Tapi tinggal 2 provinsi yang belum saya jelajahi. Hanya 1 persen hutan yang belum saya datangi.
Anda keluar masuk hutan mencari katak dan menelitinya. Dari mana dana yang Anda dapatkan?
Pada dasarkan kampus memberikan ruangan dan fasilitas, tapi biaya tidak dikeluarkan kampus. Tapi saya tidak bisa mengatakan gratis. Ada yang pakai uang saya sendiri, tapi ada juga yang dibantu dengan pihak lain yang meminta saya mengidentifikasi spesies. Dana itu saya kumpulkan, kalau sudah terkumpul baru saya pakai untuk ongkos riset. Kebanyakan uangnya bukan dari negara.
Bagaimana fasilitas untuk mendukung penelitian ini di Indonesia?
Itu sedihnya. Negara kita bangkrut, artinya begtitu banyak kementerian yang anggaran pertahunnya hanya cukup memelihara fasilitas dan gaji pegawai. Nggak uang untuk fasilitas penelitian dan menambah alat. Akanya saya sebut negara kita bangkrut, menyedihkan.
Saya memikirkan yang muda-muda. Kalau mereka hanya dapat gaji dan kursi, mereka mau meneliti pakai apa.
Anda selama ini pakai fasilitas siapa untuk meneliti?
Karena saya publikasi dan diajak orang, dana penelitiannya dibayar dia. Itu manfaat publikasi ilmiah. Saya punya akses ke dunia. Saya keliling Indonesia karena saya dikenal.
Saya juga suka dikasih fasilitas alat penelitian setelah meriset. Di ruangan saya banyak peti yang isinya alat-alat laboratorium hasil sisa berbagai penelitian di daerah. Kalau mahasiswa ada yang butuh, saya kasih pinjam.
Usia Anda sudah tua, jarang ilmuan seusia Anda masih ingin terjun ke lapangan. Mengapa aktivitas keluar masuk hutan tetap Anda lakukan?
Masalahnya begitu kita berdiskusi, terlihat sekali orang yang tidak ke lapangan dan ke lapangan. Itu salah satu faktor saya masih turun ke lapangan. Saya meneliti, bukan mendengar saja, tapi melihat langsung. Tapi di lain pihak ada hal yang aneh, orang yang tidak pernah ke palangan tidak melihat itu sebagai Sesuatu yang perlu ditindak lanjuti.
Ada detil temuan yang hanya bisa dirasakan oleh orang lapangan, terutama saat menyentuh objek penelitian.
Sampai saat ini sudah mempublikasikan kira-kira 100 publikasi ke jurnal ilmiah internasional maupun nasional.
Biografi singkat Djoko Iskandar
Profesor Djoko Tjahjono Iskandar merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung tahun 1975. Gelar master dan doktornya dia dapat di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, Prancis. Dia merupakan ahli reptile dan katak atau herpetolog pertama di Indonesia. Banyak penemuan spesies amphibi baru Djoko yang membuat kaget dunia.
Di usia 66 tahun ini Djoko masih aktif keluar masuk hutan untuk meneliti spesies baru amphibi, terutama katak. Dia sudah masuk semua hutan di Indonesia, kecuali kawasan Bangka Belitung. Dia sudah menerbutkan kurang lebih 100 jurnal ilmiah nasional mau pun internasional.
Tak banyak ilmuan seperti Djoko yang 100 persen mendedikasikan temuannya untuk generasi herpetology selanjutnya. Semasa dirinya menjadi ilmuan, belasan penghargaan sudah didapat. Penghargaan itu kebanyakan didapat dari luar negeri, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Salah satunya Kennedy Award di kategori Best published paper of the year with R.M. Brown. Terakhir, Djoko mendapatkan Ganesa Cendekia Widya Adi Utama dari ITB dan Habibie Award.
Djoko merupakan ilmuan kelas internasional. Dia aktif di berbagai forum diskusi. Salah satunya, Djoko aktif di International Society for the Study and Conservations of Amphibians.