Suara.com - Mengawali karir sebagai kurator Herpetologi di Museum Ziologi Bogor, Djoko Tjahjono Iskandar muda memang sudah akrab dengan hewan jenis amphibi, terutama katak. Sejak lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1975, lelaki 66 tahun itu ‘hidup’ dengan katak.
Djoko bukan peneliti biasa, dia keluar masuk hutan untuk mendukung penelitiannya. Tujuannya mencari spesies baru katak di Indonesia. Dedikasi total sebagai peneliti katak, menjadikan dia sebagai herpetolog pertama di Indonesia. Hingga kini dia masih keluar masuk hutan.
Dua penemuan Djoko yang membuat namanya melambung di jajaran ilmuan katak dunia adalah pnemuan katak melahirkan dan katak terkecil di dunia. Djoko banyak cerita dengan suara.com di ruang kerjanya di ITB pekan lalu.
Selayaknya ilmuan yang keluar masuk hutan, ruang kerja Djoko penuh dengan peralatan penelitian. Semua itu dia simpan dalam peti berukuran besar. Isinya perlatan bedah dan penunjang penelitan di hutan.
“Alat pencari katak juga ada tentunya,” kata Djoko yang murah senyum.
Tumpukan kertas dan makalah pun memenuhi ruang kerjanya. Kata dia, itu tumpukan catatan risetnya. Maklum saja, dia punya 200 penemuan sepesies katak baru. Sementara baru 30 spesies yang baru rampung.
“Sisanya saya cicil karena usia nggak lagi muda yang bisa kebut,” jelasnya.
Guru besar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB itu aktif menuliskan temuannya di jurnal ilmiah internasional. Itu juga yang membuat sosok ilmuan seperti Djoko jarang ditemui di Indonesia. Lebih dari 100 tulisan yang sudah dia muat.
Lebih uniknya, perburuan katak spesies baru selama puluhan tahun itu dia lakukan dengan menggunakan kocek sendiri. Pemerintah tidak membiayai penelitiannya.
“Jumlahnya tidak perlu dihitung, yang pasti saya mengumpulkan. Kalau sudah terkumpul, pecah celengan,” kata Djoko setengah serius.
Dari mana Djoko mendapatkan uang itu? Bagaimana cerita lengkap penemuan-penemuan katak spesies baru? Seperti apa cerita seru Djoko keluar masuk hutan terpencil.
Simak ceritanyanya berikut ini dalam wawancara khusus suara.com dengan Djoko:
Saat ini status Anda sebagai ahli katak kelas dunia. Tahun 2014, nama Anda melambung saat menemukan spesies katak baru…
Kalau saya bilang ini dari kerja dengan hewan yang tidak berguna di lingkungan masyarakat. Saya dikatakan, ngapain sih kerja dengan katak? Nggak ada yang lebih bagus. Tapi yang lebih dahsyat, kita belajar konsep, bukan organism. Jika saya menyebut katak, itu kan cuma model. Tapi peristiwa apa yang terjadi di lapangan entah hari ini atau juga jutaan tahun lalu.
Hal penelitian ini bisa menciptakan dugaan sebuah wilayah yang terpisah saat ini pernah menjadi satu jutaan tahun lalu. Ini dengan melihat organisme apa yang ada di sana. Jadi apakah mata kita cukup tajam untuk melihat fenomena seperti itu.
Sebenarnya, bagaimana awal mula Anda suka dengan riset amphibi?
Saya kerja dengan ikan, lalu ikannya diawetkan, orang daerah marah karena ikan itu langka. Bekerja dengan amphibi banyak untungnya, karena tidak bersaing dengan manusia. Hewan ini dianggap tidak berguna. Silakkan saja menangkap amphibi.
Sebetulnya, kalau penelitian itu tidak lari ke konsepnya, peristiwa menggoncangkan dunia itu tidak keluar.
Saat itu saya menangkap katak, lalu disimpan. Ternyata mati kataknya. Saya merasa, ini pasti ada sesuatu si katak mati. Airnya tidak digoncangkan, kenapa katak itu mati? Ini sangat aneh. Katak itu berulang saya tangkap dan diletakan di dalam air, mati terus.
Begitu saya taro di tempat air mengalir, ternyata hidup. Saya mencurigai katak itu tidak ada paru-parunya dan bernafas dengan kulit.
Akhirnya saya bedah dan mencari paru-parunya, ternyata tidak ada. Saya tulis temuan itu dalam paper dan diterbitkan di jurnal ilmiah. Akhirnya dunia gempar, baru saat itu ditemuka katak tak berparu-paru.
Tapi penemuan itu tidak ujung-ujung ketemu katak itu. Ini bukan kebetulan.
Lalu bagaimana cerita sebelum menemukan katak itu?
Katak tak berparu-paru pertama kali ditemukan tahun 1976 oleh orang yang mengambil ikan. Saat itu belum ada internet, kalau ada sebenarnya saat itu bisa mengguncang dunia. Karena itu family katak yang belum pernah dilaporkan di Indonesia. Kedua, di family itu hanya ada 12 spesies, salah satunya di Indonesia.
Saking itu daerah belantara, jauh dan butuh perjalanan lama lewat jalan kaki 3 hari. Tapi akhirnya saya dapat kesempatan dan carinya setengah mati. Begitu dapat, tidak bisa disimpan di tempat biasa.
Lalu Anda juga menemukan katak yang melahirkan kecebong. Biasanya katak itu bertelur, dan telurnya menetas menjadi kecebong. Bagaimana ceritanya?
Waktu pertama kali ditangkap, saya tidak tahu. Begitu katak itu disimpan di botol pengawet, di botol itu ada kecebongnya. Saya berpikir katak ini ditangkap beserta kecebong, kok bodoh sekali saya sampai tidak melihat kecebong itu saat menangkap katak itu.
Tapi penasaran, saya pun membedahnya. Ternyata di perut katak itu ada kecebongnya. Saya pun kirim surat ke teman saya di Amerika. Tapi ternyata teman saya itu ada di Sabah, Malaysia. Dia bela-bela datang ke Bandung untuk melihat temuan saya. Kita bedah sama-sama. Saat itu tahun 1989. Sementara baru saya publikasi di jurnal PLOS ONE dengan judul ‘A Novel Reproductive Mode in Frogs: A New Species of Fanged Frog with Internal Fertilization and Birth of Tadpoles’" di jurnal PLOS ONE.
Saat itu saya dibantu teman saya, Jimmy A. McGuire dan Ben J. Evans. Katak itu spesies baru jenis katak bertaring Sulawesi, Limnonectes Larvaepartus. Ini satu-satunya katak di dunia yang melahirkan kecebong.
Kenapa lama sekali publikasinya?
Karena saya bekerja di seluruh Sulawesi, mirip-mirip ada katak seperti itu. Jadi saya tidak tahu daerah persebarannya tidak tahun. Saya mulai ekspedisi dan mendapatkan katak yang sama. Akhirnya saya mendapatkan informasi persebaran katak itu.
Sehingga didapat hubungan kekerabatannya bagaimana? Ada di daerah mana saja? Jadi baru saya tulis lengkap ceritanya. Jadi saya menuliskan temuan dengan informasi yang banyak, tidak minim.
Saya membaca, pada usia 28 tahun Anda menemukan penemuan lebih besar dari sekarang. Apa itu?
Ya itu si katak itu. Itu sudah saya temukan di usia. Karena yang sudah saya temukan banyak, tapi saya inginnya penemuan itu bukan sporadis. Tapi pekerjaan saya dipakai oleh banyak orang selama 10-20 tahun ke depan. Kita ini kan mengajarkan generasi yang akan datang.
Tapi sebelum penemuan katak itu, tahun 2000 saya juga menemukan spesies katak terkecil di dunia. Ukurannya 9 milimeter.