Suara.com - Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdaltul Ulama menyerukan kepada lebih dari 85 juta pengikutnya tidak mudah terprovokasi terhadap isu kesukuan, ras, agama dan golongan di Indonesia saat ini.
Isu SARA saat ini dipicu karena keluhan calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang merasa ‘diserang’ menggunakan ayat-ayat agama tertentu. Isi ayat itu dipersepsikan umat muslim dilarang memilih pemimpin yang bukan beragama Islam.
Pernyataan Ahok membuat ratusan ribu orang berdemo di Jakarta dan di beberapa daerah. Mereka menuntut polisi menyatakan Ahok bersalah menistakan agama. Saat ini suasana sinisme kesukuan dan agama masih memanas.
Ketua PBNU Kiyai Marsudi Syuhud pun merasakan hal yang sama, suasana panas. Menurutnya, perlu hati-hati menyatakan komentar soal kasus penistaan agama yang dituduhkan ke Ahok. Meski PBNU secara resmi menyatakan ungkapan Ahok menyinggung umat Islam.
Ditemui suara.com di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, pekan lalu, Marsudi selektif memilih kata-kata saat bicara. Saat berbincang dengan suara.com, dia membatasi tidak akan berkomentar soal kasus dugaan penistaan agama Ahok. Menurut dia, satu kata provokatif saja, akan memicu kebencian berbalut agama.
Termasuk dia tidak menjawab, apakah komentar Ahok terhadap surat Al Maidah termasuk penistaan agama.
“Harus dilihat dari sisi hukum. Polisi lagi menangani kasusnya. Kalau saya jawab malah menyulut keadaan. Kita harus membuat suasana ini sejuk,” kata Kyai lulusan S3 ekonomi syariah itu.
Menurutnya, sikap toleransi antar umat di Indonesia harus ditumbuhkan. Sebab provokasi antar suku, ras, agama dan golongan mudah dikobarkan di Indonesia. Provokasi itu biasanya dibawa untuk kepentingan politik sesaat.
Marsudi membagi tips agar isu SARA tak berkembang dan besar di Indonesia. Dia juga berkomentar, apakah benar masyarakat muslim dilarang memilih kaum non muslim?
Simak wawancara lengkap suara.com dengan Marsudi berikut ini:
Indonesia kembali diguncang isu berlatar agama. Kali ini yang dipermasalahkan soal masalah kepemimpinan. Sebenarnya, bagaimana Islam memandang soal kepemimpinan?
Kalau hukum negera, kan hukum demokrasi. Kalau persoalan demokrasi, di Indonesia siapa yang pemilihnya terbanyak, dia yang akan jadi.
Tafsir beragam timbul dari surat Al Maidah soal muslim tak boleh dipimpin dari agama lain. Apa seperti itu?
Lebih baik tidak perlu membahas dari sisi hukum Islam. Apalagi soal persepsi surat Al Maidah. Itu ranah agama. Saya ingin menyejukan suasana dan membuat ketegangan ini bukan soal agama dan keyakinan. Tapi politik.
Persepsi isi surat Al Maidah, itu persepsinya orang-orang itu (kalau Islam harus memilih pemimpin yang beragama Islam). Itu hak semua orang berpikir begitu.
Perdebatan soal Al Maidah berujung ke aksi unjuk rasa dan memicu isu SARA. Bagaimana Anda memandang ini?
Saya ingin berpikir lebih besar. Bangsa Indonesia yang salah satunya didirikan oleh Nahdalatul Ulama ini tidak boleh tercerai berai karena isu SARA. Karena dulu, para pendiri republik yang di antanya para kyai sudah menentukan dasar-dasar negara kita untuk bisa hidup bersama menerima Pancasila, kebinekaan, NKNI dan toleransi.
Yang disepakati bersama itu, kita harus jaga. Jika ada sesuatu yang mengikis itu, kita harus jaga. Jangan sampai memecah bangsa.
Jadi soal memilih pemimpin, kita harus ikuti hukum Indonesia?
Demokrasi kan begitu, saya tidak bicara hukum Islam.
Artinya, kita harus mengikuti aturan di mana kita berada…
Ya sesuaikan saja dengan masing-masing. Kalau menurut agama sudah mencatat aturannya, ya ikuti saja. Saya tidak akan mengganggu. Jadi jalankan dengan keyakinan.
Yang tidak boleh, menistakan dan memprovokasi yang tidak baik. Contoh, Ahok non muslim, dan yang lain muslim. Kalau nggak senang dengan Ahok, yah jangan dipilih. Tapi Anda jangan provokasi orang lain.
Tapi yang saya tekankan, harus saling menghormati pilihan dan keyakinan yang lain.
Sebagai masyarakat mayoritas muslim, isu SARA selalu digunakan di kepentingan tertentu. Mengapa ini bisa terjadi?
Tidak hanya di Indonesia. Di Amerika Serikat juga terjadi, misalnya Donald Trump. Dia menyampaikan isu-isu yang memprovakasi umat Islam. Isu SARA berkembang tidak hanya di Indonesia.
Kewajiban kita, jika isu SARA tersebar, kecil atau besar, harus segera dibereskan dan jangan terpancing dengan isu-isu itu.
Apa yang harus dilakukan masyarakat agar tidak terpancing dengan isu itu?
Pertama, sekarang lagi pada berseliweran informasi di media sosial. Jika ada informasi apa saja, kita harus tabayyun atau klarifikasi kepada sumber yang lebih berhak. Orang saat ini sedang diadu, terutama umat Islam. Umat Islam lagi diadu dengan umat Islam lain.
Apalagi konstalasi Timur Tengah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah diadu dengan Syiah, dan seterusnya. Mereka sama-sama muslim. Orang yang bisa meredam ini semua, orang hebat. Jangan memperuncing perbedaan-perbedaaan. Lebih baik mulut diam dan tangan diam kalau tidak paham. Diam itu selamat di saat ini.
Kedua, utamakan bangunan berbangsa ini yang sudah hampir 100 tahun. Kita jaga bersama-sama, jangan sampai runtuh karena isu-isu yang sesungguhnya bisa kita minimalisir dan kontrol. Tokoh siapa saja, yang menjadi panutan banyak orang, utamakan kemaslahatan umat dan publik.
Ketiga, hindari cacimaki. Caci maki yang kecil akan memancing orang-orang yang mestinya diam, jadi kurang baik.
Keempat, tetap bersama. Ini bangsa kita, jangan sampai runtuh. Harus dijaga. Jangan bermimpi mengubah dasar negara, Pancasila.
Saya menyadari, sampai kini Indonesia banyak kekurangan di sana sini dan masih banyak yang belum sesuai dengan harapan. Ketika belum sesuai dengan, misalnya agama kita. Atau juga ada UU yang belum sesuai dengan agama dan pelaksanaannya, yah harus dikritisi. Tapi jangan dirusak, tapi dibenarkan. Jadi Undang-Undang itu jangan dibongkar dan diganti dengan yang baru.
Pengalaman negara lain yang inginnya instan karena dianggap sistemnya sudah rusak, tapi tidak berhasil membuat lebih baik. Misalnya Afghanistan, Libia, Suriah, Yaman, dan Irak. Jadi kita bagaimana kita mengatur jangan sampai kerusakan ini terus melebar. Ini mengingatkan kita memperbaiki dengan cara yang damai untuk memperbaiki negara.
Di media sosial, ulama juga banyak yang membuat panas situasi. Misalnya mengungkapkan kekecewaan dan menyebut Ahok telah menistakan agama. Bagaimana pandangan Anda?
Di dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya ada halal-haram dan salah-benar, ini bukan hanya untuk kasus Ahok. Tapi di atas hukum fiqih ada ahlaq. Maka Rasulullah diutus di muka bumi untuk menyampaikan bagaimana ahlaq ini bisa berjalan di muka bumi ini.
Kalau bicara salah-benar, betapapun benar kalau tanpa ahlaq, bisa jadi salah. Misalnya kaki Anda pincang, lalu saya panggil Anda “hey pincang”. Pasti Anda marah, meski Anda benar itu pincang.
Maka kalau mau apa saja, mana yang benar dan mana yang berahlaq.
Di kasus tuduhan penistaan ini, para ulama juga menuding akidah dipermainkan. Sebenarnya, bagaimana untuk mengukur akidah dalam satu agama dipermainkan?
Akidah itu kepercayaan. Jadi masing-masing orang sudah mempunyai kepercayaan sendiri. Ada akidah umat Islam, ada akidah umat Kristen dan lain-lain. Artinya tidak bisa dicampur.
Apakah Anda mempunyai contoh kisah yang bisa dicontoh Indonesia dalam hal menerima perbedaan. Khsusnya soal kepemimpinan. Mungkin ada suatu negara yang mayoritas muslim dipimpin non muslim atau juga sebaliknya?
Tunjukan pada saya negara mayoritas non muslim yang dipimpin muslim. Amerika Serikat yang ‘mbahnya demokrasi’ juga tidak ada. Di Inggris, hanya di London saja wali kota-nya muslim, hanya satu. Tapi itu sudah lebih bagus.
Di Indonesia banyak sekali daerah mayoritas dipimpin oleh minoritas. Toleransinya sudah sangat bagus dan lebih maju. Faktanya negara lain yang belum bisa. Negara yang mayoritas muslim rata-rata lebih tinggi moderasinya dan toleransinya.
Ayat-ayat Al Quran sering digunakan untuk menghakimi seseorang. Sebenarnya, bagaimana pandangan di Islam soal penggunaan ayat-ayat dalam Al Quran untuk sebuah kepentingan?
Saya rasa bukan hanya Al Quran yang digunakan sebagai alat. Itu terjadi karena Indonesia ini mayoritas muslim. Di Amerika, kitab suci dimanfaatkan untuk menggiring opini.
Karena apa? Individu-individu kebanyakan ingin berjalan sesuai dengan kemauannya untuk memotivasi teman-temannya yang lain. Itu tidak bisa disalahkan, dan terjadi negara mana pun. Sekarang kita harus apa? Yang begitu sudah ada aturannya.
Tapi apakah lazim ayat-ayat kitab suci dijadikan alat untuk menggiring opini?
Selama orang mempunyai keyakinan, dia akan menyampaikan keyakinannya. Itu saja, kita tidak bisa memaksa atau membatasi.
Sebagai tokoh muslim dan kyai, Anda sering datang ke perayaan Natal. Mengapa itu Anda lalukan?
Kebinekaan itu fakta. Allah menciptakan manusia bukan sebagai umat yang 1 macam. Tapi faktanya ada berbagaimacam umat. Kedua, Allah itu menciptakan manusia yang berbeda-beda, bersuku dan berbangsa-bangsa. Tujuannya adalah untuk saling mengenal.
Dalam hal tasamuh atau toleransi nggak boleh rancu. Yang diperbolehkan di ruang-ruang publik muamalah. Jadi bukan di ruang privasi. Ruang privasi dalam diri kita adalah keimanan. Dalam ruang keimanan, ini yang harus diproteksi, tidak boleh sama.
Sama pun tidak boleh. Jadi kalau saya masuk ke ruangan keimanan Kristen dan saya percaya dengan ajaran Kristen, saya bukan Islam lagi. Begitu juga sebaliknya. Jadi kita harus saling tahu, tidak boleh memasuki ruangan itu.
Saya selama ini dibatasi. Bangsa Indonesia harus mengerti masalah ini agar tidak rancu. Jadi silakan datang ke hari raya umat lain, asal jangan meyakini dengan ajaran mereka.
Bagaimana caranya agar masyarakat tidak mudah terprovokasi isu SARA?
Salah satu poin toleransi itu, menghargai budaya. Ketika kita sudah bisa menghargai dengan budaya, maka bisa menyatu antar orang perorang atau kelompok perkelompok.
Selain isu SARA, radikalisme dan terorisme juga masih menjadi ketakutan di Indonesia. Di berbagai negara muncul Islamofobia…
Suasana perbedaan masih ada sampai saat ini. Masih ada yang memimpikan Negara Islam. Ini makin kuat karena persoalan politik atau perang dunia. Radikalisme perlu disikapi dengan serius karena merambah ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat berkembang islamofobia.
NU ingin membendung itu semua lewat istilah Islam Nusantara. Untuk membendung radikalisme di antara orang-orang muda Islam dilakukan melalui jalur pendidikan. Jangan mudah ikut organisasi keagamaan yang baru.
Di Indonesia, Islam tidak masuk dengan pedang, tetapi dengan pendekatan budaya. Bagaimana bisa hidup dengan budaya setempat.
Biografi singkat Marsudi Syuhud
Marsudi Syuhud merupakan kebumen, 7 Februari 1964. Marsudi menyelesaikan pendidikan Sarjana Sastra Inggris dari STKIP PGRI Institut. Lalu dia mendapatkan gelar Master Manajemen Pemasaran dari Universitas Tarumanegara dan gelar doktor Ekonomi dan Keuangan Islam di Universitas Trisakti. Saat ini menjabat sebagai Ketua PBNU. Marsudi pernah menjabat sebagai Sekretaris Jendral PBNU.
Masa muda Marsudi dihabiskan di Pesantren Raudlatul Mubtadi’in di daerah Jati Sari, Jember, Jawa Timur. Marsudi juga pernah ‘Mondok’ di pesantren al-Ihya’ Ulumaddin Kasugihan di bawah asuhan KH. Musthoih Badawi untuk melanjutkan jenjang pendidikan tsanawiyah hingga aliyah-nya.
Kariernya hingga di elit PBNU karena kedekatannya dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tahun 1986 Marsudi ikut Gus Dur karena ‘dititipkan’ oleh Mustholih Badawi. Sejak itu kariernya di NU cemerlang. Di luar organisasi Islam, dia pernah menjabat sebagai Komisaris PT.KBN (Persero) 2012 silam.
Di kalangan NU, Marsudi termasuk Kyai yang berpikiran terbuka dan toleransi. Dia juga sebagai kyai kontroversi karena pernyataan-pernyataan yang membela kaum minoritas dan berpikir keberagaman. Bahkan Marsudi sering menghadiri perayaan Natal untuh menyampaikan pesan perdamaian berkeyakinan.