Di media sosial, ulama juga banyak yang membuat panas situasi. Misalnya mengungkapkan kekecewaan dan menyebut Ahok telah menistakan agama. Bagaimana pandangan Anda?
Di dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya ada halal-haram dan salah-benar, ini bukan hanya untuk kasus Ahok. Tapi di atas hukum fiqih ada ahlaq. Maka Rasulullah diutus di muka bumi untuk menyampaikan bagaimana ahlaq ini bisa berjalan di muka bumi ini.
Kalau bicara salah-benar, betapapun benar kalau tanpa ahlaq, bisa jadi salah. Misalnya kaki Anda pincang, lalu saya panggil Anda “hey pincang”. Pasti Anda marah, meski Anda benar itu pincang.
Maka kalau mau apa saja, mana yang benar dan mana yang berahlaq.
Di kasus tuduhan penistaan ini, para ulama juga menuding akidah dipermainkan. Sebenarnya, bagaimana untuk mengukur akidah dalam satu agama dipermainkan?
Akidah itu kepercayaan. Jadi masing-masing orang sudah mempunyai kepercayaan sendiri. Ada akidah umat Islam, ada akidah umat Kristen dan lain-lain. Artinya tidak bisa dicampur.
Apakah Anda mempunyai contoh kisah yang bisa dicontoh Indonesia dalam hal menerima perbedaan. Khsusnya soal kepemimpinan. Mungkin ada suatu negara yang mayoritas muslim dipimpin non muslim atau juga sebaliknya?
Tunjukan pada saya negara mayoritas non muslim yang dipimpin muslim. Amerika Serikat yang ‘mbahnya demokrasi’ juga tidak ada. Di Inggris, hanya di London saja wali kota-nya muslim, hanya satu. Tapi itu sudah lebih bagus.
Di Indonesia banyak sekali daerah mayoritas dipimpin oleh minoritas. Toleransinya sudah sangat bagus dan lebih maju. Faktanya negara lain yang belum bisa. Negara yang mayoritas muslim rata-rata lebih tinggi moderasinya dan toleransinya.
Ayat-ayat Al Quran sering digunakan untuk menghakimi seseorang. Sebenarnya, bagaimana pandangan di Islam soal penggunaan ayat-ayat dalam Al Quran untuk sebuah kepentingan?
Saya rasa bukan hanya Al Quran yang digunakan sebagai alat. Itu terjadi karena Indonesia ini mayoritas muslim. Di Amerika, kitab suci dimanfaatkan untuk menggiring opini.
Karena apa? Individu-individu kebanyakan ingin berjalan sesuai dengan kemauannya untuk memotivasi teman-temannya yang lain. Itu tidak bisa disalahkan, dan terjadi negara mana pun. Sekarang kita harus apa? Yang begitu sudah ada aturannya.
Tapi apakah lazim ayat-ayat kitab suci dijadikan alat untuk menggiring opini?
Selama orang mempunyai keyakinan, dia akan menyampaikan keyakinannya. Itu saja, kita tidak bisa memaksa atau membatasi.
Sebagai tokoh muslim dan kyai, Anda sering datang ke perayaan Natal. Mengapa itu Anda lalukan?
Kebinekaan itu fakta. Allah menciptakan manusia bukan sebagai umat yang 1 macam. Tapi faktanya ada berbagaimacam umat. Kedua, Allah itu menciptakan manusia yang berbeda-beda, bersuku dan berbangsa-bangsa. Tujuannya adalah untuk saling mengenal.
Dalam hal tasamuh atau toleransi nggak boleh rancu. Yang diperbolehkan di ruang-ruang publik muamalah. Jadi bukan di ruang privasi. Ruang privasi dalam diri kita adalah keimanan. Dalam ruang keimanan, ini yang harus diproteksi, tidak boleh sama.
Sama pun tidak boleh. Jadi kalau saya masuk ke ruangan keimanan Kristen dan saya percaya dengan ajaran Kristen, saya bukan Islam lagi. Begitu juga sebaliknya. Jadi kita harus saling tahu, tidak boleh memasuki ruangan itu.
Saya selama ini dibatasi. Bangsa Indonesia harus mengerti masalah ini agar tidak rancu. Jadi silakan datang ke hari raya umat lain, asal jangan meyakini dengan ajaran mereka.
Bagaimana caranya agar masyarakat tidak mudah terprovokasi isu SARA?
Salah satu poin toleransi itu, menghargai budaya. Ketika kita sudah bisa menghargai dengan budaya, maka bisa menyatu antar orang perorang atau kelompok perkelompok.
Selain isu SARA, radikalisme dan terorisme juga masih menjadi ketakutan di Indonesia. Di berbagai negara muncul Islamofobia…
Suasana perbedaan masih ada sampai saat ini. Masih ada yang memimpikan Negara Islam. Ini makin kuat karena persoalan politik atau perang dunia. Radikalisme perlu disikapi dengan serius karena merambah ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat berkembang islamofobia.
NU ingin membendung itu semua lewat istilah Islam Nusantara. Untuk membendung radikalisme di antara orang-orang muda Islam dilakukan melalui jalur pendidikan. Jangan mudah ikut organisasi keagamaan yang baru.
Di Indonesia, Islam tidak masuk dengan pedang, tetapi dengan pendekatan budaya. Bagaimana bisa hidup dengan budaya setempat.
Biografi singkat Marsudi Syuhud
Marsudi Syuhud merupakan kebumen, 7 Februari 1964. Marsudi menyelesaikan pendidikan Sarjana Sastra Inggris dari STKIP PGRI Institut. Lalu dia mendapatkan gelar Master Manajemen Pemasaran dari Universitas Tarumanegara dan gelar doktor Ekonomi dan Keuangan Islam di Universitas Trisakti. Saat ini menjabat sebagai Ketua PBNU. Marsudi pernah menjabat sebagai Sekretaris Jendral PBNU.
Masa muda Marsudi dihabiskan di Pesantren Raudlatul Mubtadi’in di daerah Jati Sari, Jember, Jawa Timur. Marsudi juga pernah ‘Mondok’ di pesantren al-Ihya’ Ulumaddin Kasugihan di bawah asuhan KH. Musthoih Badawi untuk melanjutkan jenjang pendidikan tsanawiyah hingga aliyah-nya.
Kariernya hingga di elit PBNU karena kedekatannya dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tahun 1986 Marsudi ikut Gus Dur karena ‘dititipkan’ oleh Mustholih Badawi. Sejak itu kariernya di NU cemerlang. Di luar organisasi Islam, dia pernah menjabat sebagai Komisaris PT.KBN (Persero) 2012 silam.
Di kalangan NU, Marsudi termasuk Kyai yang berpikiran terbuka dan toleransi. Dia juga sebagai kyai kontroversi karena pernyataan-pernyataan yang membela kaum minoritas dan berpikir keberagaman. Bahkan Marsudi sering menghadiri perayaan Natal untuh menyampaikan pesan perdamaian berkeyakinan.