Kyai Syuhud: Jangan Terprovokasi, Selalu Tabayyun, Bertoleransi

Senin, 14 November 2016 | 07:00 WIB
Kyai Syuhud: Jangan Terprovokasi, Selalu Tabayyun, Bertoleransi
Ketua PBNU Marsudi Syuhud. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdaltul Ulama menyerukan kepada lebih dari 85 juta pengikutnya tidak mudah terprovokasi terhadap isu kesukuan, ras, agama dan golongan di Indonesia saat ini.

Isu SARA saat ini dipicu karena keluhan calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang  merasa ‘diserang’ menggunakan ayat-ayat agama tertentu.  Isi ayat itu dipersepsikan umat muslim dilarang memilih pemimpin yang bukan beragama Islam.

Pernyataan Ahok membuat ratusan ribu orang berdemo di Jakarta dan di beberapa daerah. Mereka menuntut polisi menyatakan Ahok bersalah menistakan agama. Saat ini suasana sinisme kesukuan dan agama masih memanas.

Ketua PBNU Kiyai Marsudi Syuhud pun merasakan hal yang sama, suasana panas. Menurutnya, perlu hati-hati menyatakan komentar soal kasus penistaan agama yang dituduhkan ke Ahok. Meski PBNU secara resmi menyatakan ungkapan Ahok menyinggung umat Islam.

Ditemui suara.com di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, pekan lalu, Marsudi selektif memilih kata-kata saat bicara. Saat berbincang dengan suara.com, dia membatasi tidak akan berkomentar soal kasus dugaan penistaan agama Ahok. Menurut dia, satu kata provokatif saja, akan memicu kebencian berbalut agama.

Termasuk dia tidak menjawab, apakah komentar Ahok terhadap surat Al Maidah termasuk penistaan agama.

“Harus dilihat dari sisi hukum. Polisi lagi menangani kasusnya. Kalau saya jawab malah menyulut keadaan. Kita harus membuat suasana ini sejuk,” kata Kyai lulusan S3 ekonomi syariah itu.

Menurutnya, sikap toleransi antar umat di Indonesia harus ditumbuhkan. Sebab provokasi antar suku, ras, agama dan golongan mudah dikobarkan di Indonesia. Provokasi itu biasanya dibawa untuk kepentingan politik sesaat.

Marsudi membagi tips agar isu SARA tak berkembang dan besar di Indonesia. Dia juga berkomentar, apakah benar masyarakat muslim dilarang memilih kaum non muslim?

Simak wawancara lengkap suara.com dengan Marsudi berikut ini:

​Indonesia kembali diguncang isu berlatar agama. Kali ini yang dipermasalahkan soal masalah kepemimpinan. Sebenarnya, bagaimana Islam memandang soal kepemimpinan?

Kalau hukum negera, kan hukum demokrasi. Kalau persoalan demokrasi, di Indonesia siapa yang pemilihnya terbanyak, dia yang akan jadi.

​Tafsir beragam timbul dari surat Al Maidah soal muslim tak boleh dipimpin dari agama lain. Apa seperti itu?

Lebih baik tidak perlu membahas dari sisi hukum Islam. Apalagi soal persepsi surat Al Maidah. Itu ranah agama. Saya ingin menyejukan suasana dan membuat ketegangan ini bukan soal agama dan keyakinan. Tapi politik.

Persepsi isi surat Al Maidah, itu persepsinya orang-orang itu (kalau Islam harus memilih pemimpin yang beragama Islam). Itu hak semua orang berpikir begitu.

Perdebatan soal Al Maidah berujung ke aksi unjuk rasa dan memicu isu SARA. Bagaimana Anda memandang ini?

Saya ingin berpikir lebih besar. Bangsa Indonesia yang salah satunya didirikan oleh Nahdalatul Ulama ini tidak boleh tercerai berai karena isu SARA. Karena dulu, para pendiri republik yang di antanya para kyai sudah menentukan dasar-dasar negara kita untuk bisa hidup bersama menerima Pancasila, kebinekaan, NKNI dan toleransi.

Yang disepakati bersama itu, kita harus jaga. Jika ada sesuatu yang mengikis itu, kita harus jaga. Jangan sampai memecah bangsa.

Jadi soal memilih pemimpin, kita harus ikuti hukum Indonesia?

Demokrasi kan begitu, saya tidak bicara hukum Islam.

Artinya, kita harus mengikuti aturan di mana kita berada…

Ya sesuaikan saja dengan masing-masing. Kalau menurut agama sudah mencatat aturannya, ya ikuti saja. Saya tidak akan mengganggu. Jadi jalankan dengan keyakinan.

Yang tidak boleh, menistakan dan memprovokasi yang tidak baik. Contoh, Ahok non muslim, dan yang lain muslim. Kalau nggak senang dengan Ahok, yah jangan dipilih. Tapi Anda jangan provokasi orang lain.

Tapi yang saya tekankan, harus saling menghormati pilihan dan keyakinan yang lain.

​Sebagai masyarakat mayoritas muslim, isu SARA selalu digunakan di kepentingan tertentu. Mengapa ini bisa terjadi?

Tidak hanya di Indonesia. Di Amerika Serikat juga terjadi, misalnya Donald Trump. Dia menyampaikan isu-isu yang memprovakasi umat Islam. Isu SARA berkembang tidak hanya di Indonesia.

Kewajiban kita, jika isu SARA tersebar, kecil atau  besar, harus segera dibereskan dan jangan terpancing dengan isu-isu itu.

Apa yang harus dilakukan masyarakat agar tidak terpancing dengan isu itu?

Pertama, sekarang lagi pada berseliweran informasi di media sosial. Jika ada informasi apa saja, kita harus tabayyun atau klarifikasi kepada sumber yang lebih berhak. Orang saat ini sedang diadu, terutama umat Islam. Umat Islam lagi diadu dengan umat Islam lain.

Apalagi konstalasi Timur Tengah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah diadu dengan Syiah, dan seterusnya. Mereka sama-sama muslim. Orang yang bisa meredam ini semua, orang hebat. Jangan memperuncing perbedaan-perbedaaan. Lebih baik mulut diam dan  tangan diam kalau tidak paham. Diam itu selamat di saat ini.

Kedua, utamakan bangunan berbangsa ini yang sudah hampir 100 tahun. Kita jaga bersama-sama, jangan sampai runtuh karena isu-isu yang sesungguhnya bisa kita minimalisir dan kontrol. Tokoh siapa saja, yang menjadi panutan banyak orang, utamakan kemaslahatan umat dan publik.

Ketiga, hindari cacimaki. Caci maki yang kecil akan memancing orang-orang yang mestinya diam, jadi kurang baik.

Keempat, tetap bersama. Ini bangsa kita, jangan sampai runtuh. Harus dijaga. Jangan bermimpi mengubah dasar negara, Pancasila.

Saya menyadari, sampai kini Indonesia banyak kekurangan di sana sini dan masih banyak yang belum sesuai dengan harapan. Ketika belum sesuai dengan, misalnya agama kita. Atau juga ada UU yang belum sesuai dengan agama dan pelaksanaannya, yah harus dikritisi. Tapi jangan dirusak, tapi dibenarkan. Jadi Undang-Undang itu jangan dibongkar dan diganti dengan yang baru.

Pengalaman negara lain yang inginnya instan karena dianggap sistemnya sudah rusak, tapi tidak berhasil membuat lebih baik. Misalnya Afghanistan, Libia, Suriah, Yaman, dan Irak. Jadi kita bagaimana kita mengatur jangan sampai kerusakan ini terus melebar. Ini mengingatkan kita memperbaiki dengan cara yang damai untuk memperbaiki negara. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI