Beberapa daerah berani menolak kelompok intoleran, seperti FPI. Misalnya Kalimantan, Purwakarta, dan Purwokerto. Apakah penolakan seperti itu bisa membungkam pertumbuhan kelompok intoleran?
Masing-masing daerah punya ciri-ciri sendiri. Sehingga apa yang dilakukan di Purwakarta belum tenti bisa diterapkan di daerah-daerah lain. Paling penting, di mana pun itu,kedepankan pendidikan masyarakatnya.
Tessis Setara Institute menyatakan ujungnya terorisme, akarnya sikap-sikap intoleransi. Makanya pendidikan di masyarakat bawah tentang sikap-sikap toleransi itu menjadi penting. Setara juga mempunyai program pendidikan ke guru-guru agama dan pesantren, agar menerapkan pengajaran yang berlatar toleransi.
Jika sejak kecil sudah diajarkan sikap-sikap intoleran, itu lah benih-benih menuju terorisme. Sebab orang melakukan teror tidak secara tiba-tiba, tapi ada tahapnya. Mulanya selalu dari sikap intoleransi.
Sering kali kami melacak pelaku teror dari masa lalunya. Misal melihat asal, sampai pesantrennya. Lalu mereka bergabung dengan orang-orang yang punya kemampuan untuk melakukan teror. Misal merakit bom.
Setara pernah survei tentang sikap toleransi di Jakarta dan Bandung Raya. Bisa Anda highlight?
Dalam laporan itu, pendidikan dianggap sebagai masalah utama dalam pengembangan masyarakat yang toleran. Di sisi lain, sistem pendidikan di Indonesia tidak menopang tumbuhnya toleransi. Sebut saja di Pasal 3 UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lihat saja isinya.
(Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab).
Kata “berakhlak mulia” diterjemahkan secara monolitik sebagai mencetak siswa-siswi yang agamis dan seragam.
Lalu inti hasil survei itu ada persoalan di tingkat guru, terutama guru agama yang memberikan pemahaman tentang makna toleransi atau kebhinekaan. Guru tidak optimal mentransmisikan pengetahuan keagamaan yang plural dan tidak mampu menjadikan pendidikan kewargaan sebagai sarana efektif memperkuat toleransi.
Apakah negara sudah maksmimal untuk membungkam intoleransi?
Polisi dan BNPT mempunyai program itu. Begitu juga LSM-LSM yang bekerja di bidang isu keberagaman dan HAM, misalnya Setara. Namun, kami tidak mungkin berantas terorisme. Yang bisa kami lakukan adalah membenahi sikap-sikap intoleransi melalui akarnya.
Apa yang paling sulit mencegah pertumbuhan sikap intoleransi?
Terus terang, program semacam ini memakan biaya. Misalnya mendidik guru, membuat panduan dan mencetak buku. Sementara program semacam ini belum banyak pihak yang ingin membiayai. Kita juga kesulitan dengan orang-orang yang diajarkan berseberangan dengan itu. Nggak mudah.
Kedua, tayangan di media yang mengggambarkan intoleransi memberikan pandangan lain kepada mereka yang intoleran.
Di samping tenaga kita di urusan itu masih sangat terbatas. BNPT juga programnya sangat terbatas dan menjangkau mereka. Rencananya kami akan bertemu dengan BNPT, dan kerjasama.
Sebab, harus ada sinergi antara lembaga negara yang menangani terorisme dengan masyarakat.
Sekarang kan lucu, makin banyak catatan teroris yang ditembak. Makin banyak juga terjadi terorisme.
Artinya mungkin penanganan nya banyak yang keliru. Harus sering dievaluasi. Satu tindakan keliru dari terorisme akan menciptakan teror-teror baru dan dendam baru.
Bagaimana ide membatasi pendirian ormas berlatar agama? Sebab kebanyakan ormas keagamaan cenderung intoleransi.
Ormas seperti ini memang benih dari terorisme. Tapi kalu pembatasan ini bentuknya pelarangan pembentukan ormas, tidak boleh dilarang. Siapapun berhak mendirikan ormas, asal asasnya Pancasila dan tidak bergerak dengan menggunakan kekerasan.
Saya setuju saja pembatasan dalam bentuk, adanya semacam gugatan lewat pengadilan. Pembatasan ormas yang melakukan kekerasan. Tapi sering juga ada kasus ormas melakukan kekerasan, tapi itu buka nama organiasasi. Makanya pengadilan harus melihat secara luas.
Tahun 2015 Setara mencatat Bogor dan Bekasi kota paling intoleran di Indonesia. Bagaimana updatenya terkini?
Jawa Barat memang selalu ada di nomor 1. Kami mensurvey 94 kota di seluruh Indonesia. Di 2015 kemarin, ada 10 kota yang sangat intoleransi. Kota itu di antaranya Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, Bandung, Serang, Mataram, Sukabumi, Banjar dan Tasikmalaya dan Aceh.
Tapi yang perlu dicatat survei ini melihat dari sisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (DPJMD) dan kebijakan yang diambil. Kami juga melihat peristiwa kerukunan antar umat beragama, serta respon pemerintah.
Sebut saja Bogor, saat itu ada kasus larangan pembangunan gereja GKI Yasmin. Selain itu di Jawa Barat banyak perda-perda diskriminatif. Perda melarang praktik keagamaan monoritas.
Di sisi lain saat itu ada kota paling toleransi. Di antaranya Pematang Siantar, Salatiga, Singkawang, Manado, Tual, Sibolga, Ambon, Sorong, Pontianak, dan Palangkaraya.
Untuk update tahun ini masih diproses, kota yang kami teliti pun masih sama.
Biografi singkat Hendardi:
Hendardi merupakan aktivis HAM, pejuang kesetaraan dan keberagaman. Dia kelahiran Jakarta, 13 Oktober 1957. Saat ini Hendardi merupakan Ketua Badan Pengurus Setara Institute dan juga Ketua Majelis Anggota Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
Hendardi mendirikan Setara Institute bersama beberapa tokoh. Hendardi banyak menyuarakan tentang perlakuan setara, plural dan bermartabat atas semua orang dalam tata sosial politik demokratis.
Hendardi pernah tergabung dalam Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan aktivis HAM Munir. Terakhir dia tergabung dalam Anggota Tim Investigasi Polri terkait pernyataan mendiang gembong narkoba Freddy Budiman di testimoni aktivis HAM KontraS, Haris Azhar.