Suara.com - Indonesia kembali diguncang isu kesukuan, agama, ras dan golongan (SARA). Terutama saat momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017 di Jakarta.
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok disasar menggunakan isu SARA. Ini berawal saat Ahok curhat ada yang menjegalnya agar tidak dipilih sebagai gubernur DKI Jakarta lewat surat Al Maidah ayat 51. Pernyataan itu dinilai sebagai pelecehan terhadap agama Islam.
Curhat Ahok itu pun berujung pada demo besar, Jumat (4/11/2016) lalu di Jakarta. Seluruh orang dari berbagai kelompok ormas kompak berpakaian putih berdemo di berbagai tempat, pusatnya di depan Istana Negara. Mereka menuntut Ahok ditangkap dan diadili.
Sayang, demo yang awalnya kondusif berubah menjadi rusuh di malam hari. Pembakaran mobil aparat sampai penjarahan minimarket terjadi di tempat yang berbeda. Bahkan di media sosial beredar sentiment negatif terhadap etnis tertentu.
Aktivis Hak Azasi Manusia, Hendardi mengatakan penggunaan isu SARA untuk menyerang pihak tertentu sering dilakukan di Indonesia. Kebanyakan dilakukan untuk kepentingan politik. Dia mencatat dua kali Indonesia diguncang isu SARA yang sangat parah. Pertama saat reformasi 1998 dan konflik di Poso di kurun waktu 1998 sampai 2000.
“Itu masa kelam Indonesia,” kata Hendardi.
Menurut dia, penggunaan isu SARA untuk kepentingan politik tertentu sangat bahaya. Jika penggunaan SARA untuk menyerang kelompok atau orang tertentu terus dilakukan, Indonesia bisa dalam bahaya.
Menurut Hendardi, warga negara perlu diberikan pemaham agar tidak terpengaruh terhadap isu-isu politik berbungkus SARA agar tidak bersikap intoleran. Sayangnya, kata Direktur Setara Institut itu, banyak kepala daerah yang intoleran dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan tak adil untuk kelompok minoritas.
Apa yang perlu dilakukan agar isu SARA tidak merebak di Indonesia? Bagaimana juga caranya agar masyarakat tidak mudah terprovokasi?
Simak wawancara khusus suara.com dengan Hendardi di Kantor Setara Institute pekan lalu:
Saat ini isu perbedaan keyakinan atau SARA di Indonesia tengah menguat. Isu SARA terus dijadikan senjata untuk kelompok Intoleran untuk menyerang lawannya. Mengapa ini terus terjadi?
Dalam catatan kami, SARA selalu mempunyai intensitas timbulnya naik turun. Permaian isu SARA selalu dikaitkan dengan momentum politik. Kalau isu SARA saat ini, tampaknya melekat pada kepentingan-kepentingan politik tertentu. Baik pilkada serentak 2017, maupun kepentingan politik lebih jauh dan besar. Ahok itu adalah sasaran di antaranya saja, mungkin ada sasaran yang lebih tinggi dari itu.
Siapa? Presiden Jokowi…
Bisa Jadi. Selalu ada yang dompleng dan main politik di sini. Tapi negeri ini akan celaka kalau isu SARA selalu dimainkan untuk menghukum seseorang atau juga pemaksaan hukum dikenakan ke seseorang. Bahkan Indonesia akan hancur jika SARA dipakai untuk memaksakan mayoritas untuk selalu menang terhadap minoritas.
Jika ini terjadi turus, maka negeri ini akan hancur.
Pilkada saat ini juga terasa panas dengan isu SARA….
Iya. Makanya, sejumlah tokoh independen membuat petisi. Mulai pekan lalu disiarkan di change.org.
Isi petisi:
Pada 15 Februari 2017 Pilkada serentak akan digelar di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pilkada adalah proses suksesi dan sirkulasi kepemimpinan, serta ikhtiar mencari pemimpin terbaik untuk mengabdi pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sebagai sebuah proses demokrasi, Pilkada sejatinya adalah proses politik biasa yang tidak mencemaskan warga. Pilkada seperti proses politik lainnya, sedapat mungkin memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk bersikap rasional, kritis, dan kebebasan dalam menentukan pilihan.
Namun, menyimak ruang publik Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan Pilkada DKI Jakarta, yang penuh caci maki, kebencian, dan penggunaan etnisitas seperti Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) untuk menghimpun dukungan politik dan menundukkan lawan politik, kita semua merasakan seolah-olah kita kembali pada situasi sebelum Sumpah Pemuda dicetuskan 88 tahun yang lalu.
Saat ini kohesi sosial kita sebagai bangsa, khususnya di DKI Jakarta, dirusak oleh barikade sosial diantara warga yang berbeda dan mengarah pada menguatnya himpunan-himpunan yang sempit yang mengikis kebhinekaan dan perdamaian.
Bangsa Indonesia dibentuk dan terbentuk karena keberagaman/ kebhinekaannya. Fakta sosio-antropologis bangsa yang plural itulah yang menjadi kekuatan dan kekayaan kita sebagai bangsa.
Atas dasar itu, sejumlah tokoh dan elemen masyarakat sipil menyampaikan petisi dan seruan sebagai berikut:
Bahwa setiap orang memiliki tugas yang sama untuk menjaga dan mempertahankan keberagaman bangsa Indonesia sebagai bentuk ekspresi kenegarawanan atau sekurang-kurangnya sebagai bentuk kepedulian pada kenegarawanan (sense of statesmanship).
Bahwa penggunaan isu SARA dalam proses Pilkada di Jakarta dan di daerah lainnya, menggambarkan lemahnya kualitas demokrasi Indonesia dan kemunduran serius praktik penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Eksploitasi isu SARA dalam setiap proses politik akan melumpuhkan akal sehat publik untuk berpikir merdeka dan merampas kebebasan setiap warga.
Bahwa diskriminasi atas dasar SARA adalah bentuk kejahatan tertua dalam sejarah umat manusia, karena itu negara-negara di dunia dengan tegas menentang segala bentuk diskriminasi itu. Larangan diskriminasi atas dasar SARA juga tercantum dalam UUD Negara RI 1945 dan berbagai dokumen internasional hak asasi manusia.
Bahwa menjaga perdamaian dan kerukunan antar sesama adalah tugas dan kewajiban setiap anak bangsa, agar kohesi sosial kita sebagai bangsa tetap terjaga dan terus bertumbuh semakin kuat. Karena itu, kami menyerukan agar pengutamaan nilai-nilai perdamaian dan kerukunan menjadi perhatian semua elemen bangsa, bukan hanya dalam proses Pilkada tetapi berkelanjutan untuk menjaga eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Bahwa permusuhan, intoleransi, dan mengikisnya penghargaan pada sesama anak bangsa memiliki daya rusak paling serius pada bangsa Indonesia. Para penyelenggara negara, tokoh agama, tokoh masyarakat, politisi, elemen masyarakat sipil semuanya mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memastikan perdamaian dan keamanan tetap terjaga.
Sejak kapan isu SARA berkemasan politik subur di Indonesia?
Dari dulu ada, tapi zaman Soeharto yang otoriter, mana berani kelompok tertentu bermain isu SARA. Mereka akan ditumpas oleh Soeharto, tapi untuk kepentingan politik dia. Saat itu, isu semacam ini tidak akan dibiarkan tumbuh.
Lalu apakah baiknya kita balik ke zaman otoriter? Tetap nggak bisa. Tapi Soeharto berhasil tidak membiarkan isu semacam ini berkembang.
Ketika demokrasi dibuka, isu SARA tumbuh berkembang. Karena orang lebih bebas bersuara dan berbicara. Problemnya saat ini di polisi. Sebab kebebasan bersuara ini akan mejadi problem hukum.
Orang bebas bicara, tapi saat berhadapan dengan undang-undang maka aparat hukum akan bekerja. Contohnya orang yang melontarkan ujaran kebencian saja bisa dihukum, termasuk berpidato dengan menghasut.
Ormas berkedok agama sering melontarkan ujian kebencian, tapi tidak tersentuh. Terutama di aksi-aksi demo mereka…
Kalau mencegah demonstrasi itu, harus ada unsur pidana. Kalau tidak ada, tidak bisa dicegah. Jika demonstrasi dilarang, maka tidak demokratis. Apa pun terkait demonstrasi atau menyatakan pendapat, itu hak.
Asal dilakukan secara damai. Ketika tidak damai, mereka harus ditindak.
Tapi saya setuju dengan sinyalemen Anda, di banyak kasus polisi terasa lambat bertindak, ragu-ragu atau juga tidak ingin bertindak jika menghadapi kelompok-kelompok mayoritas yang intoleran. Sering kali polisi mendapat tekanan dari kelompok mayoritas.
Padahal aparat hukum di dalam suatu negara, fungsinya melindungi minoritas. Sebab mereka kelompok kecil dan tidak dilindungi.
Agar kepolisian kuat, mereka perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Sering kali polisi stop kegiatan yang dicurigai berpotensi mengundang protes. Justru polisi seharusnya harus membela kegiatan itu untuk tetap berlangsung, karena itu hak warga negara.
Tapi selain banyak faktor politik yang menekan, polisi belum cukup lama berpisah dari induknya (ABRI) yang mana cara pandangnya bukan melindungi dan mengayomi masyarakat, tapi cara pandang militer.
Makanya sering juga polisi yang menyatakan gagah-gagahan yang mengancam tembak di tempat dalam menghadapi demonstrasi. “Tembak di tempat” tak dikenal di dunia kepolisian. Bahkan kalau yang ucapkan Kapolri “tembak di tempat” itu sudah pasti keliru.
Penggunaan senjata di kepolisian dilakukan karena dua hal, karena si polisinya terancam, kedua ketika dia melindungi hak orang lain yang terancam.