Suara.com - Aktivis kemerdekaan Papua, Herman Wainggai pernah diusulkan untuk menerima Nobel Peace Prize 2016. Itu adalah penghargaan bergengsi pengakuan dunia yang berdedikasi untuk perdamaian.
George Mason University, Amerika Serikat mengusulkan Herman untuk menerima hadiah nobel itu. Alasannya Herman adalah sosok pejuang HAM di Papua. Dia aktivis yang ngotot Papua harus merdeka.
Mundur ke belakang, Januari 2006. Herman membuat panas hubungan Indonesia dan Australia. Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjadi presiden jadi gusar. Herman memimpin 41 orang Papua melarikan diri dan meminta suaka ke Negeri Kanguru itu.
18 Januari 2006, mereka tiba di Tanjung York, Australia dengan membawa bendera Melanesia Barat. 3 bulan kemudian, Australia menerima permohonn perlindungan atau suaka mereka. John Howard, Perdana Menteri Australia kala itu memberikan visa sementara ke Herman dan kawan-kawanya. SBY pun menarik Duta Besarnya di sana.
Herman menjadi pemimpin aktivis pro-kemerdekaan Papua sejak tahun 80-an. Sejak Australia menemrima suakanya diterima Australia, dia memulai hidup baru sebagai juru kampanye kemerdekaan Papua di luar negeri. Di berbagai pertemuan, dia menjelaskan alasan Papua harus dipisahkan dari Indonesia. Menurut dia, itu lebih baik karena banyak pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan tentara Indonesia di Papua.
Herman hidup dalam pengasingan. Sekarag dia ada di Virginia, Amerika Serikat menjadi pengajar khusus di Unversitas George Mason. Herman membantu orang asing di sana meneliti isu perdamaian dan HAM di Asia Pasifik, khususnya di Papua.
Herman aktif menjadi pembicara dalam pertemuan dan seminar internasional tetang HAM. Herman pun wara-wiri melobi kongres Amerika dan PBB untuk mendukung kemerdekaan Papua. Dia tak percaya Indonesia yang sampai dipimpin Joko Widodo adil dengan Papua.
Apa saja yang diceritakan Herman di depan PBB dan Kongres Amerika tentang Papua? Presiden Jokowi mulai memperhatikan Papua, misalnya dengan mencanangkan harga premium normal seperti di Jawa, apakah Herman tetap ingin Papua merdeka?
Berikut wawancara suara.com dengan Herman melalui Skype belum lama ini:
Apa yang Anda kerjakan di Amerika Serikat?
Saya belajar sambil mengajar, tapi juga terlibat dalam kegiatan aktivis. Di sana saya sebagai visiting scholar di George Mason University dari 2012. Bekerja dengan beberapa profesor untuk riset saya atau penelitian tentang Papua. Saya juga mengajar dan menulis dan update tentang papua di sosial media.
Prinsipnya itu semua terfokus kepada pejuangan HAM dari sudut pandang akademis. Amerika belajar banyak tentang HAM di Papua. Mereka juga belajar soal latar belakang budaya.
Saya berjuang untuk kemerdekaan Papua sejak usia 16 tahun, sekarang usia saya 43 tahun.
Balik ke belakang, bagaimana kisah Anda sampai akhirnya memutuskan meninggalkan Indonesia?
Saat usia 20 tahun, saya mendirikan kelompk Pemuda Nasional Papua Barat (Westpanyat). Tujuannya untuk mempromosikan filosofi keturunan Malenesia Barat dan melakukan perlawanan non kekerasan. Perjuangan ini dilakukan dengan damai. Tahun 2000 ada 18 ribu pengikut organisasi ini. Mereka meyakini Papua Barat bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Kami sama dengan PNG, Bougainville, Solomon, Fiji, kanaki, dan Vanuatu.
Tahun 2000, the West Papua Student Union (SONAMAPA) membawa 16 organisasi poltik Papua Barat dalam pertemuan Awawi di perbatasan Indonesia-PNG. Organisasi suku malenesia itu sepakat untuk bersatu. Lalu kami kembali ke Papua dan berkumpul di Universitas Cenderawasih. Di Jayapura kami mengibarkan bendera Papua Barat. Saya dan ayah saya diitangkap oleh polisi dan tentara. Saya didakwa dengan pasal subversi di Kantor Polisi selama empat bulan.
Setelah bebas, saya ke Papua Nugini untuk belajar bahasa Inggris. Saya juga menghadiri sebuah pertemuan dengan perwakilan dari seluruh Melanesia. Aktivis dari Bougainville, Kaledonia Baru, Vanuatu, Fiji, dan Kepulauan Solomon menghadiri pertemuan itu.
Enam bulan kemudian kembali ke Papua Barat, Thomas Wainggai ditangkap dengan tuduhan subversi dengan mendirikan negara Papua Barat. Saya juga dipenjara selama 2 tahun.
Saya sendiri berjuang sejak tahun 1988, keterlibatan saya mengorganisir kelompok. Saya 2 kali dipenjara karena tuduhan makar.
Tahun 2004 bebas, saya berpikir tidak ingin kembali ke penjara ini. Saya pun melarikan diri. Saya lari ke Australia dari Merauke untuk meminta suaka. Saya merasa saat itu tidak bisa bergerak dan mengekspresikan diri di Indonesia. Saya sampai di Tanjung York, Australia, 18 Januari 2006 dan menjadi berita internasional.
Di Australia, saya menceritakan keadaan Papua. Di sana saya sangat dilindungi. Saya 3 tahun di Australia.
Tahun 2009, saya diundang ke Boston, Amerika Serikat. Di Amerika ada gerakan West Papua Action Network, ini organisasi pergerakan jaringan kerja tentang kemerdekaan Papua di Amerika.
Akhirnya dari George Mason University merekomendasikan saya untuk menjadi nominator nobel perdamaian. Mereka mengikuti perjuangan saya selama di Papua sampai saat ini.
Saya hanya bekerja dan bersuara, bagi saya ini pengakuan perjuangan panjang orang Papua.
Tahun ini Anda menjadi kandidat peraih nobel perdamaian, bagaimana awal nominasi ini bisa diberikan ke Anda?
Bagi saya itu satu pengakuan terhadap perjuangan panjang terhadap orang Papua. Perjuangan damai dan tanpa kekerasan sejak kepemimpinan saat menjadi tahanan politik di rezim soeharto. Walau pun kami dihadapkan brutalnya militer Indonesia yang masih terjadi sampai saat ini.
Meski reformasi sudah dihembuskan, tapi kami merasa masih dalam kondisi yang pernah kami alami dulu di orde baru.
Saya terinspirasi DR. Thomas Wainggai. Dia paman saya. Dia pejuang HAM Papua tahun 1980-an yang menginspirasikan perjuangan damai tanpa kekerasan. Saat itu zamanya, tidak ada orang Pupua yang bisa bicara, terlebih menyanyi dan mengibarkan bendera untuk identitas bangsa, itu tidak bisa.
Beliau mengingatkan kami adalah seorang Melanesia yang berbeda dengan orang Indonesia.
Ketika dia meninggal diracun di Penjara Cipinang setelah diputuskan 20 tahun penjara. Pada 12 Maret 1996, dia meninggal setelah menjalani hukuman 7 tahun penjara. Setelah dia meninggal, perjuanganya tidak pernah berakhir, sampai sekarang.
Ada berapa banyak aktivis Papua di Amerika yang berjuang bersama Anda?
Saya berdua bersama Oktavianus Morte.
Apakah yang Anda lalukan di Amerika Serikat?
Sejak 2009 di sini, selain kegiatan akademik, saya juga mendokumendasikan berita-berita yang terjadi di Papua. Saya menulis, dan memberikan tulisan itu ke Kongres Amerika Serikat.
Saya melobi. Mereka sangat perduli dengan situasi HAM di Papua. Setelah saya melobi, saya persentasikan itu. Saya juga bersama tim lobi di Amerika agar diterima Kongres Amerika.
Anda meminta dukungan kepada Kongres Amerika Serikat untuk kemerdekaan Papua?
Iya. Saya melihat negara besar seperti Amerika bisa juga menyuarakan kepedulian itu. Saya juga bertemu dengan organisasi HAM. Seperti bertemu organisasi internasional saat pertemuan di PBB.
Saya juga memberikan tulisan tentang keadaan papua ke PBB. Saya pernah berikan itu tahun 2012 ke Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Indonesia selalu menyembunyikan tidak ada kekerasan di Papua, tapi dengan perkembangan zaman di media sosial, itu tidak bisa disembunyikan lagi.
Di Indonesia, ada keraguan orang Papua untuk mengelola negaranya kalau sudah merdeka. Bagaimana pandangan Anda?
Kita bisa menghakimi seperti itu. Bagaimaa bisa menghakimi negara yang belum menjalankan roda pememrintahannya. Penilaian orang Papua tidak bisa menjalankan roda pemerintahannya, itu penilaian keliru.