Sapardi Djoko Damono: Sastra Bukan Lagi Buku, Tak Dibatasi Medium

Senin, 24 Oktober 2016 | 07:00 WIB
Sapardi Djoko Damono: Sastra Bukan Lagi Buku, Tak Dibatasi Medium
Sapardi Djoko Damono. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aku Ingin

 aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak pernah diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu.

 Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Itu adalah salah satu puisi yang sangat terkenal ciptaan Sapardi Djoko Damono. Puisi itu mendunia dan sering dijadikan lirik untuk musikalisasi puisi. Lirik dalam puisi itu sering dijadikan bait undangan pernikahan karena dinilai romantis.

Sapardi memang besar karena sajak-sajaknya yang bermakna dan romantis. Sejak 1987, puisinya sering diambil untuk dijadikan lirik musik. Karya pertamanya yang dijadikan musikalisasi puisi adalah “Aku Ingin”.

“Puisi ini jadi beberapa menit, cuma 15 menitan,” kata Sapardi.

Bahkan tahun 1991, lirik puisi “Aku Ingin” diaransemen ulang oleh musisi Dwiki untuk kepentingan proyek soundtrack album film ‘Cinta dalam Sepotong Roti’ 1991.

Di tengah usianya yang ke- 76 tahun, sang pujangga masih aktif di dunia kesusatraan. Dia masih aktif menulis berbagai buku, seperti novel dan puisi. Terakhir, Sapardi menerbitkan buku ‘Bilang Begini, Maksudnya Begitu’, ‘Hujan Bulan Juni’, dan ‘Trilogi Soekram’. Empat buku lainnya, segera terbit tahun ini.

Suara.com menemui Guru Besar Institut Kesenian Jakarta itu di Taman Ismail Marzuki, Cikini pekan lalu. Dia masih terlihat bugar dan teliti melihat setiap kalimat di kertas. Terbukti beberapa kali Sapardi mengoreksi hasil tulisan mahasiswanya di kampus.

Sapardi, salah satu sastrawan Indonesia yang mendunia, namun lelaki yang piawai bicara banyak bahasa asing​ itu tetap rendah hati dan apa adanya. Bahkan sastrawan yang banyak menterjemahkan karya sastra asing itu merahasiakan jumlah bahasa yang dia kuasai.

“Rahasia, waktu sekolah saya belajar 4 bahasa. Setelah itu terus belajar. Sekarang lagi terjemahkan buku sastra dari Rusia,” kata Sapardi.

Sapardi baru saja memperoleh penghargaan bergengsi Habibie Award 2016 di bidang kebudayaan karena dedikasinya dengan dunia kesusastraan Indonesia. Karya Sapardi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Hindi, Jepang, Cina, Prancis, Inggis, dan lainnya.

Dalam perbincangan dengan suara.com, Sapardi banyak mengupas soal pendidikan sastra masa kini. Dia juga menganalisa dunia sastra saat ini di tengah era digital dan media sosial.

Berikut wawancara lengkapnya:

Sebagai sastrawan,  Anda mendapatkan penghargaa Habibie Award 2016. Apa hubungan puisi dengan teknologi?

Taufiq Ismail dulu juga dapat, bukan saya saja. Kadang sejarawan juga dapat. Tahun 1996 lalu, saat Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi, saya sempat katakana kalau sastra itu sebenarnya juga teknologi, yaitu teknologi sastra. Saya pernah baca kalau aksara itu hasil dari teknologi. Mulai dari tulisan menjadi gambar, lalu diproses menjadi teknologi layar sentuh, itu adalah teknologi seni.

Saat ini sastra sangat tergantung dengan teknologi karena menulis berdasarkan teknologi yang kita kembangkan. Dulu menulis dengan pensil, lalu berkembang pembuatan komputer, dengan itu sekarang ini kita menulis. Jadi sastra saat ini tergantung dengan teknologi.

Bahkan bisa saja nanti puisi dikembangkan dalam bentuk gambar dia atau juga gambar bergerak. Dasarnya aksara atau huruf-huruf itu kan gambar. Jadi kalau ingin mengembangkan cyber sastra juga bisa, asalkan bisa menguasai teknologi secanggih-canggihnya.

Saat ini kalau tidak menguasi teknologi dan litrasi modern, tidak akan bisa. Sastrawan modern harus akrab dengan teknologi. Kalau tidak, karyanya tidak ada yang baca.

Apakah ada sisi negatif dari perkembangan teknologi untuk sastra?

Nggak ada. Kalau ada sisi negatifnya, ngapain ciptakan teknologi? Teknologi mempermudah penciptaan karya kesusastraan. Maka harus terus dikembangkan. Jadi dulu kita kirim surat, sekarang dengan menelepon. Jadi ini alat.

Tapi minat baca buku jadi kurang. Sebab orang lebih suka menghabiskan waktu dengan ponsel pintarnya…

Gundul mu! Di toko buku, berapa ratus buku tiap bulan terbit? Kalau tidak ada yang baca, ngapain dijual sebanyak itu. Mengapa begitu banyak penerbit di Indonesia? Bahkan toko buku tiap bulan menerbitkan 50 judul buku. Siapa yang mau baca itu? Berapa penjualan buku.

Cek saja Gramedia, ada berapa ratus judul yang keluar tiap pekan? Ini tidak pernah ada dalam sejarah sastra di Indonesia sebelumnya. Nah kalau nyatanya begitu, yang baca buku itu siapa? Memang setan?

Buku-buku yang terbit makin laku saat diunggah di media sosial. Mereka yang melihat akan beli karena mendapat tanggapan positif.

Jadi minat baca mana yang turun? Anda bayangkan anak-anak sekarang baca buku Harry Potter yang tebalnya sampai ribuan halaman hanya dibaca dalam sehari. Kenyataan gitu.

Saat ini kalau kita berpegang keyakinan kalau sastra itu adalah buku, itu salah. Sastra bukan buku saat ini, bagaimana kalau And abaca sajak Rendra di komputer, apa itu bukan sastra? Jika nulis sajak di blog, apa itu bukan sastra? Saat Sastra tidak mengenal medium saat ini.

Jadi buku dan teknologi saling jalan. Buku dihidupkan dengan intenet, internet dihidupkan dengan buku. Sebab internet nggak akan ada isinya kalau tidak ada buku. Buku tidak akan laku kalau nggak ada internet.

Kalau kita tetap berpikir sastra adalah buku, maka anak-anak di Pupua sana tidak akan mengenal tulisan. Mereka lebih baik diberikan komputer dan akses internet agar bisa baca berbagai hal. Kalau hanya mengirim buku, maka jumlah dan akses akan terbatas.

Sekarang penyair modern membuat karya karena membaca di internet. Mereka belajar buku-buku orang asing dari internet, jadi lebih pintar.

Medium kesusastraan tidak dibatasi, namun apakah penulis blog atau juga di media sosial bisa disebut sebagai penulis sastra?

Jadi penyebutan penulis harus menulis buku, ketinggalan sekali. Penulis tidak harus menulis menjadi buku. Kan jadi e-book bisa, audio pun bisa. Jaman dulu, sastra juga bukan buku. Dongeng pun sastra.

Apakah syarat yang harus dipenuhi agar sebuah tulisan bisa dikatakan sastra?

Sejak zaman Plato, sudah ada sastra. Kata dia, sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan. Karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus model kenyataan. Dan masih banyak yang mendefenisikan sastra, jadi tidak ada syarat baku, bebas saja. Asal jelas apa yang dia sampaikan. Misalnya sajak, cerita, atau juga novel. Semua orang punya pandangan sendiri. 

Sastra di media massa yang paling nyata terlihat perkembangannya, berbagai bahasa baru muncul. Menurut Anda apakah ini sebuah kemajuan atau kemunduran media?

Kemajuan. Terserah saja, sastra menggunakan jenis bahasa apa saja. Mulai dari bahasa anak-anak sampai bahasa sontoloyo. Bahasa sastra adalah semua jenis bahasa yang diperoleh manusia. Sastra nggak ada batasnya. 

​Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan banyak negara berubah karena puisi. Negara mana yang berubah karena puisi?

Nggak ada, negara hanya berubah karena bedil, bukan puisi. Puisi tanpa bedil nggak bisa. Yang bisa, puisi itu masuk ke kepala orang lewat pikiran, lalu menyemangati perang dan terjadi revolusi. Jadi kalau sastra masuk ke pikiran orang dan mengubah sikapnya, banyak. Tapi puisi bisa mengubah negara, nggak ada. Itu hanya kesombongan sastrawan saja.

Lalu bagaimana peran puisi di zaman dulu dalam memerdekakan negara?

Nggak ada. Bohong besar. Kalau nggak Bung Karno dan bedil, nggak akan merdeka.

Bagaimana jika puisi perlawanan?

Jurnalisme perlawanan juga bisa, tapi kalau nggak ada yang menyerbu markas musuh mana bisa kalau cuma kata-kata saja.

Kalau puisi menyemangati bisa juga. Begitu juga dengan pidato. Tapi yang menyerbu adalah tentara.

Apakah puisi-puisi Anda juga dibuat untuk menyemangati?

Yah nggak tahu. Saya hanya buat, dan orang yang menilai.

Selama puluhan tahun bergelut di sastra, Anda dikenal sebagai pujangga dan pembuat puisi. Apakah dalam hidup Anda hanya ada puisi?

Saya juga menulis novel. Buku saya sudah 50 buku. Saya juga guru, membuat buku untuk mahasiswa. Semua dipakai di perguruan tinggi. Kalau dikenal sebagai penyair, itu salah yang kenal.

Anda masih aktif menulis puisi. Apa perbedaan cara Anda menulis saat ini dibanding dulu saat muda?

Sama saja. Dulu saya waktu SMA, masih banyak waktu untuk menulis. Saat sudah bekerja, kadang jarak penerbitan buku satu ke buku lainnya bisa 7 tahun. Saya bukan orang porduktif dan banyak buku. Buku pertama saja tahun 1959, buku kedua 1974, kan jaraknya 5 tahun. Selanjutnya penerbitan buku tahun 1984.

Buku puisi saya terakhir terbit tahun ini.

Bagaimana kiat untuk mencari inspirasi saat menulis?

Saya menulis tanpa inspirasi. Saya mau menulis yah nulis saja. Apa itu inspirasi, apa ada yang bisa jelaskan apa itu inspirasi?

Nggak usah mencari inspirasi, buat saja. Kalau ada yang berpikir, berkarya itu butuh inspirasi hanya pikiran gombal. Ngapain tunggu pinggir kali untuk berkarya, celaka sekali.

Kalau saya, apa yang saya pikir saat itu, itu lah yang saya akan tulis. Ditambah berdasarkan pengalaman hidup saya. Jadi yang menentukan apa yang ditulis, bukan inspirasi, tapi saya sendiri. Inspirasi itu bohong.

​Saya sangat suka dengan puisi Anda "Yang fana adalah waktu". Apa makna di balik puisi ini?

Saya nggak bisa jelaskan. Proses membuatnya juga lupa, saya menulis 2.000 puisi. Mana ingat satu-satu. Kalau saya bisa menjelaskan makna puisi itu, saya menulis essay. Yang tahu makna itu hanya yang baca. Biar ditafsirkan sendiri, terserah saja.

Puisi ‘aku ingin’ juga sangat terkenal. Ada cerita apa di balik puisi ini?

Saya lupa, silakan interpretasikan saja. Puisi hidup kalau interpretasi macam-macam. Puisi ini jadi beberapa menit, cuma 15 menitan. Saat itu ditulis tangan.

Apa saran Anda untuk sastrawan muda?

Mereka lebih bagus dari saya, dan karya meraka juga bagus. Mereka belajar dari mana-mana dengan mudah. Penguasaan bahasa asing mereka bagus, jadi bisa membaca karya-karya dari negara lain. Berbeda dengan zaman saya.

Saya sulit mendapatkan buku dari luar Indonesia. Karena internet tidak ada, saya dapat dari koran. Tapi tahun 1950-an, tidak mudah cari koran. Jadi apa yang didapatkan sastrawan muda saat ini mempengaruhi gaya sastra saat ini, itu namanya tradisi.

Jadi tidak mempertahankan yang lama, namun mengembangkan yang lama menjadi baru. Anak muda saat ini harus membaca dari bacaan lama untuk tahu. Tapi setelah itu membuat yang baru. Jangan hanya membaca karya 1 orang saja.

Maka itu penguasaan bahasa sangat penting.

Anda bisa berapa bahasa?

Banyak, tapi tidak perlu dibahas. Saya dulu SMA diajarkan 4 bahasa asing, Jerman, Prancis, Inggris dan bahasa latin.

​Selain menjadi pengajar di IKJ, apa kegiatan Anda saat ini?

Saya masih menulis, kegiatan saja di IKJ saja. Selain itu masih menterjemahkan puisi. Saya juga ngajar di Solo dan UI. Jadi antara membaca dan menulis.

Saya guru besar di IKJ, dan bertugas mengembangkan matakuliah. Saya membuat matakuliah di sini, salh satunya workshop penulisan. Karena mahasiswa kesulitan utama bukan ilmu pengetahuan, tapi kebisaan untuk menulis. Mahasiswa saya para seniman dan jago kerja, begitu berhubungan dengan menulis, mereka nggak bisa.

Selain itu saya membuat matakuliah wawasan sosial budaya. Mereka diajarkan masalah hidup, saya mendatangkan politisi dan tokoh untuk berdiskusi.

Kekhususan keilmuan saya sastra.

Bagaimana dengan pelajaran sastra di sekolah?

Yang ngajar saja tidak bisa menulis kok. Coba saja tanya ke guru, apakah mereka pernah nulis? Nggak pernah kebanyakan. Guru harus mendorong anak-anak nulis, selama ini mereka hanya belajar teori saja.

Idealnya, murid akan dilepas untuk menulis.

Biografi singkat Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Dia seorang pujangga yang dikenal melalui berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana. Sapardi pernah mengenyam pendidikan jurusan sastra di Universitas Gadjah Mada. Lalu gelar S2-nya didapat dari Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Sementara gelar Doktor dari Universitas Indonesia.

Sapardi pernah pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, pelaksana harian Pusat Dokumentasi H.B. Yassin, dan pengurus RT. Ia pun pernah menjadi anggota redaksi majalah Basis di Yogya, country editor untuk Tenggara, jurnal sastra Asia Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur, dan correspondent untuk Indonesia Circle, jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies, University of London.

Sapardi pernah mendapatkan berbagai penghargaan. Di antaranya Cultural Award (1978) dari Austrlia, Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand, Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah Indonesia. Yang terbaru, pekan lalu dia dianugerahi Habibie Award 2016.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI