Sapardi Djoko Damono: Sastra Bukan Lagi Buku, Tak Dibatasi Medium

Senin, 24 Oktober 2016 | 07:00 WIB
Sapardi Djoko Damono: Sastra Bukan Lagi Buku, Tak Dibatasi Medium
Sapardi Djoko Damono. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sastra di media massa yang paling nyata terlihat perkembangannya, berbagai bahasa baru muncul. Menurut Anda apakah ini sebuah kemajuan atau kemunduran media?

Kemajuan. Terserah saja, sastra menggunakan jenis bahasa apa saja. Mulai dari bahasa anak-anak sampai bahasa sontoloyo. Bahasa sastra adalah semua jenis bahasa yang diperoleh manusia. Sastra nggak ada batasnya. 

​Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan banyak negara berubah karena puisi. Negara mana yang berubah karena puisi?

Nggak ada, negara hanya berubah karena bedil, bukan puisi. Puisi tanpa bedil nggak bisa. Yang bisa, puisi itu masuk ke kepala orang lewat pikiran, lalu menyemangati perang dan terjadi revolusi. Jadi kalau sastra masuk ke pikiran orang dan mengubah sikapnya, banyak. Tapi puisi bisa mengubah negara, nggak ada. Itu hanya kesombongan sastrawan saja.

Lalu bagaimana peran puisi di zaman dulu dalam memerdekakan negara?

Nggak ada. Bohong besar. Kalau nggak Bung Karno dan bedil, nggak akan merdeka.

Bagaimana jika puisi perlawanan?

Jurnalisme perlawanan juga bisa, tapi kalau nggak ada yang menyerbu markas musuh mana bisa kalau cuma kata-kata saja.

Kalau puisi menyemangati bisa juga. Begitu juga dengan pidato. Tapi yang menyerbu adalah tentara.

Apakah puisi-puisi Anda juga dibuat untuk menyemangati?

Yah nggak tahu. Saya hanya buat, dan orang yang menilai.

Selama puluhan tahun bergelut di sastra, Anda dikenal sebagai pujangga dan pembuat puisi. Apakah dalam hidup Anda hanya ada puisi?

Saya juga menulis novel. Buku saya sudah 50 buku. Saya juga guru, membuat buku untuk mahasiswa. Semua dipakai di perguruan tinggi. Kalau dikenal sebagai penyair, itu salah yang kenal.

Anda masih aktif menulis puisi. Apa perbedaan cara Anda menulis saat ini dibanding dulu saat muda?

Sama saja. Dulu saya waktu SMA, masih banyak waktu untuk menulis. Saat sudah bekerja, kadang jarak penerbitan buku satu ke buku lainnya bisa 7 tahun. Saya bukan orang porduktif dan banyak buku. Buku pertama saja tahun 1959, buku kedua 1974, kan jaraknya 5 tahun. Selanjutnya penerbitan buku tahun 1984.

Buku puisi saya terakhir terbit tahun ini.

Bagaimana kiat untuk mencari inspirasi saat menulis?

Saya menulis tanpa inspirasi. Saya mau menulis yah nulis saja. Apa itu inspirasi, apa ada yang bisa jelaskan apa itu inspirasi?

Nggak usah mencari inspirasi, buat saja. Kalau ada yang berpikir, berkarya itu butuh inspirasi hanya pikiran gombal. Ngapain tunggu pinggir kali untuk berkarya, celaka sekali.

Kalau saya, apa yang saya pikir saat itu, itu lah yang saya akan tulis. Ditambah berdasarkan pengalaman hidup saya. Jadi yang menentukan apa yang ditulis, bukan inspirasi, tapi saya sendiri. Inspirasi itu bohong.

​Saya sangat suka dengan puisi Anda "Yang fana adalah waktu". Apa makna di balik puisi ini?

Saya nggak bisa jelaskan. Proses membuatnya juga lupa, saya menulis 2.000 puisi. Mana ingat satu-satu. Kalau saya bisa menjelaskan makna puisi itu, saya menulis essay. Yang tahu makna itu hanya yang baca. Biar ditafsirkan sendiri, terserah saja.

Puisi ‘aku ingin’ juga sangat terkenal. Ada cerita apa di balik puisi ini?

Saya lupa, silakan interpretasikan saja. Puisi hidup kalau interpretasi macam-macam. Puisi ini jadi beberapa menit, cuma 15 menitan. Saat itu ditulis tangan.

Apa saran Anda untuk sastrawan muda?

Mereka lebih bagus dari saya, dan karya meraka juga bagus. Mereka belajar dari mana-mana dengan mudah. Penguasaan bahasa asing mereka bagus, jadi bisa membaca karya-karya dari negara lain. Berbeda dengan zaman saya.

Saya sulit mendapatkan buku dari luar Indonesia. Karena internet tidak ada, saya dapat dari koran. Tapi tahun 1950-an, tidak mudah cari koran. Jadi apa yang didapatkan sastrawan muda saat ini mempengaruhi gaya sastra saat ini, itu namanya tradisi.

Jadi tidak mempertahankan yang lama, namun mengembangkan yang lama menjadi baru. Anak muda saat ini harus membaca dari bacaan lama untuk tahu. Tapi setelah itu membuat yang baru. Jangan hanya membaca karya 1 orang saja.

Maka itu penguasaan bahasa sangat penting.

Anda bisa berapa bahasa?

Banyak, tapi tidak perlu dibahas. Saya dulu SMA diajarkan 4 bahasa asing, Jerman, Prancis, Inggris dan bahasa latin.

​Selain menjadi pengajar di IKJ, apa kegiatan Anda saat ini?

Saya masih menulis, kegiatan saja di IKJ saja. Selain itu masih menterjemahkan puisi. Saya juga ngajar di Solo dan UI. Jadi antara membaca dan menulis.

Saya guru besar di IKJ, dan bertugas mengembangkan matakuliah. Saya membuat matakuliah di sini, salh satunya workshop penulisan. Karena mahasiswa kesulitan utama bukan ilmu pengetahuan, tapi kebisaan untuk menulis. Mahasiswa saya para seniman dan jago kerja, begitu berhubungan dengan menulis, mereka nggak bisa.

Selain itu saya membuat matakuliah wawasan sosial budaya. Mereka diajarkan masalah hidup, saya mendatangkan politisi dan tokoh untuk berdiskusi.

Kekhususan keilmuan saya sastra.

Bagaimana dengan pelajaran sastra di sekolah?

Yang ngajar saja tidak bisa menulis kok. Coba saja tanya ke guru, apakah mereka pernah nulis? Nggak pernah kebanyakan. Guru harus mendorong anak-anak nulis, selama ini mereka hanya belajar teori saja.

Idealnya, murid akan dilepas untuk menulis.

Biografi singkat Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Dia seorang pujangga yang dikenal melalui berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana. Sapardi pernah mengenyam pendidikan jurusan sastra di Universitas Gadjah Mada. Lalu gelar S2-nya didapat dari Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Sementara gelar Doktor dari Universitas Indonesia.

Sapardi pernah pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, pelaksana harian Pusat Dokumentasi H.B. Yassin, dan pengurus RT. Ia pun pernah menjadi anggota redaksi majalah Basis di Yogya, country editor untuk Tenggara, jurnal sastra Asia Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur, dan correspondent untuk Indonesia Circle, jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies, University of London.

Sapardi pernah mendapatkan berbagai penghargaan. Di antaranya Cultural Award (1978) dari Austrlia, Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand, Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah Indonesia. Yang terbaru, pekan lalu dia dianugerahi Habibie Award 2016.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI