Banyak sekali. Dalam rata-rata statistik, satu produk kira-kira bisa gagal meneliti 50 tumbuhan. Untungnya Indonesia mempunyai jenis tumbuhan terbanyak kedua di dunia. Jadi masih banyak yang bisa diteliti.
Dari 9 obat yang Anda temukan, mana yang paling sulit?
Yang paling sulit mengembangkan obat dari cacing tanah. Cacing tanah di Indonesia ada 6 spesies, dan sangat mirip dari sisi fisik. Dari studi DNA, baru akan ditemukan perbedaannya. Membuat produk yang stabil dari cacing tanah sangat sulit.
Cacing tanah mempunyai 20 ribu protein, yang hanya diperlukan 8 protein untuk mendapatkan trombolisis. Sehingga protein yang tidak terpakai harus dihilangkan dari proses biotekologi.
Saat dikembangkan tahun 2006, tidak ada supply cacing tanah yang siap. Karena yang dibutuhkan sekian ton. Akhirnya saya mendapatkan cara untuk memanen dan menggandakan cacing tanah oleh petani. Tapi tidak mudah, cacing tanah di dalam tanah banyak musuhnya.
Kemudian hal yang paling sulit dan lama sekali kita dapatkan, yaitu mengetahui waktu cacing tanah bisa memproduksi protein dalam jumlah besar. Kalau malam hari, cacing sudah lemas dan kandungan proteinnya kecil. Maka harus dipanen pagi-pagi.
Pembuatan produk ini sampai melalui 7 tahun penelitian. Kegagalan sangat sering.
Anda sempat mengatakan pemanfaatan bahan baku alam sebagai obat di Indonesia masih sangat minim. Apa yang terjadi di Indonesia?
Bahan baku alam untuk obat yang saya masukan ada dua jenis. Badan POM menyebutkan klasifikasi obat alam ada 3 jenis, obat tradional/jamu, obat herbal berstandar, dan obat dari bahan alam atau fitofarmaka.
Saat ini banyak bahan herbal dibuat jamu, tapi obat herbal berstandar, dan obat dari bahan alam atau fitofarmaka tidak banyak. Di Indonesia obat herbal berstandar jumlahnya tidak lebih dari 50 jenis. Sementara fitofarmaka hanya ada 8 jenis di Indonesia.