Raymond Tjandrawinata: Melihat Potensi Obat Herbal di Indonesia

Senin, 17 Oktober 2016 | 07:00 WIB
Raymond Tjandrawinata: Melihat Potensi Obat Herbal di Indonesia
Raymond R Tjandrawinata. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tak terelakan, Indonesia merupakan negara kaya sumber daya alam hayati. Catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOPM), Indonesia mempunyai lebih dari 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan. Sebanyak 7.500 jenis di antaranya termasuk tanaman berkhasiat obat.

Hutan Indonesia menjadi habitat 30.000 dari 40.000 jenis tumbuhan obat di dunia. Sebanyak 90 persen dari tumbuhan obat dunia terdapat di wilayah Asia.

‘Silau’ dengan potensi itu, Raymond Rubianto Tjandrawinata, PhD, MS, MBA, FRSC pulang ke Indonesia setelah belasan tahun sekolah di Amerika Serikat belajar biologi molekuler sampai S3. Di Amerika, Raymond sudah bekerja sebagai peneliti di perusahaan farmasi bergengsi.

Sejak tahun 2000, Profesor kelahiran Bandung 54 tahun lalu ini fokus menciptakan obat baru dengan bahan dasar tanaman herbal, bahkan binatang pun dijadikan obat. Tak heran, Raymond mendapatkan penghargaan bergengsi Habibie Award 2016 untuk bidang ilmu kedokteran dan bioteknologi. Dia dinilai berdedikasi dalam pengembangan obat-obatan Indonesia.

Suara.com menemui Raymond di kantornya di Kawasan Bintaro, Tangerang, Banten. Dia banyak bercerita perjalanan hidupnya sampai kegelisahannya tentang riset obat-obatan herbal.

Raymond menemui banyak tantangan bekerja di industri obat swasta. Mulai dari riset sampai ke penjualan obat. Menurut dia, pemerintah kurang mendukung pengembangan obat-obatan herbal.

Tidak banyak ilmuan seperti Raymond di Indonesia. Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Raymond pekan lalu:

Anda salah satu ilmuan Indonesia yang 100 persen terjun di Industri. Tidak banyak orang seperti Anda di Indonesia. Bagaimana awal karier Anda?

Sebetulnya saya dari tahun 1996 sudah di swasta. 1996 saya masih di Amerika, meneliti di perusahaan farmasi SmithKline Beecham Pharmaceuticals, California. Sejak tahun 2000, saya berpikir untuk mengembangkan produk berbasis bahan alam di Indonesia karena bahan bakunya banyak tersedia. Tahun 2000 pulang ke Indonesia, dan membawa pemikiran itu ke Dexa Medica.

Sejak dulu bercita-cita menjadi dosen dan peneliti akademisi. Tapi pada saat itu lulusan S3 susah mendapatkan pekerjaan sebagai akademisi karena pengurangan kedudukan di fakultas. Makanya saya memilih di swasta, saat itu di SmithKline Beecham Pharmaceuticals.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI