Banyak versi yang mengungkapkan soal gerakan G30/S. Misal itu sebagai kudeta Soeharto, lalu dalangnya memang PKI. Selain itu di balik gerakan itu ada andil Soekarno, dan keterlibatan inteligen Asing. Menurut penelitian Anda, mana yang benar?
Semua nggak benar. Karena situasi saat itu sifatnya chaos, orang bertarung dengan ketidakmengertian. Soal keterlibatan Soekarno, ngapain Bung Karno membunuh para jenderal? Jenderal-jenderal yang terbunuh itu orang-orangnya sendiri. Itu nggak masuk akal saya.
Bagaimana ketidakpahaman dia saat ditahan di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Saat itu Soekarno sangat powerfull, meski kekuasaannya mulai rontok. Kalau kita baca catatan dan dokumen, dia bingung juga apa semua yang terjadi. Karena dia bingung, Soekarno jadi lebih cenderung ke PKI. Karena dia lebih percaya.
Jangan salah juga, DN Aidit dan Njoto itu seorang menteri utama. Begitu juga Subandrio. Otomatis Soekarno mencari perlindungan di sekitarnya, PKI juga partai yang sangat kuat. Tidak ada bukti yang menunjukan Bung Karno terlibat.
Kedua, apakah benar PKI terlibat? Seluruh dokumen Mahmilub sudah jelas. Aidit dan Njoto minta dihukum mati. Tapi partainya jangan dibubarkan. Saat masa Soeharto berkuasa muncul perspektif jika Gerakan 30 September didalangi PKI, karena akses dokumen ditutup rapat. Orang tidak boleh mempelajari saat itu.
Bagaimana soal jumlah korban pembunuhan orang-orang yang dituduh PKI?
Ada yag bilang 3 juta orang. Saat itu jumlah penduduk Indonesia masih 80 juta orang. Jika 3 juta yang tewas, data statistik pasti berubah. Tapi saya telusuri statistik penduduk saat itu tidak ada yang berubah.
Berapa angka pastinya menurut Anda?
Paling 10 sampai 15 ribuan orang. Tapi angka resmi yang dipakai pemerintah 78 ribu orang. Angka itu dibuat oleh seorang manajer algojo yang membunuh orang-orang yang dituduh PKI, Marufin dan Komadan Kodim Kediri saat itu.
Marufin mengaku tidak membunuh, tapi hanya mengkoordinir pembunuhan itu. Saat itu, mereka dikabarkan akan didatangi tim pencari fakta yang dipimpin Menteri Negara saat itu, Oei Tjoe Tat. Marufin dan komandan Kodim mendadak rapat malam-malam. Mayat-mayat di pinggiran sungai Brantas dibersihkan dan dicemplungkan ke sungai.
Dapat rapat itu, Marufin dan komandan Kodim berdiskusi soal jumlah. Kata komandan Kodim itu angka korban yang dibunuh jangan kecil-kecil sekali, nanti dibilang tidak hebat. “Kan kita ganjang PKI, angkanya harus hebat,” kata dia. Lalu disebut angka 80 ribu bagaimana? Tapi mereka rasa angkanya ganjil karena terlalu pas 80 ribu.
Akhirnya mereka sepakat mengarang angkanya 78 ribu. Nah itulah yang dipakai. Saya tahu fakta itu karena wawancara Marufin sendiritahun 1983 sampai 1996. Mereka ingin menjadi pahlawan di Jakarta. Begitu Oe Tjoe Tat datang, dia disodori angka itu. Itu lah yang dianggap fakta oleh negara sampai saat ini.
Dalam disertasi, Anda meneliti kejadian pembantaian massa di Jombang dan Kediri saat itu. Bisa Anda ceritakan?
Jombang dan Kediri yang saya teliti merupakan area yang pertarungannya paling keras dan yang mati paling banyak. Yang mati, semua aktivis dan pengurus PKI. Dalam 1 desa, maksimal pengurusnya 45 orang.
Kalau dikumpulkan korban yang dibunuh di wilayah konflik, jumlahnya tidak sampai 15 ribu orang. Itu pun jika 45 orang ini dibunuh. Nah kalau se-Indonesia disebut sampai 3 juta orang, dari mana?
Bagaimana dugaan jika G30/S adalah kudeta Soeharto?
Saat itu Soeharto memimpin Kostrad. Kostrad saat itu betul-betul pasukan cadangan, tidak mempunyai pasukan seperti saat ini. Makanya Soeharto saat itu pangkatnya bintang 2, bukan 3. Selama ini orang menganggap saat itu Soeharto punya pasukan, itu salah.
Kostrad mempunyai pasukan cadagan, di antaranya Veteran dan mahasiswa/Wamil, bukan pasukan regular. Soeharto saat itu bukan siapa-siapa kalau tidak dikasih kewenangan oleh Nasution.
Pak Nas mempunyai sifat peragu, bukan orang lapangan yang bisa mengambil keputusan komando dengan cepat. Kalau Pak Nas orang yang cepat mengambil keputusan, mungkin sejarah Indonesia berubah. Dia yang pimpin republik ini.
Jadi ini sebuah pertarungan, bukan kudeta. Ketika Soeharto diberikan kewenangan oleh Pak Nas di Markas Kostrad, makin lama Soeharto makin berani untuk ambil peran. Termasuk saat mengancam Omar Dhani, kalau menopang PKI maka Halim Pardana Kusuma akan dibumihanguskan.
Saya mendapatkan bukti ancaman itu berupa telegram dari Soeharto. Kemudian terjadi konsolidasi dari Angkatan Darat, sebab jenderal yang mati mempunyai banyak pasukan sehingga muncul solidaritas.
Momentum itu yang digunakan Soeharto, ditambah kampaye kebiadaban PKI dengan menyebut Gerwani melakukan tari-tarian saat menyiksa jenderal. Padahal tarian dan siksaan itu tidak ada.
Saya heran, mana ada pasukan kroco yang mengambil jenderal itu berani menyiksa jenderal. Jadi pasti mereka ditembak langsung. Ternyata hasil otopsi dokter, para jenderal tidak ada yang disiksa. Luka sekujur tubuh karena dicemplungkan ke lobang buaya. Penyiksaan itu bagian dari propaganda Angkatan Darat untuk berkuasa.
Soal bukti Soeharto Kudeta pun tidak ada. Ada satu peristiwa yang memperkuat peran Soeharto, saat dia terbukti mengetahui duluan ada kudeta itu.
Saat itu dia ada di rumah sakit saat anaknya, Tommy tesiram air panas. Itu pun tidak bisa disebut bukti. Bukan hanya Soeharto yang tahu, banyak jenderal juga sudah tahu.
Kalau pandangan saya, Soeharto dalam posisi ngintip-ngintip, wah ada peluang untuk ngambil power nih nih. Dia jenderal pinggiran, bukan pemain utama.
Saat minta Supersemar di Istana Bogor, dia masih ditemani Amir Mahmud. Saya pun tidak percaya, Bung Karno ditekan suruh tandatangan surat itu. Nggak ada yang berani lho, kharismanya luar biasa. Meski lemah secara politis. Saat mengumumkan, Bung Karno masih tertawa-tawa.
Dia bilang, “Harto, sini. Ini lho orangnya. Saya beri kewenangan untuk mengendalikan situasi.”
Harus dicatat, Bung Karno memberi kewenangan untuk mengendalikan situasi, bukan mengendalikan negara dan kekuasaan. Peluang itu yang diambil Soeharto untuk membubarkan PKI dan segala macam. Bung Karno kaget, kok begitu jadinya.
Saat ini proses rekonsiliasi masih berlanjut, namun belum juga ada titik terang. Malah terjadi tekanan dari tentara. Analisa Anda, apa yang terjadi? Apakah rekonsiliasi ini akan benar-benar terjadi?
Sulit sekali, karena sebagian pelaku masih hidup. Saya mengalami dijadikan wasit untuk rekonsiliasi di TVRI Yogyakarta antara eks PKI dengan Banser NU. Saat itu tahun 1999. Masing-masing ngotot dan tidak terima. Apakah tentara mau rekonsiliasi, kan nggak.
Bagaimana kemungkinan ada pelurusan sejarah?
Saya setuju dan itu harus didorong. Tapi prosesnya akan lama, tidak mudah mengubah sejarah yang sudah dibuat berdasarkan doktrin.
Biografi singkat Hermawan Sulistyo
Prof Hermawan Sulistyo, MA, PhD, APU lahir di Ngawi 4 Juli 1957. Hermawan akrab disapa Kikiek. Kikiek merupakan Profesor Riset/Ahli Peneliti Utama Bidang Perkembangan Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dia lulus dari Fakultas Politik dan Pemerintahan Indonesia, Universitas Indonesia. Skripsinya saat itu berjudul ‘Kepemimpinan di Pesantren: Studi Kasus Tebuireng’. Gelar masternya didapat dari Southeast Asia Studies Program, Masters of Arts in International Affairs (MAIA), Ohio University, Athens-OH, AS. Sementara gelar doktor dia dapat dari Dept of History, Arizona State University. Untuk mendapatkan gelar doktor ini dia banyak menyeliti soal sejarah Gerakan 30 September atau G30S.