Suara.com - Babak baru cerita gerakan 30 September 1965 saat ini adalah tututan untuk pengungkapan kasus tersebut lewat rekonsiliasi. Bukan lagi fokus mengungkap pihak di belakang pembunuhan 6 jenderal.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Profesor Hermawan Sulistyo menjelaskan pengungkapan peristiwa itu hampir tidak ada yang baru. Sebab sudah banyak pihak yang mengungkap peristiwa itu lewat berbagaicara. Namun berbeda dengan cara yang dilakukan Kikiek, sapaan akrab Hermawan.
Penulis ‘Palu Arit di Ladang Tebu’ itu selama 20 tahun menelusuri cerita di balik gerakan yang menjadi masa kelam Indonesia itu. Dia menulis untuk studi doktor ilmu sejarah dengan mewawancara pelaku atau orang pertama dalam peristiwa itu.
Banyak hal yang diungkap Kikiek. Mulai dari alasan gerakan itu terjadi sampai menjawab berbagai analisa yang selama ini beredar soal gerakan itu.
Apakah pembunuhan 6 jenderal itu menjadi bagian dari kudeta Soeharto? Atau dalangnya memang PKI? Selain itu ada yang mengatakan di balik gerakan itu ada andil Soekarno, dan keterlibatan inteligen Asing. Mana yang benar?
Dalam wawancara dengan suara.com di kantornya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kikiek juga banyak bercerita soal asal usul jumlah korban pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan dan pengurus PKI.
Selama yang beredar jumlahnya sampai 3 juta, namun data resmi pemerintah hanya 78 ribu orang. Dia mengungkap asal usul jumlah itu.
Menurut Kikiek, G30S akan menjadi cerita yang tidak akan selesai. Sampai sekarang berbagai pihak saling menarik dan tidak ingin dikatakan sebagai kelompok yang salah. Bahkan rekonsiliasi lewat simposium bukan hal baru. Pascareformasi 1998, rekonsiliasi sudah digelar antara korban dan pelaku. Tapi gagal.
“Masing-masing ngotot dan tidak terima,” kata Kikiek.
Simak wawancara lengkap suara.com dengan Kikiek soal misteri di balik G30S berikut ini:
​Sampai saat ini, apa yang masih mengganjal dari peristiwa Gerakan 30 September 1965?
Selama 20 tahun saya meneliti tentang peristiwa itu. Saya menelusuri dokumen, koran-koran selama 10 tahun dari 1957 sampai 1971. Kalau buat saya, peristiwa itu sangat jelas, tapi kadang detil dan ‘printilan’ peristiwa itu ada yang baru. Tapi kalau kita bicara soal peta makro nasional, nggak ada yang baru sama sekali.
Saya orang orang ketiga yang mengungkap secara serius masalah itu bukan dari tangan kedua dan tangan ketiga. Sebelum saya ada Iwan Gardono Sujatmiko dari Harvard University dan Jeff Robinson dari Cornell University. Saat itu saya membuat disertasi di Arizona State University.
Jarak waktu kami hampir bersamaan. Sehingga kita bisa menemukan banyak hal yang dalam studi sebelumnya tidak ada. Sebab datanya sampai 4 koper yang berisi dokumen.
Apa yang sangat jelas?
Semua gamlang, semua dokumen peristiwa itu ada. Misalnya, dokumen pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) persidangan PKI. Jika merujuk pada Cornell Paper, analisa itu dibuat saat Mahmilub belum dilakukan. Di Mahmilub ada pengacara Yap Thiam Hien yang tidak bisa ‘dibeli’.
Sidang itu dilakukan secara terbuka, semua tungguin nonton. Bahkan risalahnya itu dimuat di Publikasi Angkatan Darat tanpa diedit sampai menjelang 1971. Di pengantarnya disebutkan, ini tidak diedit untuk menunjukan untuk generasi berikutnya. Bahkan sampai coretan-coretan dokumen itu masih ada.
Kemudian menjelang pemilu 1971 ketika Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan melalui kekuasaan dan orde baru mulai mapan, dokumen itu mulai disensor.
Jika melihat dokumen Mahmilub itu dan menelitinya selama 20 tahun, sampai pada kesimpulan Cornell Paper itu salah. Sebab Cornell Paper melihat peristiwa itu ‘hitam-putih’.
Kedua, Cornell Paper ditulis ketika proses kejadian 1965 masih terjadi, termasuk masih terjadi pembunuhan dan pergolakan politik. Ketiga, tidak ada akses ke sumber utama yang cukup konprehensif. Saat itu dokumen belum ada dan mengandalkan pernyataan “katanya… katanya”.
Temuan saya itu langsung didiskusikan langsung dengan penulis Cornell Paper, Benedict Anderson. Dia mengakui analisanya salah, lalu saya kutip di draf disertasi saya. Tapi oleh pembimbing saya disuruh tanya ke Ben, boleh nggak dikutip? Sebab di Amerika, untuk mengutip itu harus melalui izin tertulis.
Akhirnya saya minta izin tertulis, Ben Anderson menolaknya. Karena dia membangun reputasi saat itu dari Cornell Paper. Kalau dizinkan ditulis, akan menjatuhkan dia. Saya bisa bertanggungjawabkan hasil riset saya itu.
Hal lain menyangkut pembunuhan di daerah-daerah, selain Jakarta. Saya menulis, ini bukan hitam-putih PKI lawan tentara. Kenapa? Karena tentara banyak juga yang PKI.
Tentara juga banyak yang PKI, maksud Anda?
Pada Pemilu sela tahun 1957, tentara ikut memilih. Banyak temuan saya, di markas tentara yang menang adalah PKI. Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Catatan saya, Batalyon Rampal Jawa Timur dan Batalyon 501 Madiun, di sana yang menang PKI.
Saat itu PKI partai resmi dan partai besar. PKI menjadi nomor 4 terbesar di pemilu tahun 1955. Bahkan perkembangan PKI pasca 1955 sangat pesat. Perkiraan saya, jika 1965 diadakan pemilu, PKI akan menang menjadi partai nomor 1. Saat itu tentara boleh berpolitik, dan tentara boleh memilih.
Selain itu di Jakarta, sangat jelas tidak ada pelakunya hanya PKI. Yang menculik para jenderal, tentara semua, Cakrabirawa. Sehingga tidak bisa dibilang, “tentara tidak terlibat”. Faktanya banyak pelakunya adalah tentara. Tapi tidak juga bisa dibilang, “PKI tidak terlibat”. Sebab di Mahmilub, Sudisman dan Njoto menjelaskan PKI terlibat.
Dalam kesaksian mereka mengatakan, “kami terlibat, tapi jangan dihukum partainya. Hukum mati saja kami. Tapi partai jangan dimatikan.” Hal tersebut merujuk pada peristiwa Partai Sosialis Indonesia tahun 1963. Saat itu PSI boleh terus hidup, tapi Sutan Syahrir (pendiri PSI).
Sehingga peristiwa pemberontakan 30 September 1965, ini pertarungan politik biasa di tingkat pusat. Tapi yang menjadi persoalan, jargon-jargon kekerasan di tingkat pusat hanya menjadi retorika. Namun di tingkat daerah bukan retorika. Teriakan “ganyang PKI” berarti harus membunuh orang-orang PKI.
Dalam studi, saya tidak tertarik dengan operasi militer. Ngapain diteliti? Sudah jelas kok. Operasi militer itu dilakukan di Jawa Tengah untuk mencari PKI. Tapi di Jawa Timur, ada konflik sosial. Padahal jumlah korban terbesar ada di situ.
Tidak ada pola atau peta nasional tentang pemberontakan itu, pembantaian manusia di kala itu tidak sistematik. Sehingga istilah genosida, saya menyebut 1.000 persen itu salah.
Tapi para aktivis HAM mendesak negara minta maaf. Mereka juga menyebut tentara terlibat…
Saya mengikuti kemarin, ada tuntutan di pengadilan rakyat di Belanda. Salah satu rujukan utamanya dari film ‘Jagal’. Kenapa film itu diterima sebagai kebenaran, tanpa diterima secara kritis? Saya nggak percaya film itu, itu omong kosong semua dan fiktif.
Apa yang aneh dalam film tersebut?
Alasannya, Anwar Kongo itu siapa? Jarak waktu itu sampai saat ini sudah 50 tahun lebih. Kalau dia menjadi pembunuh, usianya saat itu siapa? Sebab usia para pelaku kini sudah di atas 75 tahun semua. Tampang Anwar Kongo, saya tidak yakin usianya 70 tahun. Mungkin hanya 50 atau 60. Kalau usianya 60 tahun, berti saat tahun 1965, usianya baru sekitar 10 tahun. Apa mungkin dia membantai?
Selain itu tidak ada laporan dan catatan ada pembunuhan masal di Sumatera Utara.
Ketiga, Anwar Kongo bilang, pembunuh itu sambil menari-nari saat membunuh. Membunuh pakai kawat dengan cara dijerat. Dalam penelitian saya, tidak ada teknik membunuh seperti itu saat itu. Semua dipotong pakai pedang cara membunuhnya.
Kenapa tidak ada teknik membunuh seperti itu?
Kawat dari mana? Cara itu tidak lazim.
Yang paling parah, Anwar Kongo mengaku mendapat inspirasi membantai dari Marlon Brando di film The Godfather. Film itu dibuat tahun 1972, bagaimana mungkin memberi inspirasi di tahun 1965.
Kemudian, dia juga bercerita mereka membunuh PKI sambil minum-minum whiskey Johnnie Walker. Tahun segitu, siapa yang bisa beli? Barangnya mahal dan sulit didapatkan. Hanya kelas elit di Jakarta yang dapat. Sementara para jagal ini di Medan, jadi nggak masuk akal. Kok film itu menjadi rujukan sidang IPT di Belanda dan para sejarahwan? Ini sangat blunder.