Mona Lohanda: Mengupas Kesalahan Indonesia di Masa Lalu dan Kini

Senin, 12 September 2016 | 07:00 WIB
Mona Lohanda: Mengupas Kesalahan Indonesia di Masa Lalu dan Kini
Sejarahwan VOC dan Tionghoa, Mona Lohanda. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Indonesia mempunyai banyak sejarah. Mulai dari masa penjajahan sampai peristiwa politik era orde lama dan orde baru, hingga kini. Bagian sejarah Indonesia mana yang paling penting dalam perjalanan bangsa?

Ada dua peristiwa yang krusial dan penting untuk negara. Pertama saat VOC datang. VOC membujuk kerajaan-kerajaan di Indonesia yang belum bersatu. Sebab dengan berhasilnya VOC membujuk para sultan dan raja, mereka bisa menancapkan kaki di Indonesia.

Sampai menjadikan Batavia menjadi ibukota tahun 1620. Kalau saja saat itu, para raja dan sultan tidak terbujuk, mungkin VOC bisa diusir dan Indonesia tidak dijajah.

Kelemahan Indonesia, saat  itu tidak mempunyai pola pikir modern. Kerajaan saat itu belum tahu Indonesia punya wilayah dari Sabang hingga Merauke. Bahkan yang mengenalkan perbatasan antar wilayah di Indonesia adalah kolonial.

Sebab VOC mempunyai berbagai perjanjian perbatasan dengan Inggris dan Portugis. Ada kekuasaan lain di kawasan Asia Tenggara, misal Spanyol di Filipina, Portugis di Timor Timur dan Inggris di Malaysia dan Brunai.

Saat kerusial kedua, saat Indonesia menyatakan merdeka tahun 1945, lalu sekutu datang dibonceng Belanda. Tapi Indonesia bisa mengatasi dan menang. Itu berkat bantuan diplomasi dari Belanda.

Di dunia modern, Anda tidak bisa bergerak jika tidak berdiplomasi dengan dunia luar. Begitu juga konflik di sebuah negara tidak akan selesai kalau tidak ada campur tangan dari dunia luar.

Ada propaganda Indonesia menang karena bambu runcing, itu tidak logis. Saya meragukan, karena pejuang juga memegang senjata rampasan dari Jepang. Namun ada kepercayaan saat tentara Indonesia gerilya, bambu runcing itu dijampi-jampi dan diberikan mantra.

Tapi tidak masalah jika percaya Indonesia menang dengan hanya bambu runcing, itu romantika.

Ada kata menarik yang pernah nyatakan, “Belajar arsip membuat saya bisa mengetahui apa sebab negeri sebesar Indonesia bisa dikuasai Belanda yang luasnya hanya sebesar Provinsi Jawa Barat”. Apa sebabnya? Bisa Anda jelaskan?

Saya pernah berbincang dengan seorang teman dari Inggris. Dia mengatakan, “Mon, Indonesia negara yang luas kok bisa dijajah Belanda yang hanya sebesar Jawa Barat?”.

Itu sebabnya saya mempelajari sejarah masuknya VOC ke Indonesia. Dari bacaan, saya baru mengetahui Belanda bisa menjajah Indonesia karena kerajaan saat itu belum tahu konsep kesatuan.

Sejak dulu lautan atau maritim ditelantarkan, lebih mementingkan pertanian.

Sampai sekarang kebanyakan bisnis dan sumber daya Indonesia dikuasai asing. Apakah hal ini berhubungan karakter orang Indonesia di masa lalu yang mudah ditaklukan?

Di satu pihak, kita memang belum punya karakter yang gigih dan tegak. Namun hubungan dengan asing tidak bisa dihindari. Pada zaman modern, kelemahan kita berawal dari tahun 1950 di zaman Bung Karno Indonesia mempunyai kesalahan.

Sebetulnya kelemhan Bung Karno adalah meniru warisan yang jelek dari Belanda. Sementara warisan bagus dari Belanda tidak ditiru.

Salah satunya konsentrasi pembangunan sepenuhnya di Jakarta. Itu kesalahan masa lalu terbesar Indonesia. Termasuk konsentrasi pembangunan di Jawa.

Indonesia pernah mempunyai proyek tol Anyer-Panarukan. Saya bilang itu proyek gila. Kenapa nggak bangun kereta api? Sementara Belanda di masa lalu banyak membangun jalur kereta api di jalur ekonomi.

Mengapa pembangunan kereta pertama dibuat dari Tuntang Semarang ke Kota Jakarta? Itu untuk mengangkut gula. Lalu kereta dari Sawah Lunto sampai Pelabuhan Padang? Itu untuk angkut batu bara.

Sementara Kalimantan dan Sulawesi belum dibuat karena keburu datang Jepang. Jadi Belanda membangun di semua tempat berdasarkan potensi ekonomi.

Banyak kesalahan, karena Indonesia tidak belajar dari masa lalu dan sejarah.

Sifat positif dari Belanda yang mana yang belum diserap Indonesia?

Dari sisi pemerintahan, Belanda sangat bagus. Indonesia malah membuat sistem otonomi daerah. Sebab Belanda membagi willayah berdasarkan kesatuan budaya dan bahasa.

Contohnya Tangerang masuk ke Batavia karena orang Tangerang berbahasa melayu dan suka nonton lenong. Belanda juga memisahkan Banten. Namun setelah mereka semua disatukan menjadi Jawa Barat. 

Di zaman Pak Harto sistem pemerintahan masih mengacu pada Belanda. Salah satunya menjadikan menteri sebagai anggota MPR. Bahkan Bupati, di zaman Belanda, ditempatkan di Batavia. Mereka melapor keadaan di daerah.

Pascareformasi, banyak sejarah kontroversi yang dipublikasikan. Misal peristiwa G-30S dan juga orang-orang di balik kemerdekaan Indonesia. Terakhir ada foto tokoh PKI di poster Bandara Soekarno-Hatta. Bagaimana pendapat Anda soal hal ini?

Sebetulnya tidak simpang siur, sebab penguasa menggunakan sejarah untuk kepentingan politik. Ini terjadi juga di Rusia dan Cina. Itu bahaya. Makanya sebagai sejarahwan juga harus memilih, mau ikut yang politik atau murni sejarah. Saya ikut yang murni sejarah, tak pernah ambil proyek buku sejarah negara.

Tapi tidak ada kebenaran yang mutlak dalam ilmu sejarah. Karena kebenaran dilihat dari siapa yang menelaah sejarah itu.

Biografi singkat Mona Lohanda

Mona adalah Seorang sejarawan dan arsiparis, pernah bekerja di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Bidang yang digelutinya sejarah Batavia atau Jakarta. Dedikasinya ke sejarah membuat Mona merima berbagai penghargaaan, antara lain Nabil Award (2010), cendekiawan berdedikasi dari Harian Kompas (2012) dan Bakrie Award (2016).

Mona Lohanda di Tangerang, Banten Tahun 1947. Dia bekerja di ANRI sejak 1972 dan pensiun pada 2012. Karena pengetahuan, pengabdian, dan ketekunannya, Mona banyak membantu para sarjana/peneliti Indonesia dan mancanegara dalam penelusuran arsip.

Mona menyelesaikan studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mona kemudian melanjutkan studi pascasarjana di Departement of History, School of Oriental and African Studies di University of London. Mona pun pernah menyenyam pendidikan S3 untuk gelar Ph.D di Universitas Katolik Nijmegen, Belanda.

Mona banyak menulis artikel dan buku, di antaranya The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942: A History of Chinese Establishment in Colonial Society (Djambatan, 1996) dan Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (Masup Jakarta, 2007). Mona juga sering terlibat sebagai penyunting buku sejarah dan narasumber di sejumlah instansi.

Sampai kini, Mona masih nyaman memperoleh informasi dengan membaca majalah dan koran. Dia berlangganan lebih dari 5 majalah dan koran tiap hari. Mona memutuskan tidak menonton televisi karena merasa hanya membuang waktu saja.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI