Suara.com - Rino Rakhmata Mukti adalah sosok luar biasa. Tak berlebihan anggapan itu, sebab di usianya yang masih muda, Rino sudah menamatkan gelar doktor.
Usia 29 tahun, Rino bergelar doktor dari Jerman dengan gelar “Dr. rer.nat”. Rino salah satu penemu di Indonesia. Pengagum BJ Habibie itu adalah ilmuan kimia yang menemukan katalis zeolit ZSM-5 .
Singkatnya, penemuannya itu berguna untuk proses penyulingan minyak bumi. Rino merekayasa Zeolit dari bahan alam yang terbarukan, yaitu sekam padi. Saat ini Indonesia belum memproduksi katalis zeolit. Sehingga dia berambisi untuk memproduksi katalis untuk penyulingan minyak bumi dengan metode energi terbarukan. Ilmuan seperti itu jarang di Indonesia.
Di balik penemuannya itu, Rino memang adalah sosok ambisiun. Dia ingin menjadi ilmuan yang menghasilkan penemuan. Makanya, dia mengejar pendidikan hingga gelar doktor dengan waktu yang singkat.
“Karena di usia itu mereka masih semangat, masih punya bahan besar yang banyak untuk mendapatkan penemuan besar,” kata Rino saat berbincang dengan suara.com di kawasan Bandung, Jawa Barat.
Di balik kesibukannya sebagai peneliti di Institus Teknologi Bandung, Rino juga mendampingi siswa-siswi yang mengikuti kompetisi teknologi. Dia ingin generasi muda Indonesia bisa menemukan penemuan baru yang berguna untuk dunia.
Dalam perbincangan santai, lelaki 39 tahun itu banyak cerita soal penemuannya. Dia juga memberi masukan untuk kualitas pendidikan di Indonesia.
Berikut wawancara lengkapnya:
Usia Anda baru 39 tahun, namun pendidikan Anda sudah mencapai Postdoctoral di Department of Chemical System Engineering, Universitas Tokyo. Bagaimana Anda bisa mencapai itu?
Sebenarnya itu perjalanan normal. Kenapa? Bahkan kalau ingin menemukan penemuan besar, ilmuan dunia seharusnya sudah bergelar doktor usia 25 tahun. Itu di mana-mana, termasuk BJ Habibie. Saya mencapat gelar doktor usia 29 tahun.
Tapi harus ada orang Indonesia yang mendapatkan gelar doktor usia 25 tahun. Karena di usia itu mereka masih semangat, masih punya bahan besar yang banyak untuk mendapatkan penemuan besar.
Saya saat ini tengah membimbing mahasiswa S3 di ITB. Usianya masih 22 tahun. Kalau tahun depan dia berhasil lulus, saya kira ini rekor di Indonesia. Nama mahasiswa itu Grand Prix, berasal dari Kupang. Dia jurusan kimia. Ini baru namanya pencapaian yang extraordinary. Kalau saya biasa saja.
Setelah Anda lulus S3, mendapatkan kesempatan postdoctoral. Bagaimana ceritanya?
Postdoctoral saya di Jepang termasuk prestisius. Karena di JSPS (The Japan Society for the Promotion of Science) Postdoctoral Fellowship dipilih dari ribuan orang dari seluruh dunia yang diterima hanya sekian persen. Saya salah satunya, bahagia juga. Saya 2 tahun postdoctoral.
Saat itu saya diminta Universitas Tokyo untuk menjadi dosen peneliti, dan mendapatkan kontrak tambahan 5 tahun. Bagi orang asing itu cukup jarang, apalagi di sana. Saya tandatangan, tapi baru jalan setahun ITB menghubungi dan meminta saya pulang. Saat itu tahun 2011 saya pulang. Saya pulang, dan mengabdi untuk tanah air.
Mengapa Anda pulang dan memilih mengajar di ITB?
Karena di sana hanya kontrak 5 tahun, kalau saya pulang ke ITB menjadi PNS dan sifatnya permanen. Saya pun mendapat pensiun. Tapi saya tidak melihat uangnya, karena ini lebih jangka panjang. Saya bisa membangun sesuatu di Indonesia.
Sementara kalau saya teruskan kontrak 5 tahun, dan negara itu bermasalah ekonomi, maka yang akan dipangkas duluan adalah orang asing. Terbukti, sekarang ekonomi lagi terguncang. Makanya saya lebih memilih di tanah air.
Bagaimana awalnya Anda bisa menekuni dunia ilmuan kimia?
Saya tertarik bagaimana penelitian itu bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Saat itu saya membuat tugas akhir penelitian mahasiswa S1. Di sana kita dimunculkan dari problem yang ada dari latar belakang daerah dan suatu negara. Lebih spesifik ke masalah scientific. Untuk menjawab semua itu perlu pendidikan lebih lanjut.
Misalnya problem energi. Lama-lama kita akan kehilangan sumber daya energi dan bergantungan pada minyak bumi yang tidak terbarukan. Produksi minyak bumi bergantung pada penemuan sumur baru.
Selama ini penemuan sumur besar hanya terjadi di tahun 1970, sekarang tidak terjadi lagi. Sehingga makin lama konsumsi meningkat, namun supply menurun. Maka kita harus mencari tahu bagaimana cara menyelesaikannya.
Makanya saat ini muncul ide bahan bakar kendaraan berbasis hydrogen dan energi alternatif.
Inovasi Anda adalah pengembangan Katalis Zeolit Baru untuk Produksi Bio-ETBE sebagai bahan aditif bensin yang aman, Terjangkau dan Berkelanjutan. Bisa Anda jelaskan soal itu?
Katalis Zeolit adalah katalis yang berguna bagi penyulingan minyak bumi atau refinery. Dia bisa mengubah suatu reaktan atau bahan dasar yang selektif dan kita perlukan. Itu terjadi heterogen, di mana katalis tidak bercampur dengan cairan dan gas.
Dia masih dalam padat. Sehingga ketika ingin dipisahkan dengan produk, katalis bisa dipisahkan dengan mudah. Kita tidak perlu pabrik untuk memisahkan katalis tersebut.
Kita punya zeolit di alam, tapi performa katalis masih jelek dibandingkan dengan zeolit yang dibuat di laboratorium. Zeolit alam belum bisa diambil dengan bersih dan strukturnya tidak sama untuk yang kita perlukan dalam penyulingan minyak bumi.
Inovasi kami, membuat di laboratorium tapi dengan bahan alam. Jadi materialnya akan terus terbarukan. Kalau tidak berasal dari bahan yang tak terbarukan, maka kemungkinan akan mengganggu supply.
Makanya kita berpikir menggunakan bahan alam dari sekam padi yang merupakan limbah dari produksi padi. Selama kita makan nasi, maka ada limbah itu. Bahkan bukan orang Indonesia saja yang makan nasi, orang Asia, bahkan di Eropa juga sudah makan nasi. Jadi pasokan sekam padi ada terus.
Sekam padi itu mengandung silica, silica itu lah yang kami ubah ke zeolit. Jadi nilai tambahnya sangat tinggi. Zeolit yang diperlukan untuk penyulingan minyak bumi harga bisa mencapai 100 dolar Amerika Serikat perkilogram. Bahkan ada yang 200 dolar AS.
Saat ini Pertamina memakan zeolit untuk proses penyulingan. Namun bahannya didapat dari negara lain. Selama ini Indonesia bergantungan dengan zeolit dari luar, dan tidak ada yang tahu. Produsen zeolit dari Amerika Serikat. Jepang juga memproduksi. Namun di Indonesia belum ada produsen zeolit.
Apakah penemuan Anda sudah mengarah ke skala industri?
Saat ini saya bersama tim kecil sedang mengembangkan produksi zeolit ini ke tahap industri. Salah satu ketua tim kami punya hubungan dengan Pertamina, dan saya dilibatkan. Tim ini masih mengembangkan zeolit dalam skala laboratorium. Tapi tahun depan akan meningkat lagi skalanya. Targetnya dalam waktu 5 tahun produksi zeolit alam ini sudah akan komersil.
Kita sudah punya dasar penelitian yang kuat, bukan dari nol. Tinggal bagaimana meyakinkan produksi ini akan berkelanjutan. Karena nggak sembarangan kalau meningkatkan ke tariff yang lebih besar. Kalau gagal akan rugi besar. Terutama soal penyediaan bahan baku. Kalau sudah loading ke kilang minyak dan gagal, ruginya sampai Rp4 miliar.
Apa yang sulit mengembangkan zeolit itu?
Mungkin kesulitannya nanti di tahap engineering. Untuk meningkatkan ke volume lebih tinggi, itu tantangannya. Tapi kalau di tingkat laboratorium nggak ada masalah. Karena kita sudah tahu resepnya. Kita sudah cukup pengalamanan. Saya menggeluti ini sejak tahun 2003, tapi sebenarnya sejak saya S1. Tapi saat itu saya meneliti zeolit alam yang ditambang oleh pengusaha di Indonesia.
Jadi saya menggeluti ilmu itu sejak tahun 1999, bukan instan.
Teknologi yang Anda temukan sudah 100 persen bisa dijalankan?
Iya, karena teknologi zeolit ini sudah terkenal di seluruh dunia. Ada komunitasnya juga, International Zeolite Association. Saya mengenal orang-orang zeolit di dunia. Bahkan saya mengenal presiden organisasi zeolit ini, dia salah satu bos di pertaminaya Italia. Jadi komunitas ini melibatkan ilmuan dan para pelaku industri.
Tahun 2013, kami menyelenggarakan seminal nasional zeolit di Indonesia yang ke-8. Jadi di Indonesia, komunitas zeolit itu ada. Saat itu ilmuan dunia zeolit datang. Saat itu saya juga meluncurkan batik zeolit yang bergambar struktur zeolit.
Saya juga pakai batik itu ke Pak Habibie. Ternyata Pak Habibie sudah tahu sejak lama zeolit, tapi belum sempat untuk mengembangkannya. Dia bilang, sejak dulu dia tahu kalau zeolit akan mengubah dunia.
Berarti di Indonesia baru Anda ilmuan yang mengembangkan zeolit ini?
Sebenarnya ada beberapa, tapi yang muncul ke komunitas dunia saya. Karena tetap berkomunikasi dengan mereka. Saya menulis paper di jurnal internasional. Jadi mereka tahu kalau Indonesia mampu.
Nanti 20 Januari 2017, saya dipercaya untuk menjadi host seminar euro-asia zeolite conference ke-3 di The Westin, Nusa Dua Bali. Saya mengajak ke ilmuan Indonesia yang bercimpung di bidang ini untuk mengembangkan zeolit di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak bisa bergantung ke luar. Karena zeolit ini multifungsi.
Teknologi yang mirip bisa mengkonversi sesuatu di bidang bio masa. Bukan hanya untuk perminyakan dan menghasilkan energi. Termasuk untuk bahan kimia yang dihasilkan dari minyak tumbuhan. Makanya komunitas zeolit di dunia sangat besar karena zeolit ini bisa dipakai di macam-macam.
Berapa jumlah modal yang diperlukan untuk memproduksi katatalis sampai ke level industri?
Saya kita tidak besar. Saya nggak tahu jumlahnya. Tapi bukan masalah starup money, tapi bagaimana keberlanjutan produksinya. Maka diperlukan doktor-doktor zeolit yang tangguh.
Sejauhmana pengembangan teknologi terkait sumber daya alam di Indonesia? Apakah sudah maksimal dalam mengelola SDA, terutama minyak dan gas?
Tentunya belum sampai ke yang hilir sekali hingga ke sektor real. Sebagai contoh gas alam Indonesia belum diproses seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan akan olefin yang seharusnya bisa ditempuh melalui konversi menjadi methanol. Dan metanol menjadi olefin dan turunan hidrokarbon lainnya.
Olefin berguna untuk menjadikan produk polimer. Sekarang ini Indonesia kekurangan bahan baku etilen untuk dijadikan polietline (salah satu polimer). Bahan baku etilen yang ada sekarang adalah hasil pengolahan dari impor minyak bumi.
Perusahaan Indonesia, contohnya PT Chandra Asri Tbk menjadi satu-satunya penghasil etilen. Salah satu konglomerat Korea LOTTE, melihat peluang ini dan ingin investasi di Indonesia membuat polimer. Namun tetap kita hanya dipakai sebagai pekerja dan bahan baku tidak diproduksi di Indonesia melainkan harus impor.
Gas alam kita sementara ini diproses menjadi LNG sehingga bisa diekspor dan mendapat devisa negara. Kita perlu sekali menciptakan teknologi hilir yang dapat menunjang semua sektor real dan itu dapat dilakukan dengan mengetahui ilmu katalis dan katalisis (ilmu teknik reaksinya).
Zeolit adalah salah satu katalis global yang digunakan hampir di semua proses petrokimia. Harapannya Indonesia dapat ekspor produk chemical intermediate, bukan produk yang masih hulu. Harga tentu produk hilir lebih tinggi dibanding hulu (raw).
Mei lalu, Anda menjadi pendamping 15 pelajar Indonesia di ajang The Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF) 2016. Bisa ceritakan keterlibatan Anda?
Saya menjadi saintifik mentor terhadap siswa SMA juara nasional Olimpiade Penelitian dari lomba yang diselenggarakan Kemdikbud (OPSI). Namun, kami tidak mendapatkan medali pada acara Intel ISEF.
Terdapat 3 topik penelitian yang dipresentasikan masing-masing oleh 2 siswa, Sepvina Mutikasari and Quinita Noronha. Siswa yang terlibat berasal dari dua SMA di Yogyakarta dan satu SMA di Lamongan. Hasil penelitian yang mereka ciptakan adalah perangkat sensor untuk mengidentifikasi nilai nominal uang untuk tunanetra.
Perangkat ini tertanam pada kacamata. Dengan memakai kacamata ini mereka dapat berbelanja dan melakukan pembayaran sendiri.
Dunia pendidikan Indonesia dikritik kurang melakukan riset. Bagaimana analisa Anda?
Menurut saya kurang mempublikasikan hasil riset di wadah internasional, seperti jurnal terkenal, sebagai keynote speaker di ajang seminar bergengsi dan sebagainya. Semua topik riset sebenarnya bermanfaat dari terapan hingga dasar.
Peneliti Indonesia harus membiasakan diri dengan publikasi internasional. Sehingga harapannya mendapatkan rujukan dari peneliti dunia lainnya. Pemenang Nobel adalah seseorang saintis yang menjadi pionir akan penemuannya.
Hal ini berarti seseorang yang memiliki citation yang tinggi terhadap setiap karyanya. Seorang saintis dapat diukur seberapa banyak mereka mendapat citation adalah dari besaran h-index. Besaran ini dikeluarkan oleh Scopus, sebuah lembaga yang mempunyai database saintifik. Namun, Scopus berbayar sehingga tidak bisa diakses di mana saja.
Biografi singkat Rino R Mukti
Dr. rer.nat. Rino R. Mukti merupakan peneliti dari Nanosciences and Nanotechnology And Division of Inorganic and Physical Chemistry, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Lelaki 39 tahun itu menyelesaikan sarjana di Jurusan Kimia ITB tahun 2000. Lalu gelar master di bidang yang sama didapat dari Universiti Teknologi Malaysia 3 tahun kemudian. Tahun 2007, Rino mendapatkan gelar “Dr. rer.nat” dari Technische Universität München, Germany. Tahun 2011 dia menyelesaikan Postdoctoral dii Department of Chemical System Engineering, The University of Tokyo, Japan.
Rino banyak mendapatkan penghargaan sebagai peneliti. Di antaranya Asian Rising Stars Award at 15th Asian Chemical Congress tahun 2013. Lalu Indonesian Young Material Scientist Award tahun 2014, DAAD-Fraunhofer Technopreneur Award tahun 2016. Terakhir mendapatkan penghargaan Achmad Bakrie Award for Young Innovator di tahun yang sama 2016.