Rino Mukti: Zeolit dari Sekam Padi untuk Penyulingan Minyak Bumi

Senin, 29 Agustus 2016 | 07:00 WIB
Rino Mukti: Zeolit dari Sekam Padi untuk Penyulingan Minyak Bumi
Ilmuan rekayasa zeolit dari sekam padi, Rino Rakhmata Mukti. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apa yang sulit mengembangkan zeolit itu?

Mungkin kesulitannya nanti di tahap engineering. Untuk meningkatkan ke volume lebih tinggi, itu tantangannya. Tapi kalau di tingkat laboratorium nggak ada masalah. Karena kita sudah tahu resepnya. Kita sudah cukup pengalamanan. Saya menggeluti ini sejak tahun 2003, tapi sebenarnya sejak saya S1. Tapi saat itu saya meneliti zeolit alam yang ditambang oleh pengusaha di Indonesia.

Jadi saya menggeluti ilmu itu sejak tahun 1999, bukan instan.

Teknologi yang Anda temukan sudah 100 persen bisa dijalankan?

Iya, karena teknologi zeolit ini sudah terkenal di seluruh dunia. Ada komunitasnya juga, International Zeolite Association. Saya mengenal orang-orang zeolit di dunia. Bahkan saya mengenal presiden organisasi zeolit ini, dia salah satu bos di pertaminaya Italia. Jadi komunitas ini melibatkan ilmuan dan para pelaku industri.

Tahun 2013, kami menyelenggarakan seminal nasional zeolit di Indonesia yang ke-8. Jadi di Indonesia, komunitas zeolit itu ada. Saat itu ilmuan dunia zeolit datang. Saat itu saya juga meluncurkan batik zeolit yang bergambar struktur zeolit.

Saya juga pakai batik itu ke Pak Habibie. Ternyata Pak Habibie sudah tahu sejak lama zeolit, tapi belum sempat untuk mengembangkannya. Dia bilang, sejak dulu dia tahu kalau zeolit akan mengubah dunia.

Berarti di Indonesia baru Anda ilmuan yang mengembangkan zeolit ini?

Sebenarnya ada beberapa, tapi yang muncul ke komunitas dunia saya. Karena tetap berkomunikasi dengan mereka. Saya menulis paper di jurnal internasional. Jadi mereka tahu kalau Indonesia mampu.

Nanti 20 Januari 2017, saya dipercaya untuk menjadi host seminar euro-asia zeolite conference ke-3 di The Westin, Nusa Dua Bali. Saya mengajak ke ilmuan Indonesia yang bercimpung di bidang ini untuk mengembangkan zeolit di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak bisa bergantung ke luar. Karena zeolit ini multifungsi.

Teknologi yang mirip bisa mengkonversi sesuatu di bidang bio masa. Bukan hanya untuk perminyakan dan menghasilkan energi. Termasuk untuk bahan kimia yang dihasilkan dari minyak tumbuhan. Makanya komunitas zeolit di dunia sangat besar karena zeolit ini bisa dipakai di macam-macam. 

Berapa jumlah modal yang diperlukan untuk memproduksi katatalis sampai ke level industri?

Saya kita tidak besar. Saya nggak tahu jumlahnya. Tapi bukan masalah starup money, tapi bagaimana keberlanjutan produksinya. Maka diperlukan doktor-doktor zeolit yang tangguh.

Sejauhmana pengembangan teknologi terkait sumber daya alam di Indonesia? Apakah sudah maksimal dalam mengelola SDA, terutama minyak dan gas?

Tentunya belum sampai ke yang hilir sekali hingga ke sektor real. Sebagai contoh gas alam Indonesia belum diproses seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan akan olefin yang seharusnya bisa ditempuh melalui konversi menjadi methanol. Dan metanol menjadi olefin dan turunan hidrokarbon lainnya.

Olefin berguna untuk menjadikan produk polimer. Sekarang ini Indonesia kekurangan bahan baku etilen untuk dijadikan polietline (salah satu polimer). Bahan baku etilen yang ada sekarang adalah hasil pengolahan dari impor minyak bumi.

Perusahaan Indonesia, contohnya PT Chandra Asri Tbk menjadi satu-satunya penghasil etilen. Salah satu konglomerat Korea LOTTE, melihat peluang ini dan ingin investasi di Indonesia membuat polimer. Namun tetap kita hanya dipakai sebagai pekerja dan bahan baku tidak diproduksi di Indonesia melainkan harus impor.

Gas alam kita sementara ini diproses menjadi LNG sehingga bisa diekspor dan mendapat devisa negara. Kita perlu sekali menciptakan teknologi hilir yang dapat menunjang semua sektor real dan itu dapat dilakukan dengan mengetahui ilmu katalis dan katalisis (ilmu teknik reaksinya).

Zeolit adalah salah satu katalis global yang digunakan hampir di semua proses petrokimia. Harapannya Indonesia dapat ekspor produk chemical intermediate, bukan produk yang masih hulu. Harga tentu produk hilir lebih tinggi dibanding hulu (raw).

Mei lalu, Anda menjadi pendamping 15 pelajar Indonesia di ajang The Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF) 2016. Bisa ceritakan keterlibatan Anda?

Saya menjadi saintifik mentor terhadap siswa SMA juara nasional Olimpiade Penelitian dari lomba yang diselenggarakan Kemdikbud (OPSI). Namun, kami tidak mendapatkan medali pada acara Intel ISEF.

Terdapat 3 topik penelitian yang dipresentasikan masing-masing oleh 2 siswa, Sepvina Mutikasari and Quinita Noronha. Siswa yang terlibat berasal dari dua SMA di Yogyakarta dan satu SMA di Lamongan. Hasil penelitian yang mereka ciptakan adalah perangkat sensor untuk  mengidentifikasi nilai nominal uang untuk tunanetra.

Perangkat ini tertanam pada kacamata. Dengan memakai kacamata ini mereka dapat berbelanja dan melakukan pembayaran sendiri.

Dunia pendidikan Indonesia dikritik kurang melakukan riset. Bagaimana analisa Anda?

Menurut saya kurang mempublikasikan hasil riset di wadah internasional, seperti jurnal terkenal, sebagai keynote speaker di ajang seminar bergengsi dan sebagainya. Semua topik riset sebenarnya bermanfaat dari terapan hingga dasar.

Peneliti Indonesia harus membiasakan diri dengan publikasi internasional. Sehingga harapannya mendapatkan rujukan dari peneliti dunia lainnya. Pemenang Nobel adalah seseorang saintis yang menjadi pionir akan penemuannya.

Hal ini berarti seseorang yang memiliki citation yang tinggi terhadap setiap karyanya. Seorang saintis dapat diukur seberapa banyak mereka mendapat citation adalah dari besaran h-index. Besaran ini dikeluarkan oleh Scopus, sebuah lembaga yang mempunyai database saintifik. Namun, Scopus berbayar sehingga tidak bisa diakses di mana saja.

Biografi singkat Rino R Mukti

Dr. rer.nat. Rino R. Mukti merupakan peneliti dari Nanosciences and Nanotechnology And Division of Inorganic and Physical Chemistry, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.

Lelaki 39 tahun itu menyelesaikan sarjana di Jurusan Kimia ITB tahun 2000. Lalu gelar master di bidang yang sama didapat dari Universiti Teknologi Malaysia 3 tahun kemudian. Tahun 2007, Rino mendapatkan gelar “Dr. rer.nat” dari Technische Universität München, Germany. Tahun 2011 dia menyelesaikan Postdoctoral dii Department of Chemical System Engineering, The University of Tokyo, Japan.

Rino banyak mendapatkan penghargaan sebagai peneliti. Di antaranya Asian Rising Stars Award at 15th Asian Chemical Congress tahun 2013. Lalu Indonesian Young Material Scientist Award tahun 2014, DAAD-Fraunhofer Technopreneur Award tahun 2016. Terakhir mendapatkan penghargaan Achmad Bakrie Award for Young Innovator di tahun yang sama 2016.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI