Rino Mukti: Zeolit dari Sekam Padi untuk Penyulingan Minyak Bumi

Senin, 29 Agustus 2016 | 07:00 WIB
Rino Mukti: Zeolit dari Sekam Padi untuk Penyulingan Minyak Bumi
Ilmuan rekayasa zeolit dari sekam padi, Rino Rakhmata Mukti. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rino Rakhmata Mukti adalah sosok luar biasa. Tak berlebihan anggapan itu, sebab di usianya yang masih muda, Rino sudah menamatkan gelar doktor.

Usia 29 tahun, Rino bergelar doktor dari Jerman dengan gelar “Dr. rer.nat”. Rino salah satu penemu di Indonesia. Pengagum BJ Habibie itu adalah ilmuan kimia yang menemukan katalis zeolit ZSM-5 .

Singkatnya, penemuannya itu berguna untuk proses penyulingan minyak bumi. Rino merekayasa Zeolit dari bahan alam yang terbarukan, yaitu sekam padi. Saat ini Indonesia belum memproduksi katalis zeolit. Sehingga dia berambisi untuk memproduksi katalis untuk penyulingan minyak bumi dengan metode energi terbarukan. Ilmuan seperti itu jarang di Indonesia.

Di balik penemuannya itu, Rino memang adalah sosok ambisiun. Dia ingin menjadi ilmuan yang menghasilkan penemuan. Makanya, dia mengejar pendidikan hingga gelar doktor dengan waktu yang singkat.

“Karena di usia itu mereka masih semangat, masih punya bahan besar yang banyak untuk mendapatkan penemuan besar,” kata Rino saat  berbincang dengan suara.com di kawasan Bandung, Jawa Barat.

Di balik kesibukannya sebagai peneliti di Institus Teknologi Bandung, Rino juga mendampingi siswa-siswi yang mengikuti kompetisi teknologi. Dia ingin generasi muda Indonesia bisa menemukan penemuan baru yang berguna untuk dunia.

Dalam perbincangan santai, lelaki 39 tahun itu banyak cerita soal penemuannya. Dia juga memberi masukan untuk kualitas pendidikan di Indonesia.

Berikut wawancara lengkapnya:

Usia Anda baru 39 tahun, namun pendidikan Anda sudah mencapai Postdoctoral di Department of Chemical System Engineering, Universitas Tokyo. Bagaimana Anda bisa mencapai itu?

Sebenarnya itu perjalanan normal. Kenapa? Bahkan kalau ingin menemukan penemuan besar, ilmuan dunia seharusnya sudah bergelar doktor usia 25 tahun. Itu di mana-mana, termasuk BJ Habibie. Saya mencapat gelar doktor usia 29 tahun.

Tapi harus ada orang Indonesia yang mendapatkan gelar doktor usia 25 tahun. Karena di usia itu mereka masih semangat, masih punya bahan besar yang banyak untuk mendapatkan penemuan besar.

Saya saat ini tengah membimbing mahasiswa S3 di ITB. Usianya masih 22 tahun. Kalau tahun depan dia berhasil lulus, saya kira ini rekor di Indonesia. Nama mahasiswa itu Grand Prix, berasal dari Kupang. Dia jurusan kimia. Ini baru namanya pencapaian yang extraordinary. Kalau saya biasa saja.

Setelah Anda lulus S3, mendapatkan kesempatan postdoctoral. Bagaimana ceritanya?

Postdoctoral saya di Jepang termasuk prestisius. Karena di JSPS (The Japan Society for the Promotion of Science) Postdoctoral Fellowship dipilih dari ribuan orang dari seluruh dunia yang diterima hanya sekian persen. Saya salah satunya, bahagia juga. Saya 2 tahun postdoctoral.

Saat itu saya diminta Universitas Tokyo untuk menjadi dosen peneliti, dan mendapatkan kontrak tambahan 5 tahun. Bagi orang asing itu cukup jarang, apalagi di sana. Saya tandatangan, tapi baru jalan setahun ITB menghubungi dan meminta saya pulang. Saat itu tahun 2011 saya pulang. Saya pulang, dan mengabdi untuk tanah air.

Mengapa Anda pulang dan memilih mengajar di ITB?

Karena di sana hanya kontrak 5 tahun, kalau saya pulang ke ITB menjadi PNS dan sifatnya permanen. Saya pun mendapat pensiun. Tapi saya tidak melihat uangnya, karena ini lebih jangka panjang. Saya bisa membangun sesuatu di Indonesia.

Sementara kalau saya teruskan kontrak 5 tahun, dan negara itu bermasalah ekonomi, maka yang akan dipangkas duluan adalah orang asing. Terbukti, sekarang ekonomi lagi terguncang. Makanya saya lebih memilih di tanah air.

Bagaimana awalnya Anda bisa menekuni dunia ilmuan kimia?

Saya tertarik bagaimana penelitian itu bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Saat itu saya membuat tugas akhir penelitian mahasiswa S1. Di sana kita dimunculkan dari problem yang ada dari latar  belakang daerah dan suatu negara. Lebih spesifik ke masalah scientific. Untuk menjawab semua itu perlu pendidikan lebih lanjut.

Misalnya problem energi. Lama-lama kita akan kehilangan sumber daya energi dan bergantungan pada minyak bumi yang tidak terbarukan. Produksi minyak bumi bergantung pada penemuan sumur baru.

Selama ini penemuan sumur besar hanya terjadi di tahun 1970, sekarang tidak terjadi lagi. Sehingga makin lama konsumsi meningkat, namun supply menurun. Maka kita harus mencari tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

Makanya saat ini muncul ide bahan bakar kendaraan berbasis hydrogen dan energi alternatif.

Inovasi Anda adalah pengembangan Katalis Zeolit Baru untuk Produksi Bio-ETBE sebagai bahan aditif bensin yang aman, Terjangkau dan Berkelanjutan. Bisa Anda jelaskan soal itu?

Katalis Zeolit adalah katalis yang berguna bagi penyulingan minyak bumi atau refinery. Dia bisa mengubah suatu reaktan atau bahan dasar yang selektif dan kita perlukan. Itu terjadi heterogen, di mana katalis tidak bercampur dengan cairan dan gas.

Dia masih dalam padat. Sehingga ketika ingin dipisahkan dengan produk, katalis bisa dipisahkan dengan mudah. Kita tidak perlu pabrik untuk memisahkan katalis tersebut.

Kita punya zeolit di alam, tapi performa katalis masih jelek dibandingkan dengan zeolit yang dibuat di laboratorium. Zeolit alam belum bisa diambil dengan bersih dan strukturnya tidak sama untuk yang kita perlukan dalam penyulingan minyak bumi.

Inovasi kami, membuat di laboratorium tapi dengan bahan alam. Jadi materialnya akan terus terbarukan. Kalau tidak berasal dari bahan yang tak terbarukan, maka kemungkinan akan mengganggu supply.

Makanya kita berpikir menggunakan bahan alam dari sekam padi yang merupakan limbah dari produksi padi. Selama kita makan nasi, maka ada limbah itu. Bahkan bukan orang Indonesia saja yang makan nasi, orang Asia, bahkan di Eropa juga sudah makan nasi. Jadi pasokan sekam padi ada terus.

Sekam padi itu mengandung silica, silica itu lah yang kami ubah ke zeolit. Jadi nilai tambahnya sangat tinggi. Zeolit yang diperlukan untuk penyulingan minyak bumi harga bisa mencapai 100 dolar Amerika Serikat perkilogram. Bahkan ada yang 200 dolar AS.

Saat ini Pertamina memakan zeolit untuk proses penyulingan. Namun bahannya didapat dari negara lain. Selama ini Indonesia bergantungan dengan zeolit dari luar, dan tidak ada yang tahu. Produsen zeolit dari Amerika Serikat. Jepang juga memproduksi. Namun di Indonesia belum ada produsen zeolit.

Apakah penemuan Anda sudah mengarah ke skala industri?

Saat ini saya bersama tim kecil sedang mengembangkan produksi zeolit ini ke tahap industri. Salah satu ketua tim kami punya hubungan dengan Pertamina, dan saya dilibatkan. Tim ini masih mengembangkan zeolit dalam skala laboratorium. Tapi tahun depan akan meningkat lagi skalanya. Targetnya dalam waktu 5 tahun produksi zeolit alam ini sudah akan komersil.

Kita sudah punya dasar penelitian yang kuat, bukan dari nol. Tinggal bagaimana meyakinkan produksi ini akan berkelanjutan. Karena nggak sembarangan kalau meningkatkan ke tariff yang lebih besar. Kalau gagal akan rugi besar. Terutama soal penyediaan bahan baku. Kalau sudah loading ke kilang minyak dan gagal, ruginya sampai Rp4 miliar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI