Noor Huda Ismail: Bahaya Jihad Selfie Menjadi Gaya Hidup

Senin, 01 Agustus 2016 | 07:00 WIB
Noor Huda Ismail: Bahaya Jihad Selfie Menjadi Gaya Hidup
Analis Terorisme sekaligus sutradara 'Jihad Selfie', Noor Huda Ismail. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagaimana pergerakan ISIS saat ini?

ISIS dibagi dua, yang di Timur Tengah dan di Indonesia. Di Indonesia, simpatisan ISIS hanya sebagai supporter saja. Imajinasi mereka soal ISIS sama, tapi nggak ada keterkaitan langsung dengan ISIS yang di Timur Tengah. ISISI di Suriah berjuang untuk menghadapi berbagai serangan.

Mereka pun mempunyai cabang-cabang. Namun belum tentu cabang-cabang yang muncul di berbagai negara diakui oleh ISIS pusat di Suriah.

ISIS itu potret kecil dari fenomena bagaimana kita melihat negara Arab. Seperti yang kita lihat di Indonesia, orang melihat Arab dianggap sebagai khilafah, dan mengatakan “wow”. Indonesia menjadi daerah bahan pertempuran untuk mengatakan seseorang tidak cukup Islami.

Karena Arab masuk ke sini, banyak sekolah Arab di sini. Di sisi lain Amerika melihat Indonesia sebagai negara demokrasi tapi kok begitu, kental Arabnya. Jadi Indonesia menjadi tempat pertempuran du aide besar Islam dan sekuler barat.

Potensi bahaya ISIS di Indonesia?

Dampak terdekatnya, kelompok ini akan melakukan refleksi. Contohnya banyak yang melakukan serangan tapi gagal total, seperti di Thamrin dan Solo. Semangat jihatnya banyak. Bisa jadi ISIS di Suriah akan mengirimkan orang yang sudah terlatih. Bisa dari orang sana atau orang Indonesia yang kita tidak tahu itu siapa. Gelora melakukan jihad saat ini sangat besar, tidak pernah masyarakat menganggap mereka sebagai teroris.

Orang yang melakukan bom bunuh diri di Solo, Nurohman bisa hidup dan menghilang selama setahun tanpa diketahui keberadaannya. Itu artinya ada dukungan, logistik, dan jaringan dari kelompok itu. Begitu juga dengan Santoso yang bisa bergrilya sangat lama. Artinya ada struktur masyarakat dan sosial yang memungkinkan mereka hidup.

Di negara yang masyoritas Islam seperti Indonesia dan Arab Saudi, jika ada serangan bom yang mengatasnamakan Islam, pasti ada satu sikap yang dinamakan “denial” atau menolak.

Ada sebagian masyarakat yang menolak itu dilakukan oleh orang Islam. Ini terjadi di Saudi, ada kelompok yang menolak. Bahkan sampai saat ini banyak yang tidak percaya kalau yang melakukan pengeboman itu adalah Amrozi. Mereka percaya itu dilakukan CIA. Karena itu terjadi di negara besar muslim yang transisi. Selalu menyalahkan orang lain, terutama yang disalahkan Israel.

Makan saya ingin memberitahu, untuk tahu masalahnya apa maka kita harus bicara. Maka itu saya menggunakan film dan dokumenter.

Apakah ini pertama kali Anda membuat film?

Iya, tapi 2010 pernah membantu Daniel Rudi Haryanto menggarap film ‘Prison and Paradise’. Ini film dokumenter paska tragedi Bom Bali 2002, dengan mengambil sudut pandang para pengembom dan keluarga korban. Termasuk anak-anak mereka yang sama-sama muslim.

Saya memang sejak dulu senang membuat film dokumenter. Tapi menurut saya harus ada alasan kuat untuk membuat film independen. Ini adalah project mandiri dan nggak jelas sebenarnya. Siapa yang akan membeli film ini, saya pun belum mengerti. Saya juga nggak menyangka sampai menjadi viral.

Respon seperti apa yang Anda harapkan dari penonton?

Saya bukan orang film, saya hanya ingin mendapat kritikan. Karena film-film saat ini adalah film tentang hijaber, cinta-cinta dan menye-menye. Tapi itu bagus, karena kehidupan sudah rumit ngapain datang ke film yang serius.

Cuma masalahnya, mungkin nggak kita mendidik masyarakat dengan lebih cerdas. Saya inginnya seperti itu. Di film ini saya tidak menggurui.

Bagaimana cara menonton film ini?

Film ini bisa ditonton oleh siapapun dan dari komunitas mana pun. Tinggal kontak ke email saya, dan atur waktu. Saya tidak minta film saya ditonton, tapi para komunitas yang meminta. Dengan jaringan seperti ini saya melihat ternyata masyarakat Indonesia capek dengan perspektif tunggal negara melihat isu terorisme. Mereka perlu wacana lain untuk menjelaskan fenomena terorisme.

Obrolan saya dengan Akbar, saya mendapati ternyata diskusi agama menjadi nomor sekian alasan jihad. Tapi ternyata lebih ke pencarian jati diri. Faktor seperti itu yang dilupakan orang. Orang selalu melihat Islam adalah radikal.

Berapa dana yang Anda keluarkan untuk membuat film ini?

Ini dana dari pribadi, soal nilainya relatif. Saya pun tidak menghitung. Saya juga mengambil gambar menggunakan ponsel. Semua terkumpul 3 terabite gambar, durasi yang terkumpul 180 jam. Saya dibantu sekitar 7 kameramen. Kalau saya ke Turki, Malang, Solo dan di mana pun dibantuin.

Melalui media sosial, terorisme dan anak muda sepertinya bisa jadi semakin dekat. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?

Betul, itu berpotensi menjadi gaya hidup.

Bagaimana untuk mengantisipastinya?

Penyelesaian terorisme bisa digambarkan dalam bentuk piramida. Dari paling atas bisa diselesaikan dengan penjara, bawahnya lagi melalui kajian informal, lalu pendidikan dan terakhir adalah keluarga.

Anak muda yang tidak mendapatkan perhatian dari keluarga, mereka akan mencari ke wilayah lain. Sosialisasi terhadap kekerasan begitu massif, mulai dari intoleransi dan menyikapi perbedaan.

Anda mengambil S3 di Australia, apa penelitian Anda?

Saya mengambil studi hubungan internasional, kajian saya tentang maskulinitas. Maskulinitas di antara orang-orang yang berjihad. Bagaimana konstuksi maskulinitas itu. Hipotesa saya bahwa sekarang penjelasan orang untuk bergerak berjihad ke luar negeri itu bagian dari upaya mereka untuk mencapai menjadi lelaki sejati.

Ada anggapan di sebuah masyarakat jika pencapaian yang paling tinggi bagi seorang lelaki adalah berjihad. Saya wawancara narasumber alumni Afganistan dan Moro.

Biografi singkat Noor Huda Ismail

Huda merupakan analis terorisme. Dia pernah menjadi koresponsen media Washington Post di Jakarta. Huda juga menjadi santri selama enam tahun di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki. Pondok Pesantren itu terkenal saat beberapa alumninya menjadi pelaku bom bunuh diri.

Huda menempuh kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merangkap kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Huda meraih gelar master dalam Studi Keamanan Internasional dari St. Andrews University Inggris. Saat ini Huda tengah menyelesaikan gelar doktornya di Monash University, Australia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI