Obon Tabroni: Era Buruh "Go Politic" Sudah Dimulai

Senin, 18 Juli 2016 | 07:00 WIB
Obon Tabroni: Era Buruh "Go Politic" Sudah Dimulai
Calon Bupati Bekasi / Aktivis Buruh, Obon Tabroni. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Era buruh “go politic” sudah dimulai. Di Bekasi, Jawa Barat, buruh terjun ke dunia politik secara total. Mereka menunjuk bakal calon kepala daerah di Kabupaten Bekasi lewat jalur independen.

Bekasi merupakan salah satu basis massa buruh terbesar se-Indonesia. Ada 5.000 pabrik dan 700 ribu buruh di sana. Bekasi pun memasok ribuan buruh untuk berdemo menuntut kesejahteraan saban tahun setiap 1 Mei.

Dengan jumlah buruh yang ‘bengkak’, Obon Tabroni pantas percaya diri mencalonkan diri sebagai Bupati Bekasi untuk bertarung di Pilkada serentak 2017 mendatang. Obon calon bupati independen.

Di sisi lain, analis perburuhan menganalisa pergerakan buruh belakangan melemah dan terpecah. Terutama pascapemilihan umum presiden dan wakil presiden 2014. Buruh sudah masuk ke politik praktis.

Obon mengakui itu. Itu juga yang menjadi alasan dia tidak berpartai untuk merebut kursi ‘Bekasi 1’. Ditemui suara.com dalam perbincangan hangat, Obon bercerita optimisme bisa menang. Terlebih dia juga didukung oleh aktivis buruh di luar Bekasi. Salah satunya peraih Yap Thiam Hien Award 2015 yang juga aktivis pergerakan masyarakat sipil dan petani di Kabupaten Batang, Handoko Wibowo.

“Dari 700 ribu buruh di Bekasi, paling hanya 10 persen yang ber-KTP Bekasi. Makanya, sebenarnya saya tidak 100 persen mengandalkan buruh. Saya menyasar petani dan masyarakat umum,” kata Obon.

Jika jadi bertarung, Obon akan menghadapi 5 calon bupati dari partai. Mereka adalah Neneng Hasanah Yasin (Bupati Incumbent-Golkar), Rohim Mintareja (Wakil Bupati Incumbent-Demokrat), Meilina Kartika Kadir (PDIP), Daris (Gerindra), dan Sa'duddin (PKS).

Di balik optimisme Obon, dia juga mempunyai kegelisahan. Beban berat sebagai aktivis buruh mengikat sampai 5 tahun menjabat, jika terpilih. Buruh menuntut Obon mendukung dan membuat mereka sejahtera. Di sisi lain, sebagai pemimpin, Obon berhadapan dengan pengusaha yang juga harus dibela oleh seorang bupati.

Sayangnya, Obon pun tidak mengerti banyak soal politik. Dia mengandalkan sifat manusia sebagai mahkluk yang mudah untuk belajar. Namun bagaimana pun sosok Obon menjadi penting untuk dipertaruhkan oleh ribuan buruh yang mengusungnya.

Jika Obon berhasil, bukan tidak mungkin buruh di Tangerang, Bogor, Jakarta dan kota besar di Indonesia lainnya akan melakukan hal yang sama, mengusung pemimpinnya tersendiri di pilkada.

Berikut wawancara suara.com dengan Obon di kawasan Bekasi, Jawa Barat pekan lalu:

Anda maju sebagai calon bupati Bekasi independen untuk Pilkada Kabupaten Bekasi 2017 mendatang. Sudah berapa jumlah perolehan KTP dukungan untuk Anda?

Pengumpulan KTP dimulai sejak September 2015 lalu. Memang tanpa publikasi, berbeda dengan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta. Basis massa saya ada di pabrik-pabrik dan agak lebih mudah mengumpulkan KTP. Lalu sempat ada masalah soal wakil yang akan mendampingi saya, jadi pengumpulan dan verifikasi ulang. 

Sekarang sudah terkumpul 200 ribu lebih KTP. Saya mendirikan posko di setiap tingkat kelurahan dan pabrik, mereka belum banyak yang menyetor. Sehingga perolehan bisa lebih banyak. Kawasan yang jauh, seperti Muara Gembong bisa mengumpulkan KTP sebulan sekali.

Basis Anda di pabrik, berapa perkiraan perolehan suara nantinya?

Awal-awal pengumpulan, memang banyak didapat dari pabrik. Tapi, Oktober 2015 sudah banyak dari masyarakat. Itu karena relawan kami sudah mulai gerak dari kalangan bawah. Sebab tahap, tahap pertama yang kita buat adalah relawan, kalau partai pasti sudah ada strukturnya. Tapi ini kan bukan partai. Kalau independen, kami membuat strukturnya sendiri.

Apa kesulitan yang Anda hadapi saat membentuk relawan?

Sulit banget. Saya nggak ada uang dan kader. Awalnya saya sosialisasi saja dengan beberapa orang. Diskusi dari satu tempat ke tempat lain, lalu ada yang minat jadi relawan. Mereka kita latih untuk memperkuat struktur dan pola kerja.

Selain itu tantangan lain, pendidikan politik para buruh yang menjadi relawan sangat minim. Mereka tidak ada waktu untuk belajar politik karena waktunya habis terpakai untuk bekerja. Tapi mereka termasuk cepat belajar politik. Selama 10 bulan, relawan terbentuk di 23 kecamatan dan lebih dari 100 desa. KTP pun sudah terkumpul 200 ribu lebih.

Saya banyak dibantu organisasi buruh dari berbagai federasi.

Mengapa Anda memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Bekasi?

Kalau kita lihat, kebijakan pemerintah untuk buruh tidak lepas dari kepentingan politik. Upah dari politik. Ketika buruh pulang dari pabrik, mereka berstatus sebagai masyarakat. Mereka menghadapi persoalan banjir dan macet. Semua itu hasil dari produk politik. Mereka juga menghadapi persoalan pendidikan, infrastruktur dan kesehatan.

Dari latar belakang itu, teman-teman buruh berdiskusi. Kenapa nggak dari kalangan buruh dimajukan seorang wakil di eksekutif untuk menjadi bupati. Dukungan buruh di pilkada sudah dimulai sejak pemilu legislatif kemarin. Kami mendukung dua orang dari kalangan buruh untuk menjadi anggota DPRD. Kedua perwakilan buruh itu di antaranya Ketua Bidang Hukum FSPMI Kabupaten Bekasi Nyumarno dan rekannya yang juga pengurus FSPMI Nurdin.

Nyumarno dari PDIP dan Nurdin dari PAN. Target perjuangan di legislatif yaitu mendorong peraturan daerah terkait ketanagakerjaaan agar jauh lebih baik. Ada sekitar 4.000 perusahaan di Kabupaten Bekasi yang harus difasilitasi secara aturan agar tidak terjadi kesenjangan antara pengusaha dan pekerja.

Lalu saya bilang dengan teman-teman, kalau memang saya didorong maju di Pilkada, jangan lewat partai, tapi di independen saja.

Mengapa Anda tidak ingin maju lewat partai?

Karena buruh mempunyai partai sendiri-sendiri. Di buruh, partai apa saja ada. Jangan sampai hanya persoalan pilkada, mereka konflik. Kedua, persoalan di Kabupaten Bekasi ini sangat banyak. APBD-nya pun besar (APBD Bekasi 2016 Rp5,2 Triliun), selain itu Bekasi mempunyai tambang minyak dan industri. Tapi realitanya tidak seindah kekayaan yang dimiliki. (Data BPS, angka kemiskinan di Kabupaten Bekasi pada 2015 lalu mencapai 4,9 persen. Data dari Dinsos angka kemiskinan justru lebih tinggi mencapai 11,5 persen. Jumlah warga Kabupaten Bekasi 3,5 juta jiwa).

Jadi agar tidak ada kepentingan, independen sebagai jalan yang tepat, sehingga saya bisa fokus. Saya juga harus siap ribet.

Bertarung dengan politikus untuk mendapatkan kursi “Bekasi 1” tidak mudah. Setidaknya Anda harus mempunyai pengetahuan politik. Apakah Anda sudah pernah berpolitik?

Politik praktis dengan partai, belum. Ini suatu yang baru untuk saya. Tapi ikut mendukung salah satu calon di partai pernah, tapi tidak masuk struktur. Seperti di pilpres kemarin, saya ikut dukung Prabowo Subianto, tapi tak pernah masuk struktur partai atau koalisi. Yah hanya sebatas senang-senang saja.

Jadi pengalaman saya di politik sendikit.

Lalu bagaimana jika nanti Anda menghadapi birokrasi di pemerintahan yang penuh dengan kepentingan politik?

Yang namanya manusia kan belajar, lalu orang nggak akan langsung menjadi ahli di bidang A ke bidang B. Harus ada proses pembelajaran. Selain itu, prinsip berpolitik adalah bagaimana kepemimpinannya. Sementara di dunia organisasi perburuhan, proses seperti itu sudah dilalui. Pakar ekonomi saja belum tentu bisa membangun perusahaan, meski dia ahli sekali dibidang ekonomi. Jadi proses belajar itu penting.

Saat ini organisasi buruh sudah tidak anti dengan politik. Bahkan di Indonesia buruh sudah terang-terangan membangun relasi dengan partai politik. Bagaimana Anda melihat fenomena itu di pilkada Bekasi nanti?

Hal itu sudah banyak terjadi di beberapa negara, misal Jerman dan Australia. Di sana ada partai buruh. Sebab buruhnya sadar, berbagai aturan erat hubungannya dengan negara. Di Indonesia, celakanya di tahun 1965 kekuatan  buruh berorientasi ke dua hal, politik dan sosial ekonomi.

Yang berpikiran sosial ekonomi, mereka anti politik dan hanya berjuang di pabrik saja. Sementara yang berpandangan politik, mereka sadar untuk bergerak di luar. Sebab berbagai kebijakan ada di tangan menteri dan presiden. Maka ini harus dijembatani.

Saat ini FPMI, berada di posisi di antara politik dan sosial ekonomi. Kami berjuang di pabrik dan juga eksternal. Maka ini butuh proses untuk buruh kompak berpikir dua hal itu. Saya optimis buruh bisa bersatu untuk membangun satu daerah.

Terlebih saat ini buruh sudah mengerti teknologi dan terbuka dengan akses informasi. Mereka ada di level menengah, punya ponsel pintar, dan informasi ada di tangan mereka. Itu akan menambah kesadaran politik mereka.

Kesadaran seperti apa yang Anda harapkan dari buruh?

Mereka harus paham, kalau mereka buruh. Selain itu mereka harus sadar kalau semua berhubungan dengan politik. Apatisme mereka sangat tinggi. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI