Nurul Taufiqu Rochman: Teknologi Nano untuk Masa Depan Indonesia

Senin, 11 Juli 2016 | 07:00 WIB
Nurul Taufiqu Rochman: Teknologi Nano untuk Masa Depan Indonesia
Nurul Taufiqu Rochman. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nurul Taufiqu Rochman, salah satu ilmuan di Indonesia yang paling hebat. Hebatnya, bukan hanya banyak temuannya di bidang teknologi nano. Nurul pun bukan ilmuan biasa, dia mewujudkan hasil temuan dan risetnya ke dunia swasta. Sehingga Nurul bisa jadi salah satu ilmuan terkaya di Indonesia.

Kiprah Nurul dimulai dari negeri Sakura, Jepang. Setelah 14 tahun di sana, dia kembali ke Indonesia dan bekerja di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sepulangnya ke Indonesia, dia berusaha membangun ‘bengkel’nya untuk riset nano.

“Peneliti di Indonesia cuma dapat meja dan kursi. Peralatan riset, saya yang bangun,” kata profesor teknologi nano itu.

Nurul pun mulai mengumpulkan alat-alat penelitian high energy milling untuk meneliti nano partikel. Nurul mulai ‘bermain’.

Sampai saat ini puluhan paten dia pegang melalui perusahaan riset nanonya, Nanotech Indonesia. Dia pun mendirikan perusahaan yang membawahi 4 perusahaan lain dengan nilai aset puluhan miliar.

Sampai saat ini temuan riset nano-nya sudah digunakan berbagai industri, mulai dari material sampai kosmetik. Nurul punya anggapan, statusnya sebagai peneliti negara tak menghalanginya untuk menjadi pengusaha sebuah perusahaan teknologi.

Nurul berbagi cerita dengan suara.com di ruang kerjanya di LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat belum lama ini.

Bisa Anda jelaskan, apakah itu teknologi nano?

Nano teknologi itu proses merekayasa material dari produk yang tidak bernilai sehigga menjadi produk bernilai tinggi. Nano teknologi adalah ilmu yang mempelajari fenomena benda-benda yang berukuran di bawah 100 nano meter.

Sehingga harganya jadi mahal. Nano itu singkatan dari nanometer, ukuranya 1/1 miliar. Ibaratnya, 1 rambut dibelah 50 ribu kali, baru kita mendapatkan 1 nanometer.

Mengapa nano ini penting? Nano ini akan memberikan sebuah revolusi. Indonesia mempunyai pasar yang sangat kuat dari sisi populasi. Terbanyak ketiga di asia dan keempat di dunia. Jumlah pendiduduknya sampai 250 juta jiwa lebih.

Sementara kekayaan bahan baku nano teknologi juga banyak sekali dari energi, sumber daya alam, flora dan fauna. Jadi dengan mengecilkan ukuran sebuah benda, kita bisa menemukan sifat-sifat lain dari sebuah material, dan kita bisa menciptakan material baru.

Sejauhmana perkembangan nano teknologi di Indonesia?

Di Indonesia, nano teknologi berkembang sejak lama, bahkan sebelum tahun 2004. Namun tidak booming. Di dunia, tahun 1960-an sudah diangkat oleh ilmuan. Bahkan Korea Selatan sudah mengatakan “go nano or die”. 

Sekarang banyak edukasi nano teknologi sejak berdirinya Masyarakat Nano Indonesia. Saya sudah lebih dari 100 kali sampaikan dalam seminar  dan mengumpulkan 100 lebih doktor nano di tahun 2008. Tahun 2013, saya membuat 300 profil doktor nano, sehingga identitasnya tercatat semua. Masyarakat mudah mencari dan memverifikasinya. Sebab banyak yang mengaku sebagai doktor nano, tapi bohong.

Di Indonesia, tahun 2008 Kementerian Perdagangan dan Perindustrian mulai membuat penelitian yang disebut nano material. Kemudian melakukan pemetaan nano teknologi untuk industri di Indonesia. Saya saat itu sebagai tenaga ahlinya.

Ada 150 perusahaan yang disurvei, hampir 40 persen industri di Indonesia sudah menerapkan nano. Tapi 90 persen teknologinya dari luar negeri.

Karena nano teknologi ini sangat awam, maka sulit diterapkan. Sampai saat ini Masyarakat Nano Indonesia masih giat melakukan seminar dan memberikan pengenalan. Agar nano diterapkan di semua bidang. Kementerian Pertanian sudah mengembangkan teknologi nano dengan membentuk Pusat Nano di bidang pertanian.

Tapi yang perlu didorong adalah di Industri, seperti keramik, kimia, makanan fungsional, kosmetik dan obat-obatan. Sebagian sudah ada produknya.

Tinggal menunggu waktu jadi ramai untuk pengelolaannya. Namun sayangnya di Indonesia, tata aturan untuk teknologi nano belum ada. Kita selalu lambat, penelitian nano ramai hanya di tingkat penelitian dan riset unversitas dan LIPI.

Apa yang membuat Indonesia belum menggarap potensi teknologi nano?

Di tataran penyelenggaran seperti BPOM dan Kementerian Kesehatan sangat minim. Sehingga produk nano sulit berkembang, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mensahkan nano sebagai teknologi aman.

Sementara, dalam rapat-rapat di kementerian selalu menyebutkan Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, flora fauna, obat-obatan dan sebagainya. Di sisi lain BPPT dan LIPI sudah mematenkan produk nano. Tapi ketika masuk untuk di jadikan bahan baku obat-obatan stadar Indonesia, BPOM tidak mengerti mekanismenya.

Karana produk nano yang sudah ada, dan untuk dijual harus ada banyak izin. Nah, izin itu yang sulit dikeluarkan karena pemberi izin nggak ngerti kalau produk nano itu teruji dan aman.

Apakah Indonesia belum percaya dengan keamanan teknologi nano?

Kalau di kita nggak percaya, karena produk nano itu akhirnya produsen obat dan industri datang ke Masyarakat Nano Indonesia untuk mencoba bahan baku nano. Bahkan saat ini sudah ada yang dijual.

Sampai 2015, perusahaan besar pengguna bahan baku nano sudah sangat banyak. Jadi penguasaan teknologi nano ini sudah selesai, tinggal aplikasinya saja.

Berapa perusahaan swasta yang memproduksi bahan baku dari nano teknologi?

Tidak banyak. Untuk memproduksi bahan baku nano, hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan teknologi nano yang sangat tajam. Jadi harus mempunyai kemampuan riset yang tinggi. Perusahaan besar pun belum tentu mampu membuat bahan baku nano.

Mengapa begitu?

Membuat bahan baku menggunakan teknologi nano ini bukan persoalan perusahaan itu banyak uang, tapi apakah dia mempunyai ahli nano teknologi? Kebanyakan ilmuan nano ada di universitas dan Litbang. Mereka tidak bisa mengakses ke perusahaan. Peneliti nano pun belum tentu bisa membuat produk.

Ilmuan yang bisa menghasilkan produk nano hanya yang memiliki jiwa technopreneur. Mereka pun tak mungkin mau kerja dengan orang lain, justru dia menawarkan menggunakan paten teknologi nano-nya.  Selain itu dia akan menawarkan share saham di perusahaan itu. Di seluruh dunia begitu.

Banyak peneliti yang mengeluhkan akses penelitian yang terbatas ketika bekerja di lembaga negara. Mengapa Anda tetap memutuskan berkarir di LIPI?

Betul, banyak yang seperti itu. Saya sendiri saat ini ‘berdiri’ di dua tempat. Menjadi peneliti negara dan swasta. Saya ingin memuktikan kepada teman-teman ada skenario yang harus kita desain untuk memajukan negara ini, ada dua. Saya menjadi pejabat eselon II LIPI, sekaligus saya mempunyai produk banyak. Jumlah produk saya di HAKI nomor 1 terbanyak.

Banyak peneliti yang keluar dari lembaga negara, dan membuat perusahaan untuk mengembangkan risetnya. Tapi mengapa saya tetap bertahan di LIPI? Saya sih orang bodoh saja. Tapi saya ingin berusaha dan ingin buktikan jika peneliti menjadi kaya itu bisa. 

Anda mendirikan sebuah perusahaan Nanotech Inovasi Indonesia. Perusahaan apa ini?

Pada awalnya, Masyarakat Nano Indonesia (MNI) dibangun sebagai forum komunikasi antara para peneliti dan pelaku industri, di pemerintahan, lembaga riset, universitas maupun dunia industri, yang tertarik atau bergerak di bidang sains dan teknologi.

Beberapa peneliti dan mahasiswa di bawah bimbingan saya, kemudian mendirikan Indonesia Nano Foundation (INF) pada tahun 2007 yang menjadi cikal bakal lembaga riset dan pendidikan yang berfokus pada penelitian nanoteknologi dan pemberian beasiswa pada mahasiswa.

Paten-paten yang dihasilkan oleh tim INF tersebut kemudian mulai dikomersialisasikan secara formal dalam bentuk lembaga usaha pada tahun 2008 dengan nama PT Nanotech Research and Business (NRB). Untuk semakin memperkuat aktivitas bisnis berbasis nanoteknologi, pada tahun 2009, didirikan CV Nanotech Indonesia yang berlokasi di Komplek Puspiptek, Serpong.

Pada tahun 2012, Nano Center Indonesia didirikan sebagai yayasan dengan fokus kegiatan pada riset inovasi nanoteknologi, inkubasi bisnis nanoteknologi, edukasi, dan pemberian beasiswa riset dan kuliah pada mahasiswa.

Sampai 2005, Nanotech menghasilkan lebih dari 60 publikasi ilmiah di jurnal atau prosiding nasional dan internasional. Selain itu 5 paten dalam bidang nanoteknologi herbal dan mineral, serta beberapa penghargaan di level nasional.

Sampai saat ini sudah Nanotech sudah mendirikan 4 anak perusahaan, di antaranya PT Nanotech Herbal Indonesia (bidang fokus pada nano herbal), PT Langgar Nanotech Indonesia (bidang fokus pada mineral dan energi), PT Sinergi Nanotech Indonesia dan CV Transfer Inovasi (bidang fokus IT dan pendidikan). Total asetnya mencapai lebih dari Rp 10 Miliar.

Kami juga memberikan beasiswa ke lebih dari 150 mahasiswa S1 hingga S3 dan membentuk 20 Nano Club se-Indonesia di lebih dari 10 provinsi.

Kami menargetkan tahun 2020 mempunyai 200 paten dengan nilai investasi Rp20 triliun. Aset kami sudah Rp35 miliar sampai saat ini. Ini adalah bisnis teknologi.

Bagaimaa Anda mengendalikan perusahaan ini?

Ini perusahaan dikendalikan oleh anak muda. Saya hanya di belakang sebagai ahli teknologinya. Saya hanya mempunyai saham sedikit, paling hanya 10 persen. Saham dibagi rata. Pegawainya sudah Rp100 orang, dengan gaji Rp300 juta lebih. Melebihi gaji saya di sini.

Anda termasuk ilmuan pelopor teknologi nano pertama di Indonesia. Sampai saat ini, apa kesulitan mengembangkan teknologi nano di Indonesia?

Regenerasi ilmuan nano saat ini terus berjalan. Tantangannya saat ini mencari techno preneur. Sementara financial bukan masalah utama.

Jepang salah satu negara yang paling getol menerapkan riset teknologi menjadi produk komersil. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari Jepang untuk Indonesia?

Di Indonesia, belum ada yang jelas aturan kepemilikan dari sebuah bisnis oleh pegawai negeri. Aturannya masih abu-abu. Adanya hanya pembagian royalti.  Misal ada swasta yang ingin menggunakan teknologi peneliti LIPI.

Aturan PNBP (penerimaan Negara Bukan Pajak) Keuangan, jika nilai keuntungan di bawah Rp100 juta, 40 persen-nya diberikan penemu.

Tapi pada kenyataannya, royalti itu tidak bisa langsung diambil oleh penemu-nya. Jadi belum ada aturan, penemu mengambil royalti itu. Sehingga peneliti negara sampai saat ini belum bisa mengambil haknya dari royalti itu. Uang bagi hasil penemuan, itu tidak ada.

Selama ini terjadi ‘permainan’ untuk mencairkan uang itu. Dibuat dana fiktif, dari hasil uang lembur dan perjalanan dinas. Jadi tercatat di laporan keuangan, peneliti itu mendapatkan uang kerja lembur, seolah-olah itu uang royalti.  Seharusnya dibuat item “fee peneliti”, sebagai hasil nilai royalti itu. Jadi bohonh-bongongan.

Selama ini Anda memproduksi paten, bagaimana nasib uang hasil paten itu?

Saya tidak pernah ambil. Biar lah berikan ke negera, saya kasih ke negera semua. Karena nilainya uangnya kecil, 2 sampai 5 persen dari penjualan produk. Selama ini saya hanya mendapatkan bagi hasil dari saham. Saya kan komisaris di perusahaan Nanotech itu.

Makanya saya ingin mengajarkan ke peneliti seperti itu, ngapain nangis-nangis ke negara. Manfaatkan saja kepemilikan perusahaan yang tidak diatur.

Lagi pula bagi saya penerapan teknologi nano itu mudah, apa saja bisa ‘dinanokan’.

Untuk satu membuat produk nano, berapa lama yang Anda perlukan?

Kalau saya intens meneliti, paling hanya 6 bulan.

Berapa pemasukan Anda pribadi sebagai peneliti, penemu dan pengusaha?

Pemasukan saya dari bisnis macam-macam. Kalau dihitung, 2 kali lipat dari pendapatan saya di LIPI, plus gaji saya di LIPI. Bahkan lebih dari itu, nggak sampai ratusan juta. Tapi kan saya memiliki perusahaan itu. Ini investasi masa depan.

Biografi singkat Prof Nurul

Prof. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, B.Eng., M.Eng lulus dari Kagoshima University, Jepang untuk S1, S2, S3 dalam bidang Ilmu Material dan Rekayasa Produksi. Setelah lulus SMA, dia sempat kuliah di ITB jurusan teknik industri selama sembilan bulan. Tapi, dia beruntung mendapatkan kesempatan mengikuti program BJ Habibie yang bernama STMPD II (Science and Technology Man Power Development Program) untuk sekolah di Jepang. Tahun 1990 dia kemudian berangkat ke Negeri Sakura.

Tahun 2000, dia bekerja di Industri Jepang sebagai konsultan R & D selama 1 tahun dan Pusat Penelitian Daerah sebagai peneliti istimewa selama 3 tahun.

Nurul Telah mempublikasikan 12 Paten, dua di antaranya terpilih dalam buku 100 Inovasi Indonesia dan Hak Cipta (di antaranya 1 Paten Jepang yang telah di-granted dan diterapkan di Perusahaan Kyushu Tabuchi sejak 2003). Nurul pun mengeluarkan lebih dari 100 publikasi dan pemakalah internasional dan 180 publikasi dan pemakalah nasional.

Dia pernah mendapat penghargaan Hatakeyama Award sebagai mahasiswa terbaik dan Fuji Sankei Award sebagai peneliti terbaik tahun 1995. Setelah pulang, pada 2004 mendapat penghargaan dari LIPI sebagai Peneliti Muda Terbaik dan Penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia (Adhidarma Profesi) tahun 2005 dan The Best Innovation and Idea Award dari Majalah SWA.

Nurul pernah menjadi delegasi Indonesia untuk menghadiri pertemuan Pemenang Nobel di Lindau Jerman tahun 2005. Tahun 2009 memperoleh perhargaan ITSF-Science and Technology Award dari Industri Toray Indonesia sebagai Outstanding Scientist dan Ganesha Widya Adiutama dari ITB pada Dies Natalis ke-50 serta menerima Habibie Award di bidang Ilmu Rekayasa 11 November 2009. Kini menjabat sebagai ketua Masyarakat Nano Indonesia sejak 2005.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI