Suara.com - Nurul Taufiqu Rochman, salah satu ilmuan di Indonesia yang paling hebat. Hebatnya, bukan hanya banyak temuannya di bidang teknologi nano. Nurul pun bukan ilmuan biasa, dia mewujudkan hasil temuan dan risetnya ke dunia swasta. Sehingga Nurul bisa jadi salah satu ilmuan terkaya di Indonesia.
Kiprah Nurul dimulai dari negeri Sakura, Jepang. Setelah 14 tahun di sana, dia kembali ke Indonesia dan bekerja di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sepulangnya ke Indonesia, dia berusaha membangun ‘bengkel’nya untuk riset nano.
“Peneliti di Indonesia cuma dapat meja dan kursi. Peralatan riset, saya yang bangun,” kata profesor teknologi nano itu.
Nurul pun mulai mengumpulkan alat-alat penelitian high energy milling untuk meneliti nano partikel. Nurul mulai ‘bermain’.
Sampai saat ini puluhan paten dia pegang melalui perusahaan riset nanonya, Nanotech Indonesia. Dia pun mendirikan perusahaan yang membawahi 4 perusahaan lain dengan nilai aset puluhan miliar.
Sampai saat ini temuan riset nano-nya sudah digunakan berbagai industri, mulai dari material sampai kosmetik. Nurul punya anggapan, statusnya sebagai peneliti negara tak menghalanginya untuk menjadi pengusaha sebuah perusahaan teknologi.
Nurul berbagi cerita dengan suara.com di ruang kerjanya di LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat belum lama ini.
Bisa Anda jelaskan, apakah itu teknologi nano?
Nano teknologi itu proses merekayasa material dari produk yang tidak bernilai sehigga menjadi produk bernilai tinggi. Nano teknologi adalah ilmu yang mempelajari fenomena benda-benda yang berukuran di bawah 100 nano meter.
Sehingga harganya jadi mahal. Nano itu singkatan dari nanometer, ukuranya 1/1 miliar. Ibaratnya, 1 rambut dibelah 50 ribu kali, baru kita mendapatkan 1 nanometer.
Mengapa nano ini penting? Nano ini akan memberikan sebuah revolusi. Indonesia mempunyai pasar yang sangat kuat dari sisi populasi. Terbanyak ketiga di asia dan keempat di dunia. Jumlah pendiduduknya sampai 250 juta jiwa lebih.
Sementara kekayaan bahan baku nano teknologi juga banyak sekali dari energi, sumber daya alam, flora dan fauna. Jadi dengan mengecilkan ukuran sebuah benda, kita bisa menemukan sifat-sifat lain dari sebuah material, dan kita bisa menciptakan material baru.
Sejauhmana perkembangan nano teknologi di Indonesia?
Di Indonesia, nano teknologi berkembang sejak lama, bahkan sebelum tahun 2004. Namun tidak booming. Di dunia, tahun 1960-an sudah diangkat oleh ilmuan. Bahkan Korea Selatan sudah mengatakan “go nano or die”.
Sekarang banyak edukasi nano teknologi sejak berdirinya Masyarakat Nano Indonesia. Saya sudah lebih dari 100 kali sampaikan dalam seminar dan mengumpulkan 100 lebih doktor nano di tahun 2008. Tahun 2013, saya membuat 300 profil doktor nano, sehingga identitasnya tercatat semua. Masyarakat mudah mencari dan memverifikasinya. Sebab banyak yang mengaku sebagai doktor nano, tapi bohong.
Di Indonesia, tahun 2008 Kementerian Perdagangan dan Perindustrian mulai membuat penelitian yang disebut nano material. Kemudian melakukan pemetaan nano teknologi untuk industri di Indonesia. Saya saat itu sebagai tenaga ahlinya.
Ada 150 perusahaan yang disurvei, hampir 40 persen industri di Indonesia sudah menerapkan nano. Tapi 90 persen teknologinya dari luar negeri.
Karena nano teknologi ini sangat awam, maka sulit diterapkan. Sampai saat ini Masyarakat Nano Indonesia masih giat melakukan seminar dan memberikan pengenalan. Agar nano diterapkan di semua bidang. Kementerian Pertanian sudah mengembangkan teknologi nano dengan membentuk Pusat Nano di bidang pertanian.
Tapi yang perlu didorong adalah di Industri, seperti keramik, kimia, makanan fungsional, kosmetik dan obat-obatan. Sebagian sudah ada produknya.
Tinggal menunggu waktu jadi ramai untuk pengelolaannya. Namun sayangnya di Indonesia, tata aturan untuk teknologi nano belum ada. Kita selalu lambat, penelitian nano ramai hanya di tingkat penelitian dan riset unversitas dan LIPI.
Apa yang membuat Indonesia belum menggarap potensi teknologi nano?
Di tataran penyelenggaran seperti BPOM dan Kementerian Kesehatan sangat minim. Sehingga produk nano sulit berkembang, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mensahkan nano sebagai teknologi aman.
Sementara, dalam rapat-rapat di kementerian selalu menyebutkan Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, flora fauna, obat-obatan dan sebagainya. Di sisi lain BPPT dan LIPI sudah mematenkan produk nano. Tapi ketika masuk untuk di jadikan bahan baku obat-obatan stadar Indonesia, BPOM tidak mengerti mekanismenya.
Karana produk nano yang sudah ada, dan untuk dijual harus ada banyak izin. Nah, izin itu yang sulit dikeluarkan karena pemberi izin nggak ngerti kalau produk nano itu teruji dan aman.
Apakah Indonesia belum percaya dengan keamanan teknologi nano?
Kalau di kita nggak percaya, karena produk nano itu akhirnya produsen obat dan industri datang ke Masyarakat Nano Indonesia untuk mencoba bahan baku nano. Bahkan saat ini sudah ada yang dijual.
Sampai 2015, perusahaan besar pengguna bahan baku nano sudah sangat banyak. Jadi penguasaan teknologi nano ini sudah selesai, tinggal aplikasinya saja.
Berapa perusahaan swasta yang memproduksi bahan baku dari nano teknologi?
Tidak banyak. Untuk memproduksi bahan baku nano, hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan teknologi nano yang sangat tajam. Jadi harus mempunyai kemampuan riset yang tinggi. Perusahaan besar pun belum tentu mampu membuat bahan baku nano.
Mengapa begitu?
Membuat bahan baku menggunakan teknologi nano ini bukan persoalan perusahaan itu banyak uang, tapi apakah dia mempunyai ahli nano teknologi? Kebanyakan ilmuan nano ada di universitas dan Litbang. Mereka tidak bisa mengakses ke perusahaan. Peneliti nano pun belum tentu bisa membuat produk.
Ilmuan yang bisa menghasilkan produk nano hanya yang memiliki jiwa technopreneur. Mereka pun tak mungkin mau kerja dengan orang lain, justru dia menawarkan menggunakan paten teknologi nano-nya. Selain itu dia akan menawarkan share saham di perusahaan itu. Di seluruh dunia begitu.
Banyak peneliti yang mengeluhkan akses penelitian yang terbatas ketika bekerja di lembaga negara. Mengapa Anda tetap memutuskan berkarir di LIPI?
Betul, banyak yang seperti itu. Saya sendiri saat ini ‘berdiri’ di dua tempat. Menjadi peneliti negara dan swasta. Saya ingin memuktikan kepada teman-teman ada skenario yang harus kita desain untuk memajukan negara ini, ada dua. Saya menjadi pejabat eselon II LIPI, sekaligus saya mempunyai produk banyak. Jumlah produk saya di HAKI nomor 1 terbanyak.
Banyak peneliti yang keluar dari lembaga negara, dan membuat perusahaan untuk mengembangkan risetnya. Tapi mengapa saya tetap bertahan di LIPI? Saya sih orang bodoh saja. Tapi saya ingin berusaha dan ingin buktikan jika peneliti menjadi kaya itu bisa.