Sofwan Manaf: Lebaran dan Pengampunan Dosa Setelah Ramadan

Senin, 04 Juli 2016 | 07:00 WIB
Sofwan Manaf: Lebaran dan Pengampunan Dosa Setelah Ramadan
Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, Sofwan Manaf. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Idul Fitri selalu menjadi momentum menyenangkan bagi Muslim di seluruh dunia. Masing-masing negara mempunyai tradisi beragam, tak terkecuali di Indonesia.

Sebagai negara multietnis dan suku, banyak cara untuk merayakan lebaran. Namun momentum itu tidak lepas dari tradisi maaf-memaafkan.

Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, Sofwan Manaf mengingatkan umat Islam merayakan Idul Fitri dengan sederhana dan tidak memaksa. Tidak perlu bermewah dan memaksakan membeli pakaian baru. Yang penting, dahulukan membayar zakat.

Salah satu yang paling mencolok untuk menghadapi lebaran, kebanyakan masyarakat menyerbu pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian. Dia tidak tahu persis, bagaimana ‘tradisi’ itu bermula.

“Tapi nggak salah, memakai pakaian baru kan sunnah. Tapi jangan berlebihan,” begitu kata Sofwan.

Alumni Pesantren Gontor itu mengatakan lebaran seharusnya tidak bermewah, sebab berpuasa semestinya mengingatkan umat untuk merasakan kehidupan kaum miskin. Sebulan tak bebas makan dan minum.

Hal yang paling penting selama Ramadan dan lebaran adalah pembelajaran agar manusia taat dan patuh dengan perintah Allah. Sebab setelah puasa, manusia menjadi mahluk yang ‘fitri’, seperti bayi yang baru lahir.

Namun, apakah ada jaminan dari Allah, jika setelah lebaran manusia akan kembali ‘suci’? Apakah yang harus dilakukan manusia setelah lebaran agar menjadi muslim yang baik?

Berikut wawancara khusus suara.com dengan Kyai Sofwan Manaf di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta pekan lalu:

Saban tahun umat muslim merayakan Idul Fitri. Apakah makna lebaran dari sisi ajaran Islam?

Makna lebaran ini di lihat dari sundut pandang agama, dengan seluruh dunia hampir sama. Setelah kita menjalankan ibadah di bulan Ramadan dengan segala komposisinya, ada rahmat, maghfirah (ampunan) dan dosa kita diampuni oleh Allah. Dengan catatan frekwensi ibadah yang tinggi.

Kita kembali ke fitrah, seperti kita tidak berdosa lagi. Itu juga kalau ibadahnya banyak dan diterima oleh Allah. Tapi memang kemauan dogma agama, kita sebagai manusia yang sudah berbuat banyak dosa, setelah beribadan dan minta ampun, kita kembali ke fitrah.

Maka secara bahasa Ied itu kan maknanya kembali. Kita seperti dilahirkan kembali tanpa dosa.

Dalam ajaran agama Islam, ibadah di bulan Ramadan ini diberikan beberapa motivasi kepada seseorang untuk beribadah. Misal pahala berlipat ganda, ibadah malam dan puasa siang bisa merasakan keadaan orang yang tidak punya.

Secara sosial, hanya ada di Indonesia. Karena Indonesia negara berkembang, banyak penduduknya bekerja di kota besar. Jarak mereka dan keluarga berjauhan, sehingga mereka ingin kembali ke kampung halaman. Menemui keluarga dan saling memohon maaf. Mereka berbondong-bondong pulang kampung. Niat pulang kampung ini juga adalah ibadah.

Kalau di negera mayoritas Islam lain, sektor ekonomi tidak terpusat di ibu kota. Misalnya di Timur Tengah, yang lebih ramai justru Idul Adha, bukan Idul Fitri. Karena Idul Fitri, mereka setelah Ramadan bermaafkan, dan menjalankan puasa sunnah selama 6 hari. Setelah 6 hari, baru mereka merayakannya lagi. Jika di Indonesia namanya lebaran Ketupat. Idul Adha terlihat ramai karena ada yang dibagikan secara fisik seperti hewan kurban.

Soal fitrah dan dosa kita yang diampuni Allah sampai diibaratkan menjadi bayi yang baru lahir. Sejauh mana garansi Allah untuk memberikan fitrah itu?

Tidak ada garansi dan tidak otomatis dosa terampuni setelah Ramadan. Karena itu tergantung tingkatan ibadah umat di Ramadan, jadi berbeda. Ada yang berpuasa hanya sekadar menahan lapar, ada yang menahan lapar dan ibadah, serta ada yang benar-benar meninggalkan kegiatan duniawi untuk fokus ibadah.

Maka tidak ada garansi dari Allah untuk orang itu diampuni dosanya karena puasa. Meski sudah menjalankan puasa yang sangat taat. Karena yang mengetahui hanya Allah.

Tapi dalam Islam, Ramadan bukan hanya sekadar menjanjikan. Agama itu memberikan ‘obral pahala’. Pahala dilipatgandakan. Jika sedekah Rp1.000, maka itu sama dengan sedekah Rp700 ribu saat Ramadan. Kalau salat fardhu pahalanya 1, maka dilipatkan jadi 70.

Hal itu untuk memotivasi, karena hal itu dijanjikan dalam Al Quran. Kalau pahala ibadah lain akan dicatat oleh malaikat, tapi kalau saat Ramadan langsung hitungannya oleh Allah.

Hal seperti ini adalah dorongan agar kita beribadah yang bagus dan puasanya juga kencang. Sehingga puasanya bukan hanya menahan lapar, tapi juga dengan ibadah. Jadi ini tergantung niat dan perilaku. Sebab banyak yang puasa, tapi maki-maki. Sehingga juga mendapat dosa.

Motivasi itu diberikan agar umat menjalankan ibadah dengan baik di 11 bulan lainnya setelah Ramadan. Apa yang harus dilakukan umat?

Dalam bahasa logika, puasa untuk pemicu supaya beribadah dan merasakan kesulitan orang miskin. Pemicu, bagaimana kita ini taat sama Allah. Kebiasaan rutinitas Ramadan diharapkan dibawa di bulan-bulan regular, seperti beribadah di saat malam.

Tapi tidak ada jaminan kalau seseorang yang puasanya bagus dan giat di bulan Ramadan, akan menjadikan orang baik di bulan biasa. Tergantung niat dia.

Bagaimana cara Nabi Muhammad merayakan lebaran?

Rasul hanya merasakan Ramadan hanya sekali dalam seumur hidupnya. Beliau sudah bersabda, habis puasa dan lebaran haji di zaman akhir usia Nabi, “ini agamaku sudah ku sempurnaan”.

Sunah yang dilakukan rasul saat itu, habis Idul Fitri beliau bergembira bersama keluarga dan maaf-maafan, serta makan-makan. Setelah itu selesai. Setelah itu beliau puasa kembali di bulau Syawal. Dalam hadist mengatakan barang siapa yang berpuasa 6 hari setelah bulan Ramadan, dosanya yang diampuni oleh Allah setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

Maka dalam Islam, ada 2 jenis hari raya yang wajib umatnya bergembira. Idul Fitri dan Idul Adha.

Maaf memaafkan menjadi kebiasaan saat Idul Fitri dan Idul Adha, mengapa ini harus dilakukan?

Saat Ramadan, umat Islam melakukan Ibadah panuh, saat Idul Fitri dianggap kembali ke fitra-nya. Dia seperti dilahirkan kembali. Untuk menyempurnakan, maka dia minta maaf atas kesalahan-kesalahan yang sudah diperbuat. Ketika bersalahaman, dianggap tidak ada dosa. Nabi pun melakukan itu ke keluarganya.

Selain mudik, salah satu kebiasaan lebaran di Indonesia adalah membeli pakaian baru. Masyarakat berbondong-bondong untuk belanja. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam soal ini?

Dalam ajaran Islam yang baru itu hanya pakaian, itu sunnah. Ketika kita salat Ied, disunnahkan memakai pakaian baru dan bersih. Tapi terjemahanya di kalangan Indonesia semua serba baru. Sebenarnya tidak apa-apa, asal jangan berlebihan. Sehingga mengganggu pengeluaran lain.

Begitu juga saat mudik. Banyak yang mendahulukan mudik daripada salat Ied. Bagaimana menurut pandangan Agama?

Salat Ied itu sunnah. Tidak dikerjakan juga tak apa-apa. Pulang kampung juga jika tidak dikerjakan tidak apa-apa.

Mana dulu yang harus didahulukan, salat Ied atau mudik?

Menghormati orang tua itu jauh lebih bagus daripada melakukan sunnah-sunnah yang lain. Jika mudik untuk bertemu orangtua, itu harus didahulukan. Tapi dengan catatan tidak memaksa diri. Kita harus ingat zakat fitrah dibayarkan dulu.

Banyak kalangan yang berpendapat, zakat mempunyai potensi untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Bagaimana pandangan Anda?

Zakatnya umat Islam besar di Indonesia sekali kalau disalurkan dengan benar, tidak hanya bersifat konsumtif saja. Zakat di Indonesia diperkirakan sampai Rp20 triliun pertahun. Ini bisa dibangun sekolah yang bermanfaat.

Lembaga seperti pesantren di Darunnajah juga menyalurkan zakat yang produktif. Tidak hanya disalurkan dalam bentuk uang mentah. Tapi kita bangun sekolah. Sehingga bisa mengubah fakir miskin lewat pendidikan. Sehingga bisa menghidupi dirinya dan keluarganya dengan layak. Darunnajah menyalurkan zakat ke 1.400 anak. Mereka diberikan beasiswa pendidikan. Kita yakin bengubah orang bisa melalui pendidikan.

Bagaimana cara penyaluran zakat dan sumpangan yang benar?

Tahun 1990, Darunnajah mendirikan panti asuhan. Setelah berjalan 6 tahun, kami melihat mental anak-anak panti jadi mental peminta-minta. Anak-anak yatim ini sering diundang ikut pengajian dan doa ke sana-sini. Ini teryata menjadi komoditi sosial.

Saya merasa mendirikan sekolah ini bukan untuk komoditi sosial. Lembaga ini bertujuan untuk membangun mental mereka yang bercara diri dan berpendidikan. Akhirnya panti asuhan itu ditutup dan diganti pesantren. Mereka kita ganti dengan diberikan beasiswa.

Setelah itu mental mereka bukan lagi peminta-minta. Kami cukup berhasil membangun mental mereka. Sebab anak-anak butuhnya makan 3 kali sehari dan pendidikan.

Darunnajah menerapkan sistem pengajaran modern, bahkan banyak belajar soal teknologi. Apa alasan Anda membuat sistem pendidikan pesantren seperti itu?

Pesantren itu pendidikan 24 jam dan bukan hanya pendidikan formal. Ada juga yang non formal. Kehidupan nyata itu berasal dari 10 persen ilmu pengetahuan dan 90 persen itu dari perlulaku. Pesantren mendidik tentang perilaku. Pesantren ada sejak abad ke-16. Sehingga produk keluaran pesantren sudah teruji dan berkiprah di masyarakat.

Pesantren pernah disebut sebagai tempat yang bisa membentuk pola pola pikir radikal. Bagaimana Darunnajah mencegah hal itu?

Saya tidak pungkiri ada pesantren yang alumninya menjadi radikal. Tapi kita tidak bisa memberikan cap jika alumninya radikal maka lembaganya radikal juga. Yang diajari di pesantren nggak ada yang radikal. Yang diajari justru ilmu-ilmu dasar untuk memahami agama. Tapi mereka bisa jadi radikal setelah keluar, karena melihat keadaan sekitarnya.

Di Darunnajah, agama semua kita ajarkan. Supaya dia memahami perbedaan. Di sini kelas 1 SMA, murid kita ajarkan buku yang membahas perbedaan mazhab. Termasuk kami memberikan pandangan soal perbedaan agama di materi Al – Adyan.   

Biografi Sofwan Manaf

Sofwan Manaf adalah generasi kedua untuk mengelola Pondok Pesantren Darunnajah setelah didirikan oleh ayahnya, Abdul Manaf Mukhayyar  di tahun 1942. Darunnajah salah satu pesantren modern di Jakarta. Pesantren ini sangat besar dan mempunyai belasan cabang di Jabodetabek.

Kyai Manaf merupakan lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur. Dia menyelesaikan pendidikan strata 1 di Fakultas Usuluddin. Ayah 5 anak itu juga pernah mengambil master di Cairo Univercity, Mesir dengan studi filsafat Islam dan Ma’had Al Ali untuk Studi Islam di Zammaliek Mesir. Belum puas, Sofwan kembali mengambil gelar master di Universitas Indonesia dengan studi kebijakan publik. Saat ini Sofwan tengah menyelesaikan studi manajemen pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.

Sofwan termasuk ‘kyai modern’. Dia banyak menuangkan pemikirannya tentang Islam dari sisi kekinian. Di luar aktivitas resminya sebagai pimpinan Ponpes Darunnajah, Sofwan adalah ketua Ikatan Alumni Gontor.

Sofwan aktif berinterkasi dengan dunia barat seperti Eropa membahas perkembangan dunia Islam. Terakhir dia mendapatkan undangan resmi ke London Perdana Menteri Inggris Tonny Blair. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI