A. Satori Ismail: Dakwah Bukan untuk Mengkafirkan Umat Lain

Senin, 27 Juni 2016 | 07:00 WIB
A. Satori Ismail: Dakwah Bukan untuk Mengkafirkan Umat Lain
Ketua Ikatan Da’i Indonesia, Achmad Satori Ismail. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pendakwah, da’i, atau juga ulama mempunyai peran strategis dalam menyebarkan ajaran Islam. Mereka ‘bersyiar’ melalui masjid, mimbar terbuka maupun media massa. Namun sejauhmana syiar mereka dibenar dalam ajaran Islam?

Ketua Ikatan Da’i Indonesia, Achmad Satori Ismail menegaskan tidak sembarang orang bisa mensyiarkan agama Islam. Dalam berdakwah, seorang da’i harus menyebarkan Islam sebagai agama yang damai dan sejuk.

Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu mengatakan ada 6 syarat yang harus dipenuhi oleh da’i dalam berdakwah. Syarat ini sebagai upaya membentengi diri dari pengaruh radikalisme.

Sebab Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mempunyai data, 60 persen lebih masjid di Jakarta menyebarkan paham radikal. Ini dilihat dalam khotbah yang cenderung menyebar kebencian. Namun Satori tidak mempercayai sepenuhnya dengan data itu. Termasuk penilaian pesantren yang bisa memicu pembentukan bibit terorisme.

“Tunjukan ke saya masjid mana yang mensyiarkan radikalisme, dan pesantren mana yang mengajarkan radikalisme?” tanya Satori.

Menurut dia, tugas utama pendakwah untuk mengajarkan Islam yang damai dan menyebarkan sifat toleransi. Bagaimana tips pendakwah untuk menyampaikan pesan itu?

Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Satori Ismail di ruang kerjanya di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputan, Tangerang Selatan pekan lalu:

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mempunyai data, 60 persen lebih masjid di Jakarta menyebarkan paham radikal. Ini dilihat dalam khotbah yang cenderung menyebar kebencian. Bagaimana pandangan Anda?

Masjid mana, coba tunjukan. Kalau bisa menyebutkan, mana saja. Ini penting karena tidak bisa menuduh penceramahnya radikal.

Sebagai muslim, kita ingin mereka berceramah sesuai dengan ajaran Islam. Islam itu kan agama penuh kasih sayang. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad, apa yang dilakukan rasul kan sangat indah.

Selama orang Yahudi dan kaum lain macam-macam, tidak pernah beliau bertindak keras. Bahkan di zaman Umar Bin Khatab, ada orang Yahudi yang miskin diberi sedekah. Tapi memang dalam Islam, jika ada masjid yang menyebarkan radikalisme harus dibenahi.

Menurut Anda, apakah masjid yang ada di Jakarta sudah proporsional dalam menyiarkan Islam?

Apakah sudah maksimal masjid-masjid ini dalam mensyiarkan Islam? Apakah sudah maksimal peran masjid dalam berdakwah dan menyebarkan kasih sayang dalam Islam? Karena dakwah melalui ceramah, yang mendengar terbatas.

Sedikit yang datang ke masjid, hanya orang-orang yang baik-baik saja. Sementara yang tidak baik, tidak ke masjid. Maka masyoritas masjid dalam berdakwah kurang efektif karena bersandar pada ceramah atau tabligh.

Seharusnya bagaimana masjid-masjid itu menyebarkan Islam yang penuh kasih sayang yang kongkrit. Misal ada orang miskin, kita bantu bersama atau juga menolong para pengangguran. Jadi bentuknya diwujudkan dalam saling tolong menolong. Dakwah yang seperti itu belum maksimal.

Masjid juga sering ‘diduduki’ kelompok Islam garis keras, bagaimana untuk mencegah ini?

Saya sendiri kalau ada orang-orang Islam yang garis keras, harus dilihat kerasnya itu apa? Apakah keras karena berjenggot dan celana ngatung, atau juga keras yang suka mem-bid’ah. Sepengatahuan saya, masjid itu tidak yang mengajak untuk membunuh orang lain dan mencelakai orang lain. Kalau memang ada masjid seperti itu, kita cari.

Sebab Ikatan Da’i Indonesia menginginkan masjid sebagai tempat bersujud. Tempat sujud itu sebagai tempat mengabdi ke Allah, bukan untuk menyerang orang dan bukan melakukan makar. Sujud untuk mendapatkan ketenangan dan tempat bersyukur.

Masjid memang pernah diduduki oleh kelompok radikal, semial LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Kelompok itu menganggap orang lain najis, sehingga mereka mempunyai masjid khusus. Masjid tertutup untuk kelompok orang di luar mereka. Mereka adalah kelompok garis keras karena berhadapan dengan sesama muslim saja sekeras itu.

Kemudian ada masjid yang diduduki kelompok salafi. Kelompok ini punya pandangan bahwa mereka harus berpegang kepada akidah versi mereka, kemudian jika ingin beribadah harus seperti mereka. Mereka sering men-cap orang lain dan sesama muslim, bid’ah.

Misal dalam memandang cara berpakaian, menurut mereka memakai celana itu harus di atas mata kaki. Jika tidak, akan masuk neraka. Padahal hadis-hadisnya masih debat tebal. Sebagai umat Islam, kita harus mempunyai pengetahuan luas dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Kita melakukan persuasi dengan orang seperti mereka.

Seperti apa melakukan pendekatan ke kelompok-kelompok garis keras? Bagaimana caranya?

Permasalahannya, mereka sudah punya keyakinan seperti itu. Dalam banyak hal kita diskusi. Tapi  mereka tetap saja seperti itu, karena itu dianggap paling benar. Saya menyampaikan ke umat dalam ceramah, jika kalau ada pemikiran radikal tidak perlu ditentang. Sebab pemikiran itu untuk mereka sendiri. Kecuali kalau mereka menyalahkan orang lain.

Kaum radikal mempunyai ekstrim dalam pemahaman ibadah dan memahami hadis.

Apakah Anda mempunyai data jumlah kelompok garis keras itu?

Kami belum pernah mensurvei. Tapi ada gejala masjid-masjid diduduki kelompok seperti itu. Sebenarnya mereka mempunyai keterbatasan pengetahuan Islam. Mereka menganggap orang Islam yang tidak seperti mereka adalah salah.

Ikatan Da’i Indonesia mempunyai tujuan melahirkan para da’i yang mempunyai ceramah baik dan menyejukkan. Seperti apa kategori ceramah  yang menyejukan itu?

Pertama, tidak membahas masalah cabang-cabang yang menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapatan. Misal soal salat qunut saat Subuh, tidak perlu dipersoalkan. Biarkan saja yang mengerjakan atau juga yang tidak. Sebab sejak dulu salat qunut sudah ada. Itu terjadi antara Muhamadiyah dan Nahdalatul Ulama. Lalu masalah tahlilan, itu kan perbedaan pendapat biasa.

Kedua, ceramah itu harus membahas masalah-masalah yang bisa menyatukan umat. Ketiga, tidak menyinggung penganut ajaran atau agama lain. Dalam menjawab pernyataan yang bersinggungan dengan perbedaan keyakinan tidak memojokan agama tertentu.

Keempat, tidak membahas soal politik praktis. Sebab ini menimbulkan banyak masalah. Seperti ceramah jangan disinggung ke kepentingan kelompok tertentu. Kelima, menggunakan bahasa yang indah. Salah satunya mengkritik atau menyalahkan orang lain dengan bahasa yang indah, sehingga orang itu tidak tersinggung.  Istilahnya, “agamamu agamamu, agamaku agamaku”. Keenam, tidak menyinggung soal ketuhanan agama lain. Sebab mereka sudah mempunyai keyakinan itu.

Dalam berdakwah, da’i harus menyampaikan cara bagaimana umat muslim ini menjadi Islam yang baik. Mau menjalankan syariat Islam.

Banyak fenomena pihak yang banyak mengkafirkan seseorang yang berbeda keyakinan adalah para ulama tersohor. Bahkan mereka tampil di media televisi…

Biasanya orang yang tidak memiliki wawasan yang luas, banyak mengkafirkan orang lain. Itu wajar, karena keterbatasan pemahaman. Bahkan orang yang tidak luas pengetahuan agamanya, hanya belajar dari ucapan guru-gurunya, dan tak belajar dari catatan referensi. Dalam Islam, tidak boleh mendakwahkan agama lain. Ulama hanya boleh menyampaikan ajaran Islam, tanpa mendakwahkan. Karena tidak boleh ada paksan dalam agama Islam. 

Pesantren disorot berbagai kalangan sebagai tempat tumbuhkan ajaran radikalisme. Bagaimana pandangan Anda?

Jangan digeneralisir semua pesantren seperti itu. Jumlah pesantren itu puluhan ribu, jangan semua dianggap membuat bibit terorisme. Dulu ada, Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Jawa Tengah. Tapi lulusan Ngruki banyak juga yang beragama baik dan tidak radikal.

Apa yang harus dilakukan pesantren untuk mencegah radikalisme itu?

Saya ini membina banyak pesantren. Pesantren itu tidak ada niat menjadikan lulusannya sebagai teroris dan radikal. Memang ada sebagian orang yang mempunyai keyakinan keras seperti itu. Tapi jangan kemudian hal seperti itu diproduksi oleh pesantren. Kewjiban negara untuk melurusakan pesantren radikal seperti itu.

Indonesia dipandang sebagai negara yang bertoleransi karena mempunyai suku dan agama di masyarakat yang beragam. Toleransi yang seperti apa yang perlu dikuatkan oleh umat Islam sendiri?

Toleransi antar umat Islam sendiri toleransi dalam bidang mazhab. Di luar sana ada mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Semua itu punya dasar-dasar, sehingga antara NU dan Muhammadiyah saling toleran dan memahami. Ini penting, kalau antara mayoritas toleran, maka akan mendapatkan ketenangan negara. Karena mayoritasnya aman.

Kedua, toleransi antara umat beragama. Mereka tidak saling menjelekan dan menyerang. Allah memberikan petunjuk ke umat manusia, ada yang memilih pilihan berbeda. Biarkan saja mereka karena dilindungi Undang-Undang dan jangan dipaksa masuk ke agama lain.

Ciri-ciri ahklak yang harus dimiliki muslim agar dicintai sesama umat, pertama berlaku adil. Ini ciri utama dari Islam. Jadi inti ajaran Islam itu adil dan moderat. Sebab bersikap adil itu lebih dekat dengan ketakwaan. Kedua, memberikan maaf terhadap orang yang menzolimi. Tapi memang ini berat.

Ketiga, senantiasa mencintai orang lain. Jangan egois, karena mencintai orang lain itu nikmat. Jika membenci orang lain itu akan menghabiskan energi dan amal baik. Sikap kebencian itu akan menghapus amal kebaikan kita. Keempat, kita harus ikhlas kepada Allah dikala sendiri dan ditengah orang banyak.

Kelima, jangan somong. Tidak ada orang yang senang dengan orang sombong. Kita harus terus rendah hari meski kaya harta, kaya ilmu, dan berlebih. Ketujuh, orang yang dicintai orang lain, orang itu harus dicintai Allah dulu.

Kedelapan, orang itu harus rajin memberi sesuatu kepada orang lain. Kemudian bersikap toleran. Sikap toleran ini sikap luar biasa. Toleran itu berlapang dada terhadap masalah yang berbeda dengan orang lain. Ada penelitian, orang yang toleran itu lebih panjang umur karena tidak memusingkan masalah orang lain.

Biografi singkat Satori Ismail:

Achmad Satori Ismail lahir di Cirebon, 6 Desember 1955. Satori merupakan Guru Besar Ilmu Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat. Selain itu, Satori merupakan Direktur Pasca sarjana Universitas Islam As syafi’iyah Jakarta. Satori juga Anggota Dewan Syariah Nasional MUI.

Di luar aktivitasnya sebagai akademisi, lelaki bergelar profesor itu merupakan Ketua Umum sekaligus Ikatan Dai Indonesia (IKADI). IKADI merupakan ormas yang melatih seseorang untuk menjadi penceramah yang professional.

Satori banyak menjadi penasehat beberapa pesantren. Di antaranya di Pondok Pesantren Terpadu AL HASSAN Pondokgede, Pesantren  Bani Abdillah Ciwandan Cilegon, Pembina Pesantren Husnul Khotimah Kuningan Jawa Barat, Pembina Pesantren Daarul furqon Cirebon, dan Pembina Yayasan Himmatul Muslimin Sukabumi Jawa Barat

Satori menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda IAIN SGD  Cirebon, lalu Sarjana Lengkap di IAIN SGD Bandung. Kemudian di tahun 1987, Satori meneruskan pensisikan pascasarjana di Universitas Al Azhar Mesir, lalu gelar Doktornya dia dapat dari Universitas Al Minya Mesir. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI