Suara.com - Di mata dunia, citra Islam masih belum pulih meski ulama toleran menegaskan agama Allah itu cinta damai dan menentang aksi terorisme. Makanya, Islam phobia masih muncul di beberapa negara, terutama negara barat.
Sementara di Indonesia, Islam masih ‘tercoreng’ dengan aksi-aksi kelompok radikal yang berkumpul membentuk organisasi kemasyarakatan. Tak sedikit dari mereka menguasai masjid dan menyebarkan paham radikal lewat ceramahnya.
Tak heran, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah menyebut banyak masjid di Jakarta yang menyebarkan paham intoleran. Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar setuju dengan klaim BNPT.
Mantan Wakil Menteri Agama di bawah kepemimpinan Suryadharma Ali itu mengatakan Islam sesungguhnya mengajarkan toleransi terhadap semua hal. Dia menyebut, Islam itu moderat. Dia memaparkan 7 ciri alasan Islam sebagai agama moderat.
Dalam wawancara khusus dengan suara.com, Nasaruddin juga menyoroti soal masjid di Jakarta yang dinilai banyak menyebarkan paham radikal. Sebagai Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin punya solusi untuk menekan penyebaran radikalisme lewat masjid-masjid.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Nasaruddin di kediamannya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan pekan lalu:
Pada 22 Januari 2016 lalu Anda dilantik sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Anda pun menyampaikan 4 visi misi. Salah satunya, Masjid Istiqlal harus tetap menyimbolkan negara dengan ciri keislaman moderat, bercorak rahmatan lil alamin. Islam moderat seperti apa yang Anda maksud?
Semua negara mengklaim mempunyai Islam yang moderat, termasuk teroris juga mengklaim moderat. Tapi kreteria moderat ini harus jelas, tidak hanya orang dari sisi beragama. Itu kembali kepada bagaimana dia mengikuti ajaran nabi sesungguhnya. Banyak yang mengklaim dirinya moderat tapi tidak sesuai dengan ajaran nabi.
Bagaimana moderatnya Nabi? Pertama, mengenalkan Islam tapi tidak memaksakan Islam. Karena tidak ada paksaan dalam beragama. Manusia punya kapasitas untuk menyampaikan, mau percaya atau tidak itu urusan Tuhan. Dalam menyampaikan, moderasinya Islam itu berdakwah dengan penuh hikmat dan kearifan. Memberikan pasan-pesan dengan khasanah dan memberikan dialog yang santun. Jadi tidak ada tempat kekerasan dalam menyampaikan Islam.
Kedua, moderat itu mau mengkui perbedaan. Karena itu juga Tuhan mengingatkan kalau ia menghendaki maka akan dibuat 1 umat saja. Tapi nggak mungkin orang akan menjadi manusia seragam di muka bumi.
Ketiga, moderat juga bertoleransi terhadap perbedaan itu sendiri. Banyak orang yang mengaku bertoleransi, tetapi ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Islam moderat itu tidak mengenal diskriminasi, Allah mengatakan membunuh 1 orang sama dengan membunuh semua orang. Jadi istilah minoritas dan mayoritas tidak ada dalam Islam. Jadi jangan bangga menjadi mayoritas, banyak mayoritas dikalahkan dengan monoritas. Sebab yang paling mulia di sisi Tuhan itu yang paling bertakwa, acuannya kualitas bukan kuantitas.
Keempat, moderat itu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Allah memuliakan anak cucu Adam, bukan hanya memuliakan orang Islam. Jadi siapapun yang merasa anak cucu Adam, apapun negaranya, apapun etniknya, apapun agamanya, wajib hukumnya dimuliakan.
Kelima, Islam moderat dicirikan dengan pandangannya yang berseketaraan gender. Tidak membedakan antara lelaki dan perempuan. Keenam, memandang positif dan member tempat demokrasi. Islam sangat demokrasi, menyelesaikan masalah dengan demokrasi. Allah mencintai orang yang berdialog. Sebab Allah pun berdialog dengan manusia, malaikatnya, dan iblis.
Ketujuh, ciri masyarakat moderat itu menghargai sesama mahluk, seperti tumbuhan dan binatang. Manusia harus lebih menunjukan cinta ketimbang kebencian. Jangan atas nama Islam kita membakar dan merusak. Allah itu lebih menonjol dari sisi maha pengasih dibanding maha penyayang.
Ini yang saya maksudkan Istiqlal itu sebagai simbol Islam moderasi di Indonesia. Karena dunia luar mengenal Indonesia sangat-sangat moderat. Bahkan Hillary Clinton megatakan siapa yang ingin belajar soal demokrasi, kesetaraan gender, dan HAM datanglah ke Indonesia. Bukan untuk negara Islam saja, semua negara harus ke Indonesia. Saya kira bukan sembarangan orang seperti itu memuji.
Hal lain yang penting, Islam Indonesia menghargai pluraritas. Saya melihat Indonesia sangat mungkin menjadi negara plural, karena budaya Indonesia itu sebenarnya budaya pluralistik. Indonesia negara maritim dan mempunyai pulau-pulau. Lebih mudah negara pulau-pulau untuk berdemokrasi dibanding negara continental atau daratan.
Negara daratan mempunyai kasta yang bertingkat-tingkat. Seperti di daratan Arab Saudi ketika zaman Nabi Muhammad mempunyai 12 kasta. Karena raja-raja di sana mengatakan sejauh mata memandang daratan, itulah hak dia. Jika masyarakat matirim mengatakan setiap pulai itu hak publik, siapapun bisa parkir perahu di sana.
Jadi pantai itu milik bersama. Maka itu lah mungkin sebabnya tidak ada nabi turun di Indonesia. Karena orang Arab itu paling dahsyat kekafiran dan kemunafikannya, makanya nabi turun di sana. Kalau di Indonesia, cukup ustad saja.
Indonesia sering disorot soal pelanggaran HAM dan negara yang menganggap perempuan sebagai masyarakat kelas kedua. Ini berbanding terbalik soal ciri masyarakat moderat yang Anda jelaskan.
Pertama, pandagan patrialki di Indonesia tidak seekstrim pandangan di negara continental. Di sana justru ada tiga tingkatan. Pertama misoginism yang menganggap membenci perempuan yang turun ke bumi. Kedua, endosentrisme yang menganggap dunia harus serba lelaki.
Ketiga, patriarki yang membolehkan perempuan untuk maju, tapi harus ada batasan-batasan untuk si perempuan. Pembatasan itu bukan berarti diskriminatif bagi budaya Indonesia.
Masyarakat perempuan Indonesia itu menganggap lebih baik dirinya diperlakukan, dibanding negara-negara Islam memperlakukan perempuan. Justru yang paling pertama yang bersyukur dalam kehadiran Islam itu adalah perempuan. Maka itu patriarki di Indonesia itu bukan sesuatu yang dipaksakan, tapi lebih merupakan dipilih sendiri oleh masyarakat kita.
Perempuan Indonesia tidak merasa dianiaya karena perbedaan itu, bahkan enjoy. Kecuali perempuan menuntut kesetaraan haknya atau gender equality. Selain gender equality, ada gender equity yang memandang berbagi peran.
Sementara hak asasi manusia yang ada di Aceh, itu kan juga pilihan. Hak demokrasi orang untuk menentukan bentuknya kayak apa. Kalau ada hukuman cambuk di sana, jangan kita menghakimi itu adalah satu hal yang buruk.
Tanya saja sama orang Aceh, apakah setuju dengan hukuman cambuk. Mereka akan jawab “yes”, tapi kita di sini pasti “no”. Kalau pilihannya orang kayak gitu, apakah itu bertentangan dengan demokrasi. Jadi harus lihat dengan kacamata yang kompetibel.
Kami di Masjid Istiqlal mencoba untuk menterjemahkan kondisi objektif lokal apa yang disebut sebagai Islam nusantara, Islam moderat, Islam tawassuth, bagi saya Indonesia itu Islam yang paling kompatibel yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Jadi Islam di Indonesia, apa namanya?
Islam itu sudah moderat. Islam itu bukan hanya nilai, tapi ada juga norma. Jadi Islam nggak perlu pakai embel-embel lain.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mempunyai data, 60 persen lebih masjid di Jakarta menyebarkan paham radikal. Ini dilihat dalam khotbah yang cenderung menyebar kebencian. Bagaimana masukan Anda untuk menekan pengaruh radikalisme ini?
Saya sejak awal mendirikan BNPT, sejak awal menjadi kelompok ahli BNPT. Data-data itu juga saya mengoleksinya. Karena penelitian itu dilakukan oleh UIN syarif Hidayatullah tentang khotbah-khotbah masjid di Jakarta. Pandangan jemaah masjid di Jakarta memang seperti itu.
Harus diakui, kelompok yang paling rajin memelihara umat adalah kelompok garis keras. Contoh, 80 persen website Islam itu dikuasai oleh kelompok garis keras. Mereka rajin mengelola dan interaktif. Jika Anda bertanya sesuatu di sana, tidak sampai 5 menit akan dijawab.
Tidak seperti website yang dikelola organisasi Islam besar di Indonesia. Pertanyaan Anda dijawab bisa sampai 1 pekan. Website umat Islam itu kan hampir mati, tidak ada ulama yang tongkrongi website itu untuk menjawab pertanyaan umat.
Tapi stempel seperti itu tidak bisa dipakai untuk mengeneralisasi Indonesia. Kami juga punya penelitian tandingan yang klaim saya lebih objektif. Sebab hasil survei ini tergantung dilihat dari mana. Hasilnya bisa beragam, Indonesia bisa lebih sekuler atau juga lebih radikal.
Mungkin ada mempunyai data, sejak kapan masjid menjadi incaran kelompok radikal untuk merekrut massa?
Saya percaya dengan data itu (BNPT) karena survei itu dilakukan pihak akademisi di kampus. Profesor Nur Rahman di UIN Bandung juga menemukan hal yang sama. Ada 4 hasil penelitiannya. Dia meneliti soal pesantren tradisional di Jawa Barat yang berbasis NU, itu tinggi juga angka-angka (radikalisme). Di UIN Jakarta meneliti soal 7 kampus terbesar di Indonesia, dia juga menemukan bukan hanya fakultas umum yang cenderung radikal, bahkan fakultas agama juga begitu.
Tapi sekali lagi di atas segala-galanya dibandingkan dengan Malaysia, Bruney, dan Timur Tengah. Indonesia masih di atas garis moderat berdasarkan standar tadi. Jadi harus ada alat ukur untuk mengukur moderat.
Visi Anda masjid sebagai simbol toleransi antarumat beragama. Sebenarnya bagaimana seharusnya umat memperlakukan dan memanfaatkan masjid ini agar tak dirasuki ajaran radikal?
Saya memang mempunyai obsebsi sangat besar soal masjid Istiqlal. Sebab masjid itu berdiri di tengah Jakarta, jantungnya Indonesia, dibangun di atas lahan 11 hektar, masjid terbesar di Asia Tenggara, dan 3 besar di dunia. Masjid ini bisa bertahan sampai minimal 100 tahun, tingkat kerusakan tidak ada yang jatuh.
Jadi saya mengatakan, lebih baik masjid ini cepat rusak karena dipakai, daripada masih mengkilap tapi tidak pernah dipakai. Betapa banyak sudut-sudut masjid, tapi banyak dipakai saat lebaran dan puasa. Saya berobsesi hamparan halaman masjid Istiqlal akan penuh dengan kegiatan. Tiap tiang besar ada kyai memberikan ilmunya. Mulai dari belajar bahasa sampai budaya., bahkan sampai teknologi. Harus ada kegiatan selama 24 jam.
Seperti masjid nabi, bukan hanya tempat salat. Masjid itu dipakai tempat musyawarah, rumah sakit korban perang, penjara tawanan perang, latihan bela diri, rumah penginapan orang asing, tempat pertunjukan kesenian, mempertemukan orang kaya dan orang miskin dan juga mempertemukan pengangguran dan pemilik modal. Bahkan menara masjidnya digunakan untuk memantau masyarakat sekitar yang kelaparan dan yang berlebih untuk mereka saling bagi nantinya.
Nabi pernah membongkar masjid Dhirar yang megah. Tapi masjid itu menjadi masjid provokator dan mengadudomba. Jadi Si Munafik membangun masjid yang megah itu untuk memecah umat Islam. Nabi diperintahkan Tuhan untuk membongkar masjid itu.
Masjid nabi juga merupakan tempat pertemuan antar tokoh lintas agama. Masjid nabi didatangi oleh kelompok agama lain.
Sejak reformasi, kelompok-kelompok keagamaan di luar agama yang diakui Indonesia muncul terang-terangan. Sebut saja Ahmadiyah atau juga agama baru, Baha’i. Semua teologi, aliran, dan mazhab bebas untuk hidup. Bagaimana Anda melihat ini?
Kalau saya tidak mempersoalkan itu, dan itu bukan muncul. Tapi dimunculkan. Jadi ada kelompok-kelompok yang sengaja ingin mempertentangkan antar satu agama satu dengan lain. Saya di Istiqlal tidak ingin melayani hal-hal seperti itu.
Bagi saya Istiqlal itu masjid besar untuk semua umat Islam, mau Muhammadiyah, NU, dan sebagainya. Tidak boleh ada hak pengurus masjid Istiqlal melarang yang berKTP muslim untuk salat di situ.
Bahkan Ahmadiyah bisa salat di sana…
Kita tidak bisa memverifikasi yang masuk Ahmadiyah atau bukan. Bahkan Arab Saudi tidak bisa membatasi kaum lain naik haji. Nabi menyatakan, kita hanya menghukum apa saja yang tampak, urusan hati orang hanya Allah yang tahu.
Maka Nabi pernah marah terhadap orang yang menuding seseorang hanya pura-pura masuk Islam agar selamat. Jadi kita tidak punya hak untuk menyesatkan sebuah aliran seseorang, itu wilayah Tuhan. Jadi ambil titik temunya, jangan besarkan perbedaan.
Biografi singkat Nasaruddin Umar
Profesor Nasaruddin Umar merupakan salah satu pendiri Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dia lahir di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959. Jabatan terakhir di pemerintahan, Nasaruddin pernah menjadi Wakil Menteri Agama Republik Indonesia selama 4 tahun. Sekarang Nasaruddin adalah Imam Besar Masjid Istiqlal.
Nasaruddin termasuk ulama yang toleran terhadap perkembangan teologi dunia. Pemikirannya memberikan solusi Islam yang damai tanpa terorisme. Nasaruddin Umar menamatkan studi pascasarjana di IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mendapatkan gelar Magister (1992) serta doktoral (PhD) (1998). Selama studi kedoktorannya, dia sempat menjadi salah satu mahasiswa yang menjalani Program PhD di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994). Nasaruddin juga sebagai salah satu mahasiswa yang menjalani Program Ph.D di Universitas Leiden, Belanda (1994-1995).
Setelah mendapatkan gelar doktoral, ia pernah menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), sarjana tamu di Saos University of London (2001-2002), dan sarjana tamu di Georgetown University, Washington DC (2003-2004). Dia adalah penulis dari 12 buku yang diantaranya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Isinya yang menjabarkan hasil penelitian mengenai bias gender dalam Quran.