Nazaruddin Umar: Kisah Masjid Nabi dan 7 Ciri Islam Moderat

Senin, 20 Juni 2016 | 07:00 WIB
Nazaruddin Umar: Kisah Masjid Nabi dan 7 Ciri Islam Moderat
Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Jadi Islam di Indonesia, apa namanya?

Islam itu sudah moderat. Islam itu bukan hanya nilai, tapi ada juga norma. Jadi Islam nggak perlu pakai embel-embel lain.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mempunyai data, 60 persen lebih masjid di Jakarta menyebarkan paham radikal. Ini dilihat dalam khotbah yang cenderung menyebar kebencian. Bagaimana masukan Anda untuk menekan pengaruh radikalisme ini?

Saya sejak awal mendirikan BNPT, sejak awal menjadi kelompok ahli BNPT. Data-data itu juga saya mengoleksinya. Karena penelitian itu dilakukan oleh UIN syarif Hidayatullah tentang khotbah-khotbah masjid di Jakarta. Pandangan jemaah masjid di Jakarta memang seperti itu.

Harus diakui, kelompok yang paling rajin memelihara umat adalah kelompok garis keras. Contoh, 80 persen website Islam itu dikuasai oleh kelompok garis keras. Mereka rajin mengelola dan interaktif. Jika Anda bertanya sesuatu di sana, tidak sampai 5 menit akan dijawab.

Tidak seperti website yang dikelola organisasi Islam besar di Indonesia. Pertanyaan Anda dijawab bisa sampai 1 pekan. Website umat Islam itu kan hampir mati, tidak ada ulama yang tongkrongi website itu untuk menjawab pertanyaan umat.

Tapi stempel seperti itu tidak bisa dipakai untuk mengeneralisasi Indonesia. Kami juga punya penelitian tandingan yang klaim saya lebih objektif. Sebab hasil survei ini tergantung dilihat dari mana. Hasilnya bisa beragam, Indonesia bisa lebih sekuler atau juga lebih radikal.

Mungkin ada mempunyai data, sejak kapan masjid menjadi incaran kelompok radikal untuk merekrut massa?

Saya percaya dengan data itu (BNPT) karena survei itu dilakukan pihak akademisi di kampus. Profesor Nur Rahman di UIN Bandung juga menemukan hal yang sama. Ada 4 hasil penelitiannya. Dia meneliti soal pesantren tradisional di Jawa Barat yang berbasis NU, itu tinggi juga angka-angka (radikalisme). Di UIN Jakarta meneliti soal 7 kampus terbesar di Indonesia, dia juga menemukan bukan hanya fakultas umum yang cenderung radikal, bahkan fakultas agama juga begitu.

Tapi sekali lagi di atas segala-galanya dibandingkan dengan Malaysia, Bruney, dan Timur Tengah. Indonesia masih di atas garis moderat berdasarkan standar tadi. Jadi harus ada alat ukur untuk mengukur moderat.

Visi Anda masjid sebagai simbol toleransi antarumat beragama. Sebenarnya bagaimana seharusnya umat memperlakukan dan memanfaatkan masjid ini agar tak dirasuki ajaran radikal?

Saya memang mempunyai obsebsi sangat besar soal masjid Istiqlal. Sebab masjid itu berdiri di tengah Jakarta, jantungnya Indonesia, dibangun di atas lahan 11 hektar, masjid terbesar di Asia Tenggara, dan 3 besar di dunia. Masjid ini bisa bertahan sampai minimal 100 tahun, tingkat kerusakan tidak ada yang jatuh.

Jadi saya mengatakan, lebih baik masjid ini cepat rusak karena dipakai, daripada masih mengkilap tapi tidak pernah dipakai. Betapa banyak sudut-sudut masjid, tapi banyak dipakai saat lebaran dan puasa. Saya berobsesi hamparan halaman masjid Istiqlal akan penuh dengan kegiatan. Tiap tiang besar ada kyai memberikan ilmunya. Mulai dari belajar bahasa sampai budaya., bahkan sampai teknologi. Harus ada kegiatan selama 24 jam.

Seperti masjid nabi, bukan hanya tempat salat. Masjid itu dipakai tempat musyawarah, rumah sakit korban perang, penjara tawanan perang, latihan bela diri, rumah penginapan orang asing, tempat pertunjukan kesenian, mempertemukan orang kaya dan orang miskin dan juga mempertemukan pengangguran dan pemilik modal. Bahkan menara masjidnya digunakan untuk memantau masyarakat sekitar yang kelaparan dan yang berlebih untuk mereka saling bagi nantinya.

Nabi pernah membongkar masjid Dhirar yang megah. Tapi masjid itu menjadi masjid provokator dan mengadudomba. Jadi Si Munafik membangun masjid yang megah itu untuk memecah umat Islam. Nabi diperintahkan Tuhan untuk membongkar masjid itu.

Masjid nabi juga merupakan tempat pertemuan antar tokoh lintas agama. Masjid nabi didatangi oleh kelompok agama lain.

Sejak reformasi, kelompok-kelompok keagamaan di luar agama yang diakui Indonesia muncul terang-terangan. Sebut saja Ahmadiyah atau juga agama baru, Baha’i. Semua teologi, aliran, dan mazhab bebas untuk hidup. Bagaimana Anda melihat ini?

Kalau saya tidak mempersoalkan itu, dan itu bukan muncul. Tapi dimunculkan. Jadi ada kelompok-kelompok yang sengaja ingin mempertentangkan antar satu agama satu dengan lain. Saya di Istiqlal tidak ingin melayani hal-hal seperti itu.

Bagi saya Istiqlal itu masjid besar untuk semua umat Islam, mau Muhammadiyah, NU, dan sebagainya. Tidak boleh ada hak pengurus masjid Istiqlal melarang yang berKTP muslim untuk salat di situ.

Bahkan Ahmadiyah bisa salat di sana…

Kita tidak bisa memverifikasi yang masuk Ahmadiyah atau bukan. Bahkan Arab Saudi tidak bisa membatasi kaum lain naik haji. Nabi menyatakan, kita hanya menghukum apa saja yang tampak, urusan hati orang hanya Allah yang tahu.

Maka Nabi pernah marah terhadap orang yang menuding seseorang hanya pura-pura masuk Islam agar selamat. Jadi kita tidak punya hak untuk menyesatkan sebuah aliran seseorang, itu wilayah Tuhan. Jadi ambil titik temunya, jangan besarkan perbedaan.

Biografi singkat Nasaruddin Umar

Profesor Nasaruddin Umar merupakan salah satu pendiri Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dia lahir di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959. Jabatan terakhir di pemerintahan, Nasaruddin pernah menjadi Wakil Menteri Agama Republik Indonesia selama 4 tahun. Sekarang Nasaruddin adalah Imam Besar Masjid Istiqlal.

Nasaruddin termasuk ulama yang toleran terhadap perkembangan teologi dunia. Pemikirannya memberikan solusi Islam yang damai tanpa terorisme. Nasaruddin Umar menamatkan studi pascasarjana di IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mendapatkan gelar Magister (1992) serta doktoral (PhD) (1998). Selama studi kedoktorannya, dia sempat menjadi salah satu mahasiswa yang menjalani Program PhD di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994). Nasaruddin juga sebagai salah satu mahasiswa yang menjalani Program Ph.D di Universitas Leiden, Belanda (1994-1995).

Setelah mendapatkan gelar doktoral, ia pernah menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), sarjana tamu di Saos University of London (2001-2002), dan sarjana tamu di Georgetown University, Washington DC (2003-2004). Dia adalah penulis dari 12 buku yang diantaranya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Isinya yang menjabarkan hasil penelitian mengenai bias gender dalam Quran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI