Suara.com - Sejak April kemarin, media massa di Indonesia marak pemberitaan perkosaan sadis terhadap perempuan. Perkosaaan dilakukan oleh belasan orang terhadap perempuan belia.
Di antaranya adalah pemerkosaan yang menimpa Yuyun (YY), gadis 14 tahun di Bengkulu yang diperkosa oleh 14 lelaki. Sebagian dari lelaki itu kebanyakan masih berusia belia. Sementara di Klaten, Jawa Tengah ada LS, siswi Sekolah Dasar yang diperkosa oleh 4 lelaki belasan tahun. Terakhir, ada YL, perempuan berusia 12 tahun yang diperkosa oleh 4 lelaki berusia 20-an tahun di kuburan di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.
Itu semua sebagian kecil kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Tahun 2016, Komnas Perempuan mencatat ada 3.166 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dari jumlah itu, sebanyak 72 persen adalah kasus pemerkosaan, pencabulan sebanyak 18 persen, dan pelecehan seksual 5 persen. Sementara, dalam kurun 10 tahun, terdapat 93 ribu kasus kekerasan seksual.
Ketua Komnas Perempuan, Azriana menilai kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak lepas dari abainya negara. Sebab negara masih belum serius memperhatikan perlindungan terhadap perempuan. Banyak kebijakan negara yang bias gender.
“Budaya patriarki secara langsung mendukung aksi itu,” kata Azriana.
Azriana mencatat perlindungan perempuan dan perspektif gender di Indonesia sangat buruk. Perempuan masih dijadikan objek yang perlu diatur. Sementara perannya di ranah publik sangat minim. Di tambah kebudayaan di Indonesia turut menyuburkan aksi kekerasan terhadap perempuan.
Suara.com menemui Azriana di ruang kerjanya di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, pekan lalu. Azriana banyak membongkar praktik dan modus kekerasan yang menyerang perempuan Indonesia.
Apa saja itu? Simak kutipan wawancara suara.com dengan Azriana berikut ini:
Hampir 71 tahun Indonesia merdeka dan 17 tahun usia Komnas Perempuan. Tapi tiap memperingati Hari Kartini, suara untuk menuntut hak perempuan Indonesia masih nyaring. Secara umum, hak apa saja yang belum terpenuhi perempuan di Indonesia?
Kalau bicara soal hak perempuan, ada hak mereka sebagai warga negara yang dijamin dalam konstitusi. Lalu juga hak perempuan ini pemenuhannya sangat dipengaruhi oleh sistem sosial, politik dan budaya. Ada yang bilang, sampai saat ini penjajahan yang belum selesai di muka bumi adalah penjajahan hak-hak perempuan. Sementara perbudakan sudah selesai, tapi penjajahan terhadap perempuan belum selesai.
Mengapa hak perempuan belum sepenuhnya dipenuhi? Sampai sekarang masyarakat Indonesia masih kental dengan budaya patriaki. Budaya yang melihat perempuan itu sebagai kelas kedua. Sehingga dianggap perempuan itu tidak sepenting lelaki. Di banyak tempat perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang semestinya.
Kemudian peran gender yang dikonstruksikan oleh masyarakat memberikan tempat strategis untuk lelaki. Misalnya untuk mengambil keputusan, mengurusi publik dan menghasilkan uang. Konstruksi ini berpengaruh kuat dengan pemenuhan hak perempuan.
Meski pun Indonesia sudah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan sejak tahun 1984, tapi kan sampai sekarang dokumen itu belum menjadi kerangka dalam penyusunan kebijakan, program dan anggaran. Masih harus diperjuangkan.
Permasalahan dalam pemenuhan hak perempuan ini masih ada di semua level dari tingkat rumah tangga sampai ke negara. Justru kemudian situasi politik perempuan ini digunakan untuk berbagai kepentingan.
Misalnya kita lihat, isu perempuan bisa sangat laku dalam membangun pencitraan, untuk menggambarkan simbol, dan pengakuan identitas. Itu selalu dimainkan. Jika bicara soal kebijakan diskriminatif, di daerah yang mayoritas masyarakatnya ingin menonjolkan identitas agamanya biasanya yng diatur pertama kali perempuan. Soal pakaian, dan relasi. Sejauh mana perempuan diatur boleh menjalin relasi sosial dengan siapa? Di wilayah mana? Dan kepentingannya untuk apa? Itu contoh untuk membentuk simbol dan membangun pencitraan.
Sebutlah di Aceh ada peraturan jam malam dan pembatasan berbusana untuk perempuan. Seluruh kehidupan perempuan di atur di sana, itu bertentangan dengan kehidupan bernegara. Negara menjamin kebebasan berekspresi oleh konstitusi. Akan lebih rumit lagi perempuan yang berada di kelompok minoritas yang mendapatkan diskriminasi berlapis. Misalnya perempuan Ahmadiyah dan Syiah, mereka didiskriminasi di wilayahnya. Selain itu mereka mendapatkan diskriminasi dari kaum lelakinya. Dia mengalami diskriminasi secara struktural dan gender.
Budaya pola pikir seperti itu melahirkan budaya yang patriarki juga. Pengambil kebijakan di negara masih berpikir bias gender, sehingga kebijakan yang bias gender menjadi tidak bermanfaat. Misal Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ini UU yang paling monumental karena pertama kali negara mengakui kekerasan di dalam rumah.
Di dalam kamar adalah urusan negara, bukan pribadi. UU itu dibuat tahun 2004. UU ini mengakui ketimpangan relasi gender sebagai penyebab kekerasan terhadap perempuan.
Dalam pelaksaannya ada kecenderungan istri dilaporkan sebagai pelaku kekerasan terhadap KDRT. Apakah KDRT terhadap suami ataukah penelantaran anak. Aparat penegak hukum Indonesia yang masih bias gender memperlakukan sama dengan laki yang dilaporkan istrinya karena KDRT.
Kalau polisi yang bagus memahami gender, dia bisa melihat alasan si istri memukul suaminya. Dia akan melihat perempuan menjadi korban. Sebab dalam masyarakat yang patriarki, perempuan ada di posisi lebih rendah dari laki-laki. Sehingga tidak ada kekuasaan perempuan tiba-tiba pukul suami. Ada istri yang membunuh suaminya karena suaminya selingkuh.
Rata-rata perempuan akan melaporkan tindakan kekerasan jika sudah terjadi lebih dari sekali. Itu hasil survei dan cacatan tahunan Komnas Perempuan. Kita banyak cerita bagaimana siklus kekerasan dalam rumah tangga. Ada yang berakhir dengan kematian dan sebab tidak pernah terungkap.
Sejauhmana kemungkinan konstruksi “perempuan di bawah lelaki” itu bisa diubah?
Sangat sulit, tapi bisa. Karena konstruksi patriaki ini terbentuk dengan diperkuat doktrin agama. Kadang diperkuat dengan kebijakan negara, misal dalam Undang-Undang Perkawinan. Di UU itu dijelaskan peran suami sebagai kepala rumah tangga dan perempuan adalah ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan sebagainya. Artinya negara tidak mengakui adanya istri sebagai kepala rumah tangga. Peraturan itu akan mempengaruhi peraturan lain yang terus menempatkan istri di bawah. Misal aturan upah, jaminan sosial, atau juga akses kredit.
Apa yang sudah terpenuhi dari hak-hak perempuan di Indonesia?
Yang paling menonjol dalam berpolitik. Posisi pengambil keputusan sudah banyak ditempati oleh perempuan. Komitmen Pemerintahan Joko Widodo untuk hak perempuan sudah cukup baik. Banyak menteri-menteri perempuan. Di kabinet lalu juga ada menteri perempuan, tapi di posisi Menteri Pemberdayaan Perempuan atau juga kesehatan. Itu memang jatahnya perempuan.
Namun memang masih punya masalah di sana-sini. Di antara terobosan pemenuhan HAM terhadap perempuan masih minim. Kita belum melihat terobosan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, lalu dari belum ada terobosan dari Menteri Kesehatan. Bahkan pernyataan dari Menteri Sosial justru sering mendeskreditkan perempuan.
Belum ada terobosan revolusi mental di bawah Kementerian Koordinantor Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Belum jelas itu mau di bawa ke mana revolusi mentalnya. Isu perempuan masih dianggap isu kelas dua.
Lalu kebijakan pro gender apa yang ingin Anda lihat dari pemerintah dalam waktu dekat?
Kebijakan pembangunan di pemerintah harus bisa memastikan tidak ada hak perempuan yang dilanggar di dalamnya. Misalnya kejadian 9 ibu-ibu dari Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah yang menyemen kakinya di depan Istana Merdeka. Mereka menolak pembangunan pabrik semen.
Kalau bicara pengelolaan sumber daya alam, perempuan mejadi pihak yang paling lama mengakses alam. Gara-gara pabrik semen, mata air di Pegunungan Kendeng mulai terganggu. Mereka tahu, kalau air tidak ada perempuan paling kesulitan. Perempuan harus memikirkan ketersediaan air untuk anak-anaknya. Kalau tidak ada air, perempuan yang paling kesulitan.
Jadi pemerintah harus membuat kebijakan yang berspektif gender.