Suara.com - Komisi I DPR yang membidangi komunikasi dan informasi tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Perjalanan revisi UU ini sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di sisi lain, sebanyak 10 stasiun TV swasta sudah habis masa izin siarnya tahun 2016 ini. Mereka adalah RCTI, SCTV, Indosiar, TV One, ANTV, Global TV, Metro TV, MNC TV, Trans TV dan Trans 7. Di tambah, tahun ini tengah dilakukan pemilihan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Pembahasan revisi UU penyiaran dinilai bermasalah dan sengaja diulur bersamaan dengan pengajuan perpanjangan izin siar televisi swasta dan pemilihan komisioner KPI. Pakar Komunikasi dan Media, Ade Armando mencurigai DPR akan melahirkan UU penyiaran yang pro dengan pemodal televisi. Jika itu terjadi, maka selama 10 tahun isi siaran televisi Indonesia akan dikuasai oleh konglomerat.
Belajar dari pemilihan umum 2014, televisi dikuasai oleh politikus yang ingin merebut kekuasaan. Televisi swasta di Indonesia pun banyak dikritik menyajikan siaran tidak mendidik melalui sinetron sampai reality show.
Menurut mantan komisioner KPI ‘generasi pertama’ tahun 2004-2007 itu proses penyusunan revisi UU penyiaran, pengajuan izin siar 10 TV swasta dan pemilihan anggota KPI perlu dikawal ketat. Ade mencium banyak peraturan 'baik' yang diubah dalam UU pernyiaran tahun 2002.
"Tapi saat ini draf undang-undang yang itu ditulis baru itu justru menakutkan," kata inisiator Komisi Nasional Reformasi Penyiaran itu.
Kepada suara.com, pengajar di Universitas Indonesia itu memaparkan hal-hal menakutkan di draf revisi UU penyiaran. Termasuk, Ade membongkar adanya komisioner KPI titipan dari stasiun TV yang menyebabkan KPI tidak independen dan memihak ke stasiun TV.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Ade Armando di kedai kopi di kawasan Senayan, Jakarta Selatan pekan lalu.
Revisi UU Penyiaran tengah dibahan oleh DPR. Analisa Anda, apa saja yang menjadi masalah dalam perubahan itu?
Jadi istilah yang mereka gunakan bukan lagi revisi. Karena yang terjadi saat ini semacam perubahan undang-undang atau perombakan total. Ini sudah berlangsung sejak 2009-2010. Di DPR yang lalu pun sudah sampai tahap bentuk draf undang-undang. Sebetulnya sudah hampir jadi, tapi masa jabatan DPR sudah hampir berakhir, maka pembahasan dihentikan. Lalu saat ini ditulis ulang. Tapi masalahnya, yang saat ini dirombak lagi dari versi DPR yang lama.
Mengapa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini perlu ditulis ulang? Sebenarnya sejak 2002, undang-undang ini tidak bisa dijalankan secara konsisten dan efektif. Apa yang tertulis di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak kunjung diterapkan. Kalau pandangan saya, kegagalan untuk menerapkan undang-undang tersebut karena Kementerian Komunikasi dan Informatika zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mau menjalankannya.
Mereka mengeluarkan rangkaian peraturan-peraturan yang bertentangan dan bukan tindak lanjut dari isi undang-undang. Contohnya soal kewajiban sistem siaran berjaringan yang sebetulnya ada di undang-undang itu. Di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bunyi pasalnya sangat ringkas. Sehingga butuh peraturan turunan dari pemerintah dan menteri untuk menjadikan paraturan teknis. Masalahnya, Kominfo tidak melakukannya atau juga dibuat dengan cara yang rumit dan tidak bisa dijalankan. Banyak pasal-pasal serupa.
Mengapa itu dilakukan oleh pemerintah? Saya duga karena keberatan dari industri televisi. Jadi apa yang terjadi di zaman Menteri Kominfo Sofyan Djalil, lalu dilajutkan oleh Muhammad Nuh dan Tifatul Sembiring, itu menurut saya menunjukan jika pemerintah tuntuk pada kekuatan pemodal televisi.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran itu memang semangatnya demokratisasi. Jumlah stasiun televisi yang akan dimiliki oleh pemodal dibatasi. Tapi dibatasi seperti apa? Tidak ada penjelasannya di undang-undang.
Makanya dalam beberapa tahun terakhir ini ada suara jika UU itu harus ditulis ulang, karena yang ada di undang-undang tidak bisa dijalankan. Kalau ditulis ulang, mestinya semangat demokratisasinya dipertahankan, malah disempurnakan. Itu sebenarnya sudah tercantum di draf undang-undang versi DPR lama. Isinya sudah cukup baik.
Tapi saat ini draf undang-undang yang itu ditulis baru itu justru menakutkan. Sebab ada banyak pasal-pasal bagus di undang-undang yang lama jadi hilang. Justru isinya saat ini pro pemodal. Sehingga ini butuh direspon. Makanya saya dan kawan-kawan membentuk Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran yang terdiri dari LSM-LSM dan akademisi kampus.
Selain itu yang jadi menarik, draf undang-undang itu berubah sama sekali. Perubahan ini lepas dari perhatian publik. Padahal dulu di era DPR sebelumnya, DPR membuka draf undang-undangnya. Sehingga masyarakat bisa memberikan masukan. Saya salah satu yang memberikan masukan itu.
Selain itu pembahasan di DPR bisa disaksikan oleh wartawan dan masyarakat. Naskahnya mudah diakses dan menyebar. Pembahasan saat ini dilakukan justru terbalik, isi naskah pro pemodal, masyarakat tidak dilibatkan, dan naskahnya juga sulit diakses.
Makanya kita bertanya-tanya, sebetulnya yang nge-drafting ini siapa sih? Karena buruk sekali. Sebagai contoh soal kepemilikan. Tahun 2002, eranya belum konglomerasi media. Saat itu yang sudah kelihatan yang ingin membentuk konglomerasi adalah MNC Grup. Saat itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatakan pemusatan kepemilikan dibatasi. Pasal ini, saat itu hilang, sehingga tidak ada pelarangan pembatasan jumlah stasiun TV yang dimiliki. Ini mengherankan.
Siapa yang menyebabkan pasal krusial itu hilang?
Kalau siapa, saya hanya bisa menduga-duga. Melihat kontennya cenderung mendukung kepentingan pemodal. Siapa? Saya duga ini hasil lob-lobi dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Karena mereka pihak yang paling berkepentingan, menekan dan mempengaruhi DPR. Sebab di DPR periode lalu ATVSI banyak hadir dan memberikan masukan di pembahasan UU itu.
Apa lagi yang mengindikasikan revisi Undang-Undang Penyiaran ini pro pemodal?
Sistem siaran jaringan yang mengharuskan stasiun televisi menyiarkan siarannya melalui televisi lokal. Sehingga ada konten lokal dan iklan yang diberikan. Televisi tidak pernah ingin melakukan itu. Padahal sistem ini berlaku di seluruh dunia. Sebab bagi stasiun TV, itu sangat efisien, karena murah dan uang semuanya lari ke Jakarta. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, itu nggak boleh. Kalau memang UU ini mau diubah, arahya harus dipertegas kewajiban membuat jaringan. Jelaskan juga teknisnya.
Tapi dalam draf undang-undang yang terbaru ini, aturan kewajiban televisi berjaringan hilang sama sekali. Begitu juga pembatasan kepemilikan stasiun TV juga hilang. Kemudian soal iklan, di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran jumlah iklan sebanyak 20 persen. Saat ini 40 persen. Selain itu ada aturan yang mengharuskan isi siaran harus disensor, termasuk siaran berita. Di undang-undang lama, yang mengharuskan disensor adalag film oleh LSF.
Pelaksaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak jalan. Siapa yang salah, KPI atau pemerintah?
Ada masalah dengan KPI. Tahun 2004 ATVSI mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. Pada dasarnya jundical review itu ditolak oleh MK. Tapi ada satu pasal yang disetujui, yaitu di peraturan-peraturan mengenai pasal-pasal dalam undang-undang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mengeluarkan peraturan adalah KPI bersama pemerintah.
Tapi oleh MK disebutkan hanya pemerintah. Dugaan saya ini karena ada permainan Jimly Assidiqie (Ketua MK saat itu) yang saat itu, saya lupa, apakah masih mempunyai saham di Global TV atau tidak. Atau dia masih mempunyai kedekatan dengan pemilik stasiun televisi. Sehingga hasilnya dikatakan peraturan dibuat oleh pemerintah.
Pada saat itu lah titik awal KPI tidak punya lagi ‘gigi’ untuk mengatur dunia peyiaran. Tapi KPI mempunyai kewenangan mengatur isi siaran. Makanya KPI selama ini lebih condong mengurusi isi siaran. Jadi kalau UU ini tidak jalan, yang disalahkan bukan KPI-nya. Tapi pemerintah.
Yang menarik, pemerintahnya sendiri sudah berubah. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara sendiri sebenarnya relatif netral.
Menjelang digitalisasi, kekuasaan stasiun televisi yang begitu besar masih terjadi. Bagaimana pengaruhnya ke televisi lokal? Terutama soal pengelolaan multiplexing penyiaran digital yang masih diserahkan pada pihak swasta.
Soal digitalisasi juga tidak jalan. Tapi memang agak rumit bicara ini. Sebab migrasi dari analog ke digital mempunyai implikasi sangat luas. Salah satu yang harus diwaspadai, jangan sampai perlihan itu melanggengkan dominasi pengusaha besar.
Seharusnya justru karena sekarang frekwensi siaran semakin ringkas dan efisien. Maka seharusnya efisiensi itu merujuk kepada kesempatan yang lebih besar untuk TV lokal dan TV kecil. Tapi dalam draf revisi undang-undang ini mengatakan migrasi digital ini pengelolaannya diserahkan ke swasta. Lebih baik serahkan pengelolaannya ke pemerintah.
Negara mana yang undang-undang penyiarannya bagus dan bisa ideal diaplikasikan di Indonesia?
Kalau negara yang besar dan masyarakatnya heterogen, Brazil. Sebab Brazil menerapkan digital deviden. Yaitu hasil efisiensi frekwensi itu diserahkan ke masyarakat, melalui negara. Frekwensi TV mereka tidak banyak tambah, justru dikecilkan karena menggunakan digital. Di draf revisi undang-undang ini tidak ada, malah infrastruktur diserahkan ke swasta.
Lama sewa frekwensi oleh televisi sejauh ini selama 10 tahun. Apakah ini harus jangka waktunya?
Menurut saya logis. Karena sewa frekwensi mahal sekali.
Rating, sudah lama dibicarakan dan menjadi momok karena kualitas program TV di Indonesia buruk. Ada masukan, Indonesia perlu membuat lembaga ratting negara agar bisa mengendalikan program TV. Sebab rating TV saat ini dikuasi oleh AC Nielsen. Bagaimana masukan Anda?
Saya merasa Nielsen tidak perlu dipersalahkan. Bahwa negara perlu terlibat lebih jauh, mungkin iya. Apa sih yang diberatkan dari Nielsen? Mungkin tidak transpran dan perlu diaudit. Mungkin negara perlu mengaudit itu. Tapi untuk mendorong munculnya pemain baru (lembaga rating) di Indonesia, berat. Kecuali kalau TV-nya berubah. Contohnya, kalau sistem penyiaran menjadi TV jaringan, maka pasar iklan memerlukan data tersendiri. Misal data Semarang, Makssar, bahkan Papua. Jadi untuk menjadi data kota. Rating ini kan soal iklan yang dibutuhkan para pengiklan.
Nielsen hanya berfungsi sebagai peneliti yang menyajikan angka.
Kadang acara yang tidak mendidik mempunyai rating sangat tinggi…
Saya tidak curiga dengan Nielsen datanya salah. Cuma kalau curiga, diaudit saja. Misal ‘Tukang Bubur Naik Haji’ katanya ratingnya tinggi. Lalu Anda ragu, buktikan saja dengan sederhana. Tanya ke tetangga Anda, nonton nggak mereka. Jadi Nielsen nggak bisa disalahkan, mereka hanya memberikan informasi kalau program yang banyak penontonnya itu.
Nielson ini nggak mungkin lah main-main. Karena dia perusahaan internasional. Kalau terbukti bohong, maka mempertaruhkan kredibilitas mereka di dunia. Nielson itu kerjanya jual data.
Bagaimana dengan usulan pembuatan lembaga pengawas rating?
Kalau itu lebih mungkin.
Siapa yang menjalankan?
Negara, karena harus independen. Audit riset ini bukan hanya pada rating, tapi juga polling.
Peran KPI menjadi sorotan karena TV yang melanggar isi siaran, hukumannya tidak terasa. Ada juga yang bilang, wewenang KPI ini yang dipotong. Seperti apa idealnya wewenang KPI?
Diperkuat atau hilangkan saja KPI sama sekali. Diperkuat, artinya kembali ke tujuan semula. KPI bukan sebagai pengamat isi siaran, tapi juga turut mengatur berbagai urusan penyiaran. Di banyak negara, Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah tidak ada, semua siaran diserahkan ke KPI. Seperti KPU urus pemilu, dia independen.
KPI menegur, tapi yang bisa kasih sanksi maksimal adalah pemerintah. Sampai cabut izin siaran dan kasih denda adalah pemerintah.
Di sisi lain, KPI saat ini banyak diisi oleh ‘petualang’, pihak bayaran industri televisi, menjadi semakin lemah. Sebagian anggota KPI itu jadi tukang ‘palakin’ stasun TV, minta duit dan segala macam. Ini seperti lingkaran setan. Karena itu pilihannya KPI ini dibongkar sekalian, dibuat format baru. Orang yang terpilih di sana orang yang bagus dan mempunyai pengetahuan penyiaran, punya integritas, dan etika.
Banyak yang belum tahu dapur pemilihan komisioner KPI. Tudingan yang muncul jika pemilihan itu syarat dengan kepentingan koorporat. Misal ‘menanam’ 1 orang dari salah satu stasiun TV menjadi komisioner. Mungkin Anda mempunyai cerita lain di balik pemilihan komisioner KPI itu?
Modus seperti ini macam-macam. Ketika zaman saya. Saya kan anggota Komisi Penyiaran Indonesia pertama (2004-2007), menjelang KPI 2 saya mau maju lagi tahun 2007. Saya ditelepon salah satu pemilik stasiun TV untuk minta bertemu, tapi bertemunya berdua. Saya bilang nggak bisa, karena saya punya etik. Lalu dia meminta berkali-kali, saya tetap menolak.
Seseorang yang juga ditelepon salah satu pemilik TV itu ngobrol sama saya. Saya mengkritik dia terlalu dekat dengan stasiun TV. Kata dia, tapi itu lah yang membuat saya terpilih lagi, dan Anda tidak. Rupanya itu benar, saya tidak terpilih lagi.
Jadi polanya, pemilik stasiun TV akan mempengaruhi anggota DPR agar memilih orang-orang yang sejalan dengan kepentingan pemodal. Kedua, dia mengirim orang-orangnya untuk mengikuti pemilihan anggota KPI. Lagi-lagi DPR diminta meloloskan mereka. Ketiga, pemilik stasiun TV mempengaruhi orang-orang yang sudah berada di dalam yang sebelumnya bukan pihaknya. Nanti dijanjikan kalau sudah selesai menjadi anggota KPI, akan dimasukan ke perusahaan stasiun TV itu untuk bekerja. Pola itu kelihatan, banyak orang KPI yang sudah lepas jabatan akhirnya bekerja untuk TV.
Dari kalangan mana stasiun TV itu menunjung orang untuk menjadi ‘wakilnya’ di KPI?
Bisa siapapun. Bisa dari aktivis LSM yang sebelumnya keras, menjadi lunak. Bisa juga orang kiriman partai. Bisa juga orang kampus dan ilmuan.
Berapa nominal uang yang diberikan pemilik stasiun TV untuk orang yang ditanam di KPI?
Macam-macam. Mereka pasti mengeluarkan uang tertentu untuk anggota DPR yang memilih, berapa payroll-nya, kita tidak tahu. Ada anggota KPI yang anaknya dibiayai oleh stasiun TV. Tapi apakah ada buktinya yang bisa diserahkan ke KPK? Kan hal begitu nggak pakai kwitansi. PPATK bisa telusuri itu seharusnya.
Biografi singkat Ade Armando
Dr. Ade Armando, MSc lahir di Jakarta, 24 September 1961. Dia adalah pakar komunikasi. Ade mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) dan Universitas Pelita Harapan. Ade pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia periode 2004-2007.
Ade meraih gelar doktoralnya dari Universitas Indonesia dalam bidang Komunikasi Massa dan gelar masternya dari Florida State University di Talahasse dalam bidang Kependudukan, sementara gelar doktornya diraih di Universitas Indonesia. Ade dikenal sebagai pengamat, peneliti sekaligus aktivis dalam dunia komunikasi Indonesia. Minat penelitiannya mencakup kebijakan penyiaran nasional dan dampaknya terhadap pengua-saan ruang-ruang frekuensi siaran daerah oleh kekuatan beberapa media nasional yang berpusat di Jakarta.
Ia pernah menjadi jurnalis di sejumlah media massa, manager riset media di Taylor Nelson Sofres, terlibat dalam penyusunan se-jumlah UU terkait media massa serta menulis di jurnal nasional dan internasional. Dia juga mengajar di Departemen Komunikasi Universitas Indonesia.