Ade Armando: Sisi Mengerikan Revisi Undang-Undang Penyiaran

Senin, 09 Mei 2016 | 07:00 WIB
Ade Armando: Sisi Mengerikan Revisi Undang-Undang Penyiaran
Pakar Media dan Komunikasi, Ade Armando. (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Menjelang digitalisasi, kekuasaan stasiun televisi yang begitu besar masih terjadi. Bagaimana pengaruhnya ke televisi lokal? Terutama soal pengelolaan multiplexing penyiaran digital yang masih diserahkan pada pihak swasta.

Soal digitalisasi juga tidak jalan. Tapi memang agak rumit bicara ini. Sebab migrasi dari analog ke digital mempunyai implikasi sangat luas. Salah satu yang harus diwaspadai, jangan sampai perlihan itu melanggengkan dominasi pengusaha besar.

Seharusnya justru karena sekarang frekwensi siaran semakin ringkas dan efisien. Maka seharusnya efisiensi itu merujuk kepada kesempatan yang lebih besar untuk TV lokal dan TV kecil. Tapi dalam draf revisi undang-undang ini mengatakan migrasi digital ini pengelolaannya diserahkan ke swasta. Lebih baik serahkan pengelolaannya ke pemerintah.

Negara mana yang undang-undang penyiarannya bagus dan bisa ideal diaplikasikan di Indonesia?

Kalau negara yang besar dan masyarakatnya heterogen, Brazil. Sebab Brazil menerapkan digital deviden. Yaitu hasil efisiensi frekwensi itu diserahkan ke masyarakat, melalui negara. Frekwensi TV mereka tidak banyak tambah, justru dikecilkan karena menggunakan digital. Di draf revisi undang-undang ini tidak ada, malah infrastruktur diserahkan ke swasta.

Lama sewa frekwensi oleh televisi sejauh ini selama 10 tahun. Apakah ini harus jangka waktunya?

Menurut saya logis. Karena sewa frekwensi mahal sekali.

Rating, sudah lama dibicarakan dan menjadi momok karena kualitas program TV di Indonesia buruk. Ada masukan, Indonesia perlu membuat lembaga ratting negara agar bisa mengendalikan program TV. Sebab rating TV saat ini dikuasi oleh AC Nielsen. Bagaimana masukan Anda?

Saya merasa Nielsen tidak perlu dipersalahkan. Bahwa negara perlu terlibat lebih jauh, mungkin iya. Apa sih yang diberatkan dari Nielsen? Mungkin tidak transpran dan perlu diaudit. Mungkin negara perlu mengaudit itu. Tapi untuk mendorong munculnya pemain baru (lembaga rating) di Indonesia, berat. Kecuali kalau TV-nya berubah. Contohnya, kalau sistem penyiaran menjadi TV jaringan, maka pasar iklan memerlukan data tersendiri. Misal data Semarang, Makssar, bahkan Papua. Jadi untuk menjadi data kota. Rating ini kan soal iklan yang dibutuhkan para pengiklan.

Nielsen hanya berfungsi sebagai peneliti yang menyajikan angka.

Kadang acara yang tidak mendidik mempunyai rating sangat tinggi…

Saya tidak curiga dengan Nielsen datanya salah. Cuma kalau curiga, diaudit saja. Misal ‘Tukang Bubur Naik Haji’ katanya ratingnya tinggi. Lalu Anda ragu, buktikan saja dengan sederhana. Tanya ke tetangga Anda, nonton nggak mereka. Jadi Nielsen nggak bisa disalahkan, mereka hanya memberikan informasi kalau program yang banyak penontonnya itu.

Nielson ini nggak mungkin lah main-main. Karena dia perusahaan internasional. Kalau terbukti bohong, maka mempertaruhkan kredibilitas mereka di dunia. Nielson itu kerjanya jual data.

Bagaimana dengan usulan pembuatan lembaga pengawas rating?

Kalau itu lebih mungkin.

Siapa yang menjalankan?

Negara, karena harus independen. Audit riset ini bukan hanya pada rating, tapi juga polling.

Peran KPI menjadi sorotan karena TV yang melanggar isi siaran, hukumannya tidak terasa. Ada juga yang bilang, wewenang KPI ini yang dipotong. Seperti apa idealnya wewenang KPI?

Diperkuat atau hilangkan saja KPI sama sekali. Diperkuat, artinya kembali ke tujuan semula. KPI bukan sebagai pengamat isi siaran, tapi juga turut mengatur berbagai urusan penyiaran. Di banyak negara, Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah tidak ada, semua siaran diserahkan ke KPI. Seperti KPU urus pemilu, dia independen.

KPI menegur, tapi yang bisa kasih sanksi maksimal adalah pemerintah. Sampai cabut izin siaran dan kasih denda adalah pemerintah.

Di sisi lain, KPI saat ini banyak diisi oleh ‘petualang’, pihak bayaran industri televisi, menjadi semakin lemah. Sebagian anggota KPI itu jadi tukang ‘palakin’ stasun TV, minta duit dan segala macam. Ini seperti lingkaran setan. Karena itu pilihannya KPI ini dibongkar sekalian, dibuat format baru. Orang yang terpilih di sana orang yang bagus dan mempunyai pengetahuan penyiaran, punya integritas, dan etika.

Banyak yang belum tahu dapur pemilihan komisioner KPI. Tudingan yang muncul jika pemilihan itu syarat dengan kepentingan koorporat. Misal ‘menanam’ 1 orang dari salah satu stasiun TV menjadi komisioner. Mungkin Anda mempunyai cerita lain di balik pemilihan komisioner KPI itu?

Modus seperti ini macam-macam. Ketika zaman saya. Saya kan anggota Komisi Penyiaran Indonesia pertama (2004-2007), menjelang KPI 2 saya mau maju lagi tahun 2007. Saya ditelepon salah satu pemilik stasiun TV untuk minta bertemu, tapi bertemunya berdua. Saya bilang nggak bisa, karena saya punya etik. Lalu dia meminta berkali-kali, saya tetap menolak.

Seseorang yang juga ditelepon salah satu pemilik TV itu ngobrol sama saya. Saya mengkritik dia terlalu dekat dengan stasiun TV. Kata dia, tapi itu lah yang membuat saya terpilih lagi, dan Anda tidak. Rupanya itu benar, saya tidak terpilih lagi.

Jadi polanya, pemilik stasiun TV akan mempengaruhi anggota DPR agar memilih orang-orang yang sejalan dengan kepentingan pemodal. Kedua, dia mengirim orang-orangnya untuk mengikuti pemilihan anggota KPI. Lagi-lagi DPR diminta meloloskan mereka. Ketiga, pemilik stasiun TV mempengaruhi orang-orang yang sudah berada di dalam yang sebelumnya bukan pihaknya. Nanti dijanjikan kalau sudah selesai menjadi anggota KPI, akan dimasukan ke perusahaan stasiun TV itu untuk bekerja. Pola itu kelihatan, banyak orang KPI yang sudah lepas jabatan akhirnya bekerja untuk TV.

Dari kalangan mana stasiun TV itu menunjung orang untuk menjadi ‘wakilnya’ di KPI?

Bisa siapapun. Bisa dari aktivis LSM yang sebelumnya keras, menjadi lunak. Bisa juga orang kiriman partai. Bisa juga orang kampus dan ilmuan.

Berapa nominal uang yang diberikan pemilik stasiun TV untuk orang yang ditanam di KPI?

Macam-macam. Mereka pasti mengeluarkan uang tertentu untuk anggota DPR yang memilih, berapa payroll-nya, kita tidak tahu. Ada anggota KPI yang anaknya dibiayai oleh stasiun TV. Tapi apakah ada buktinya yang bisa diserahkan ke KPK? Kan hal begitu nggak pakai kwitansi. PPATK bisa telusuri itu seharusnya.

Biografi singkat Ade Armando

Dr. Ade Armando, MSc lahir di Jakarta, 24 September 1961. Dia adalah pakar komunikasi. Ade mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) dan Universitas Pelita Harapan. Ade pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia periode 2004-2007.

Ade meraih gelar doktoralnya dari Universitas Indonesia dalam bidang Komunikasi Massa dan gelar masternya dari Florida State University di Talahasse dalam bidang Kependudukan, sementara gelar doktornya diraih di Universitas Indonesia. Ade dikenal sebagai pengamat, peneliti sekaligus aktivis dalam dunia komunikasi Indonesia. Minat penelitiannya mencakup kebijakan penyiaran nasional dan dampaknya terhadap pengua-saan ruang-ruang frekuensi siaran daerah oleh kekuatan beberapa media nasional yang berpusat di Jakarta.

Ia pernah menjadi jurnalis di sejumlah media massa, manager riset media di Taylor Nelson Sofres, terlibat dalam penyusunan se-jumlah UU terkait media massa serta menulis di jurnal nasional dan internasional. Dia juga mengajar di Departemen Komunikasi Universitas Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI