Ade Armando: Sisi Mengerikan Revisi Undang-Undang Penyiaran

Senin, 09 Mei 2016 | 07:00 WIB
Ade Armando: Sisi Mengerikan Revisi Undang-Undang Penyiaran
Pakar Media dan Komunikasi, Ade Armando. (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi I DPR yang membidangi komunikasi dan informasi tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Perjalanan revisi UU ini sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di sisi lain, sebanyak 10 stasiun TV swasta sudah habis masa izin siarnya tahun 2016 ini. Mereka adalah RCTI, SCTV, Indosiar, TV One, ANTV, Global TV, Metro TV, MNC TV, Trans TV dan Trans 7. Di tambah, tahun ini tengah dilakukan pemilihan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pembahasan revisi UU penyiaran dinilai bermasalah dan sengaja diulur bersamaan dengan pengajuan perpanjangan izin siar televisi swasta dan pemilihan komisioner KPI. Pakar Komunikasi dan Media, Ade Armando mencurigai DPR akan melahirkan UU penyiaran yang pro dengan pemodal televisi. Jika itu terjadi, maka selama 10 tahun isi siaran televisi Indonesia akan dikuasai oleh konglomerat.

Belajar dari pemilihan umum 2014, televisi dikuasai oleh politikus yang ingin merebut kekuasaan. Televisi swasta di Indonesia pun banyak dikritik menyajikan siaran tidak mendidik melalui sinetron sampai reality show.

Menurut mantan komisioner KPI ‘generasi pertama’ tahun 2004-2007 itu proses penyusunan revisi UU penyiaran, pengajuan izin siar 10 TV swasta dan pemilihan anggota KPI perlu dikawal ketat. Ade mencium banyak peraturan 'baik' yang diubah dalam UU pernyiaran tahun 2002.

"Tapi saat ini draf undang-undang yang itu ditulis baru itu justru menakutkan," kata inisiator Komisi Nasional Reformasi Penyiaran itu.

Kepada suara.com, pengajar di Universitas Indonesia itu memaparkan hal-hal menakutkan di draf revisi UU penyiaran. Termasuk, Ade membongkar adanya komisioner KPI titipan dari stasiun TV yang menyebabkan KPI tidak independen dan memihak ke stasiun TV.

Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Ade Armando di kedai kopi di kawasan Senayan, Jakarta Selatan pekan lalu.

Revisi UU Penyiaran tengah dibahan oleh DPR. Analisa Anda, apa saja yang menjadi masalah dalam perubahan itu?

Jadi istilah yang mereka gunakan bukan lagi revisi. Karena yang terjadi saat ini semacam perubahan undang-undang atau perombakan total. Ini sudah berlangsung sejak 2009-2010. Di DPR yang lalu pun sudah sampai tahap bentuk draf undang-undang. Sebetulnya sudah hampir jadi, tapi masa jabatan DPR sudah hampir berakhir, maka pembahasan dihentikan. Lalu saat ini ditulis ulang. Tapi masalahnya, yang saat ini dirombak lagi dari versi DPR yang lama.

Mengapa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini perlu ditulis ulang? Sebenarnya sejak 2002, undang-undang ini tidak bisa dijalankan secara konsisten dan efektif. Apa yang tertulis di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak kunjung diterapkan. Kalau pandangan saya, kegagalan untuk menerapkan undang-undang tersebut karena Kementerian Komunikasi dan Informatika zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mau menjalankannya.

Mereka mengeluarkan rangkaian peraturan-peraturan yang bertentangan dan bukan tindak lanjut dari isi undang-undang. Contohnya soal kewajiban sistem siaran berjaringan yang sebetulnya ada di undang-undang itu. Di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bunyi pasalnya sangat ringkas. Sehingga butuh peraturan turunan dari pemerintah dan menteri untuk menjadikan paraturan teknis. Masalahnya, Kominfo tidak melakukannya atau juga dibuat dengan cara yang rumit dan tidak bisa dijalankan. Banyak pasal-pasal serupa.

Mengapa itu dilakukan oleh pemerintah? Saya duga karena keberatan dari industri televisi. Jadi apa yang terjadi di zaman Menteri Kominfo Sofyan Djalil, lalu dilajutkan oleh Muhammad Nuh dan Tifatul Sembiring, itu menurut saya menunjukan jika pemerintah tuntuk pada kekuatan pemodal televisi.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran itu memang semangatnya demokratisasi. Jumlah stasiun televisi yang akan dimiliki oleh pemodal dibatasi. Tapi dibatasi seperti apa? Tidak ada penjelasannya di undang-undang.

Makanya dalam beberapa tahun terakhir ini ada suara jika UU itu harus ditulis ulang, karena yang ada di undang-undang tidak bisa dijalankan. Kalau ditulis ulang, mestinya semangat demokratisasinya dipertahankan, malah disempurnakan. Itu sebenarnya sudah tercantum di draf undang-undang versi DPR lama. Isinya sudah cukup baik.

Tapi saat ini draf undang-undang yang itu ditulis baru itu justru menakutkan. Sebab ada banyak pasal-pasal bagus di undang-undang yang lama jadi hilang. Justru isinya saat ini pro pemodal. Sehingga ini butuh direspon. Makanya saya dan kawan-kawan membentuk Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran yang terdiri dari LSM-LSM dan akademisi kampus.

Selain itu yang jadi menarik, draf undang-undang itu berubah sama sekali. Perubahan ini lepas dari perhatian publik. Padahal dulu di era DPR sebelumnya, DPR membuka draf undang-undangnya. Sehingga masyarakat bisa memberikan masukan. Saya salah satu yang memberikan masukan itu.

Selain itu pembahasan di DPR bisa disaksikan oleh wartawan dan masyarakat. Naskahnya mudah diakses dan menyebar. Pembahasan saat ini dilakukan justru terbalik, isi naskah pro pemodal, masyarakat tidak dilibatkan, dan naskahnya juga sulit diakses.

Makanya kita bertanya-tanya, sebetulnya yang nge-drafting ini siapa sih? Karena buruk sekali. Sebagai contoh soal kepemilikan. Tahun 2002, eranya belum konglomerasi media. Saat itu yang sudah kelihatan yang ingin membentuk konglomerasi adalah MNC Grup. Saat itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatakan pemusatan kepemilikan dibatasi. Pasal ini, saat itu hilang, sehingga tidak ada pelarangan pembatasan jumlah stasiun TV yang dimiliki. Ini mengherankan.

Siapa yang menyebabkan pasal krusial itu hilang?

Kalau siapa, saya hanya bisa menduga-duga. Melihat kontennya cenderung mendukung kepentingan pemodal. Siapa? Saya duga ini hasil lob-lobi dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Karena mereka pihak yang paling berkepentingan, menekan dan mempengaruhi DPR. Sebab di DPR periode lalu ATVSI banyak hadir dan memberikan masukan di pembahasan UU itu.

Apa lagi yang mengindikasikan revisi Undang-Undang Penyiaran ini pro pemodal?

Sistem siaran jaringan yang mengharuskan stasiun televisi menyiarkan siarannya melalui televisi lokal. Sehingga ada konten lokal dan iklan yang diberikan. Televisi tidak pernah ingin melakukan itu. Padahal sistem ini berlaku di seluruh dunia. Sebab bagi stasiun TV, itu sangat efisien, karena murah dan uang semuanya lari ke Jakarta. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, itu nggak boleh. Kalau memang UU ini mau diubah, arahya harus dipertegas kewajiban membuat jaringan. Jelaskan juga teknisnya.

Tapi dalam draf undang-undang yang terbaru ini, aturan kewajiban televisi berjaringan hilang sama sekali. Begitu juga pembatasan kepemilikan stasiun TV juga hilang. Kemudian soal iklan, di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran jumlah iklan sebanyak 20 persen. Saat ini 40 persen. Selain itu ada aturan yang mengharuskan isi siaran harus disensor, termasuk siaran berita. Di undang-undang lama, yang mengharuskan disensor adalag film oleh LSF.

Pelaksaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak jalan. Siapa yang salah, KPI atau pemerintah?

Ada masalah dengan KPI. Tahun 2004 ATVSI mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. Pada dasarnya jundical review itu ditolak oleh MK. Tapi ada satu pasal yang disetujui, yaitu di peraturan-peraturan mengenai pasal-pasal dalam undang-undang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mengeluarkan peraturan adalah KPI bersama pemerintah.

Tapi oleh MK disebutkan hanya pemerintah. Dugaan saya ini karena ada permainan Jimly Assidiqie (Ketua MK saat itu) yang saat itu, saya lupa, apakah masih mempunyai saham di Global TV atau tidak. Atau dia masih mempunyai kedekatan dengan pemilik stasiun televisi. Sehingga hasilnya dikatakan peraturan dibuat oleh pemerintah.

Pada saat itu lah titik awal KPI tidak punya lagi ‘gigi’ untuk mengatur dunia peyiaran. Tapi KPI mempunyai kewenangan mengatur isi siaran. Makanya KPI selama ini lebih condong mengurusi isi siaran. Jadi kalau UU ini tidak jalan, yang disalahkan bukan KPI-nya. Tapi pemerintah.

Yang menarik, pemerintahnya sendiri sudah berubah. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara sendiri sebenarnya relatif netral.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI