Suara.com - Di usianya yang ke-63 tahun, Bedjo Untung masih segar meski jalannya sudah tidak lagi cepat. Tutur kata dan ingatan Bedjo masih cemerlang menceritakan kisah tragisnya menjadi tahanan politik.
Suara.com menemui Bedjo di rumahnya di pinggiran Tol Jakarta-Merak di Tangerang, Banten. Selama puluhan tahun, Bedjo tinggal di kawasan padat penduduk itu. Tepatnya setelah dia keluar dari penjara di Tangerang tahun 1979.
Bedjo adalah satu di antara ribuan orang yang ‘tiba-tiba’ ditangkap dan dituduh pengikut Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Bedjo ditangkap saat usianya 17 tahun. Dia dituduh ‘antek komunis’ karena aktif mengikuti pergerakan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang diduga merupakan underbow dari PKI. Namun saat penangkapan dan pembunuhan besar-besaran tahun 1965, Bedjo sempat buron menghindari tentara selama 5 tahun.
“Saya ditangkap tahun 1970 dan dijebloskan ke Penjara Salemba. Di Penjara, saya seperti binatang dan tidak diperlakukan layak,” kisah Bedjo sembari matanya berkaca.
Setelah 9 tahun dipenjara, dia bebas. Namun statusnya saat itu adalah ET atau eks tahanan politik. Kode itu terpampang di KTP. Bebas pun percuma, kata Bedjo. Sebab mencari pekerjaan dengan status ET sangat tidak mungkin.
Untungnya Bedjo memiliki keahlian di bidang musik. Dia belajar bermain gitar selama di penjara. Jiwa seni ‘dadakan’ itu lah yang menghidupi dirinya sampai awal tahun 2000-an. Bedjo mengajarkan alat music gitar dan piano ke anak-anak orang kaya dan bule di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Tahun 1999, Bedjo pun mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965. Ini adalah yayasan yang menaungi para korban kejahatan HAM 1965 yang berdiri. Sampai saat ini sudah ada 2 ribuan anggotanya. Para korban jadi berani mengakui statusnya yang pernah disiksa oleh tentara karena dicap PKI.
Sampai saat ini kasus pembunuhan massal dan kejahatan HAM 1965 belum terungkap. Meski Bedjo pernah memimpin penggalian kuburan massal korban pembunuhan tragedi 1965.
Belasan tahun pascareformasi dan puluhan tahun pascapembunuhan terjadi, baru pekan kemarin digelar sebuah pertemuan yang mengizinkan korban kejahatan itu bersuara. Nama simposium itu Simposium Nasional Tragedi 1965. Simposium itu dihadiri para korban dan para jenderal.
Selama 2 hari digelar, simposium itu merekomendasikan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tahun 1965. Selain itu melakukan rekonsiliasi.
Bedjo dan puluhan temannya sesama korban hadir dalam simposium itu. Namun nada pesimis terucap dari lelaki beralis putih itu. Dia mencium gelagat tak enak dari gelagat pascasimposium.
Gelagat apa itu? Bagaimana cara sebenarnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu?
Simak wawancara suara.com bersama Bedjo berikut ini:
Dalam simposium tragedi 1965, pemerintah janji ingin menyelesaikan masalah kejahatan HAM masa lalu di tahun 1965. Apakah Anda percaya pada janji pemerintah itu?
Simposium itu bukan keinginan utama korban. Bahkan korban 65 dan kalangan LSM sejak awal mencurigai kalau simposium itu sebagai legitimasi untuk menyelesaikan kejahatan masa lalu lewat jalur non yudisial atau rekonsiliasi, ini akan menghapus penyelesaian secara hukum. Dari awal kemungkinan akan terjadi seperti itu, disuruh melupakan masa lalu, jangan dibawa ke pengadilan dan diminta damai. Sehingga banyak kalangan LSM HAM menolak dan memboikot.
Tapi bagi korban 65 simposium itu sebuah peluang. Bagaimana pun apa yang akan terjadi, korban harus bersuara. Jadi saya pun tidak melihat simposium itu mau dibawa ke mana? Ternyata dalam simposium, 80 persen para korban mendominasi bersuara, 80 persen simposium kami kuasai.
Kami tidak menolak ide rekonsiliasi melalui non yudisial. Tapi jangan menghilangkan proses hukum. Kita perlu adanya kepastian hukum untuk sebagai pembelajaran agar penjahat HAM tidak mengulangi lagi. Proses rekonsiliasi tidak boleh tidak melakukan pengungkapan kebenaran. Rekonsiliasi, ujung dari perjuangan. Tapi diawali dengan pengungkapan kebenaran. Korban ingin tahu apa yang terjadi tahun 1965. Berapa orang yang dibunuh? Siapa yang membunuh? Mengapa mereka dibunuh?
Siapa yang bersalah, tidak boleh dibiarkan tanpa proses hukum. Dia boleh minta maaf, tapi kalau sudah jelas. Saya belum melihat kejahatan kemanusiaan yang lebih besar dari tragedi 1965 di Indonesia. Ini tragedi maha dahsyat. Karena memakan korban lebih dari 3 juta rentan waktu dari 1965-1979. Itu terjadi terus menerus, bahkan sampai saat ini cara penangkapan persis seperti terjadi di tahun itu. Ini terjadi di berbagai wilayah Indonesia dengan cara yang sama, sistematis dan terstruktur. Bagaimana cara menganiaya, itu persis sama.
Ini tidak mungkin hanya sekadar konflik horizontal. Tapi ini konflik horizontal yang dipicu karena diprovokasi dan difasilitasi oleh aparat tentara dengan fasilitas negara. Ada pengakuan dalam simposium seperti itu muncul.
Sebelum adanya simposium, rencana rekonsiliasi tragedi masa lalu ini sudah didengungkan. Negara mengarahkan lebih ke ‘saling memaafkan’ dan ‘melupakan masa lalu’. Terlebih Menkopolhukam Luhut Panjaitan menyatakan dengan tegas negara tidak akan minta maaf kepada para korban. Apakah Anda masih optimis kejahatan HAM masa lalu akan terselesaikan?
Kita belum boleh menyatakan pesimis. Katanya pemerintah ini janji untuk merumuskan hasil simposium. Kita tunggu saja. Tapi saya membaca sejak awal simposium, para pelaku atau para tokoh tentara memang menghendaki rekonsiliasi yang Anda sebut. Seperti ‘melupakan masa lalu’, ‘bersihkan’. Tapi di lain pihak, suara korban dan pegiat HAM sangat kuat mendorong ini disesaikan.
Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi yang mendorong untuk membentuk pengadilan adhoc HAM harus dibentuk. Sebab banyak kasus tragedi 1965 ini perlu kepastian hukum. Mantan tahanan politik yang berasal dari pegawai negeri sipil (PNS) baru bisa mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi jika ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum.
Selain itu negara pun perlu membentuk Komite Kepresidenan tentang kejahatan HAM berat tahun 1965. Kalau tidak ada komite, siapa yang menjalankan tindak lanjut simposium itu? Tidak bisa instan selesai. Saya tidak percaya, penyelesaian kasus ini rampung dalam setahun. Sebab kasusnya sangat kompleks. Mulai dari kejahatan pelecehan seksual, lalu korban pembunuhan. Itu harus dicari kuburannya. Ini harus diteliti dan dicatat oleh tim khusus.
Anda menuntut kasus ini harus diproses, sementara negara mengklaim pelaku sudah tidak ada jejaknya. Bagaimana pandangan Anda?
Masa iya? Tidak bisa sesederhana itu pemikirannya. Kemarin di Simposium ada pengakuan dari orang bernama Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan. Sintong pernah ditugaskan di Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada tahun 1964. Dia wakil dari RPKAD Sarwo Edhie Wibowo (Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat). Dia yang ikut dalam ‘pembersihan’ di Yogyakarta, Solo, Boyolali, Pati dan kawasan Jawa Timur. Kalau dikatakan pelaku sudah tidak ada, Sintong ini mengakui. Pengakuan itu bisa kita lacak. Kalau korban jelas, masih banyak dan masih hidup yang jumlahnya puluhan ribu. Jadi saksi, pelaku dan korban masih ada.
Sintong Panjaitan saat itu mengatakan RPKAD terpaksa melatih Banser NU untuk dijadikan semacam ABRI dengan berbaju loreng. Ini lah yang memicu pembunuhan massal.
Bagaimana teknis pengungkapan pembunuhan massal itu?
Ini dalam rangka pengungkapan kebenaran, artinya semua yang terlibat di dalamnya harus dimintai keterangan. Setelah itu tim Komite Kepresidenan bisa memilah-milah kasus mana yang bisa diselesaikan lewat non yudisial dan hukum. Tapi kalau tidak ada pengadilan, percuma. Negara bisa disebut melindungi penjahat HAM, sehingga muncul impunitas. Impunitas ini seseorang kebal dari hukum, ini lebih sadis.
Pengungkapan kebenaran ini bukan untuk menimbulkan permusuhan baru. Kalau ada yang salah, harus dihukum dan menjadi pembelajaran. Saya pribadi sebagai korban langsung kekejaman itu, tidak menghendaki adanya konflik baru. Katakan itu benar jika benar, katakan salah jika memang salah. Itu namanya kesatria.
Selain itu harus dilakukan pelurusan sejarah, jika sebelumnya disebutkan tragedi 65 biangnya adalah PKI. Sebab tidak ditemukan apapun yang menunjukan PKI yang mengumpulkan massa. Saat malam 1 Oktober penembakan jenderal itu masih misterius siapa yang melakukan. Bisa jadi atas instruksi Presiden Soeharto, karena Soeharto saat itu tahu. Ini strategi untuk menggulingkan Soekarno. Sementara yang menjadi korban adalah kami-kami ini.
Sebesar apa kebencian korban terhadap pelaku?
Tidak, korban tidak menanamkan kebencian terhadap pelaku. Kita harus berjiwa besar. Bahwa itu ada kebencian kolektif, itu hal lain. Persoalan tragedi 1965 ini bukan masalah kebencian pribadi. Paling tidak negara harus mengaku salah dan minta maaf.
Menkopolhukam sudah menutup maaf negara ke korban?
Itu saya menyesalkan dan kecewa. Bagaimana mungkin ada rekonsiliasi jika negara tidak minta maaf. Tidak bisa tidak.
Selama ini mantan tahanan politik dan keturunan keluarga yang dituduh sebagai keluarga PKI terus diikuti oleh intel. Bahkan sering mendapatkan teror. Selama simposium para korban berkumpul, apakah mendapatkan teror dari kelompok tertentu?
Kemarin itu saya baru merasakan dilindungi oleh negara. Sebelum simposium, kami mengadakan pertemuan di Cipanas, Jawa Barat untuk membicarakan soal strategi di simposium. Tapi ada kelompok yang membubarkan pertemuan para korban ini. Kami pun mengadu di Simposium kepada seorang jenderal. Dia simpati ke kami. Kami dijanjikan akan melindungi.
Ketika saya mau berangkat ke hotel, dikawal ketat. Begitu mau pulang, kami dikawal dengan polisi dan tentara. Mereka melindungi kami dari yang menyerang. Siapa tahu ada penculikan. Bahkan di hari terakhir, polisi mengantarkan korban sampai tempat tujuan. Benar-benar dilindungi. Kali ini polisi benar-benar membela korban. Sebelumnya polisi hanya main usir saja kalau ada kegiatan korban 1965.
Di simposium, petinggi TNI menyampaikan janji-janji ingin mendukung proses rekonsiliasi. Sementara, Anda yakin mereka di balik kejahatan HAM 1965 itu. Apakah Anda masih percaya mereka?
Ini bagaimana individu masing-masing. Tapi di kalangan korban masih ada perasaan ada sesuatu yang tidak terbuka dari kalangan militer dan tentara. Bagaimana kita simpati ke mereka kalau semua serba tertutup dan represi.
Teman saya ditakut-takuti dan diintrogasi saat ingin berangkat ke Jakarta. Bahkan dia dipotret. Itu kan bentuk ancaman dan teror. Bahkan terus dimonitor ke mana pun pergi. Padahal kami para korban sudah berusia di atas 50 tahun dan tidak melakukan kegiatan apapun.
Bahkan sampai sekarang korban masih ‘diintel’….
Iya betul, nomor telepon korban sudah disadap semua. Makanya kalau ada acara apapun, kami selalu komunikasi dengan surat via Pos. Agar tidak bisa disadap. Bahkan tidak lewat telepon dan SMS.
Apakah perlu dilakukan simposium di daerah-daerah?
Itu sangat perlu, saya sudah kirimi surat ke teman-teman korban HAM di daerah untuk mengadakan simposium serupa di tingkat lokal. Agar pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ini bisa lebih rinci di tingkat lokal. Sebab intimidasi dan teror negara di daerah terhadap korban lebih kuat dan sering terjadi.
Korban kejahatan HAM 1965 meminta kompensasi. Apa bentuk kompensasi itu?
Bagi korban, membicarakan kompensasi adalah prioritas paling akhir. Sebab yang utama negara perlu melindungi saksi dan korban 1965. Jangan lagi direpresi dan dicurigai sebagai PKI atau yang ingin mempengaruhi hal buruk. Negara juga perlu mencabut undang-undang yang memicu represi alat negara. Jika itu dilakukan maka akan menjadi obat untuk para korban. Apalagi ada permintaan maaf.
Sementara kompensasi itu hak korban, mau tidak mau harus diberikan. Kompensasi itu bisa dalam bentuk beasiswa kepada keturunan korban, pengobatan gratis, jaminan sosial dan keamanan. Jadi bentuknya perbaikan taraf hidup untuk para korban. Sebelum korban ini meninggal, negara harus membahagiakan dan mengembalikan hak-haknya ke mereka.
Anda mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 ini di tahun 1999. Ini organisasi pertama yang mewadahi para korban 1965. Bagaimana latarbelakangnya?
Yayasan ini sebagai wadah perjuangan korban, karena nggak mungkin berjuang sendiri-sendiri. Saat itu korban masih trauma berat, sehingga kami tidak menggunakan cara organisasi massa. Kami tidak ingin dianggap sebagai organisasi massa yang mengkonsolidasi massa. Di forum ini, sebagai wadah bagaimana para korban bermanifestasi menyuarakan cerita dan tuntutannya. Dalam waktu yang singkat, korban 65 se-Indonesia langsung mendatangi dan bergabung.
Saat itu kita bisa berjalan dengan bebas, karena saat itu negara terfokus ke pasca krisis. Kami pun bisa melakukan penggalian kuburan massal di Wonosobo. Itu dalam rangka pembuktian juga. Saat itu YPKP bisa melakukan penggalian kuburan massal yang kerangkanya adalah korban dari penjara Wiroginan Yogyakarta, yang dieksekusi di daerah wonosobo. Bahkan ditemukan 21 kerangka dengan data lengkap. Saat itu sempat ingin digagalkan, tapi tidak berhasil karena ada tokoh Komnas HAM yang berani, Pak Asmara Nababan yang mem-back up.
Organisasi ini dibentuk supaya para korban ini mempunyai legalitas untuk bicara. Saya mendaftarkannya ke Menkumham. Tapi di daerah masih saja aparat membubarkan dan melakukan represi ke korban.
Sudah sejauhmana keberhasilan YPKP menolong para korban dan mengungkap kasus kejahatan masa lalu ini?
Sekarang ini para korban memperoleh pelayanan medis dan biaya sosial dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Mereka mendapatkan pengobatan gratis, transport berobat dan pengganti uang makan tiap kali berobat sejak tahun 2012. Sebulan mereka dijatah 2 kali berobat. Tiap kali berobat diberikan uang Rp50 ribu untuk makan dan Rp100 ribu untuk transportasi. Korban mendapatkan pelayanan medis kelas 1 dari BPJS Kesehatan. Sebelumnya ada BPJS, ada asuransi dari swasta.
Fasilitas pengobatan ini karena perintah UU LPSK. Setiap korban pelanggaran HAM berat akan medapatkan pelayanan medis agar nanti bisa memberikan kesaksian di pengadilan secara sehat. Sekarang LPSK kedodoran karena yang daftar banyak sekali. Sampai sekarang sekitar 2 ribuan yang diberikan pengobatan. Sementara jumlah korban sampai puluhan ribu.
Bagi korban kejahatan HAM yang ingin mendapatkan pengobatan ini harus mendaftar ke LPSK dan mendapatkan rekomendasi dari YPKP, jika dia memang korban pelanggaran HAM. Nantinya orang itu akan disurvei dan dicaritahu apakah benar dia korban.
Menkopolhuman menyebut tidak ada jejak korban pembunuhan massal. Bahkan dia yakin tidak ada kuburan massal…
Kuburan itu ada hampir di seluruh Indonesia. Kami meneliti itu, paling tidak kuburan itu ada di 3 pulau, Sumatera, Jawa dan Bali. Khusus Jawa ada puluhan titik kuburan massal. YPKP berhasil mengidentifikasi kuburan massal di Kuningan, Pati, Boyolali, Wonosobo dan Wonogiri. Di Pati saja ada 7 lokasi kuburan massal. Di Kabupaten Boyolali ada pemakaman umum di tengah. Di pinggiran pemakaman ada 100-200 jenazah tidak dikenal. Di sana banyak tahanan politik yang diseret, dipukul dan dieksekusi.
Tahun 2000, YPKP pernah menggali kuburan massal di Wonosobo. Ada 21 mayat tinggal tulang. Tulang itu langsung dimakamkan dengan layak. Masih banyak penemuannya, itu semua akan saya berikan ke Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan. Jadi bukti sudah sangat kuat dan tidak bisa disangkal.