Sebesar apa kebencian korban terhadap pelaku?
Tidak, korban tidak menanamkan kebencian terhadap pelaku. Kita harus berjiwa besar. Bahwa itu ada kebencian kolektif, itu hal lain. Persoalan tragedi 1965 ini bukan masalah kebencian pribadi. Paling tidak negara harus mengaku salah dan minta maaf.
Menkopolhukam sudah menutup maaf negara ke korban?
Itu saya menyesalkan dan kecewa. Bagaimana mungkin ada rekonsiliasi jika negara tidak minta maaf. Tidak bisa tidak.
Selama ini mantan tahanan politik dan keturunan keluarga yang dituduh sebagai keluarga PKI terus diikuti oleh intel. Bahkan sering mendapatkan teror. Selama simposium para korban berkumpul, apakah mendapatkan teror dari kelompok tertentu?
Kemarin itu saya baru merasakan dilindungi oleh negara. Sebelum simposium, kami mengadakan pertemuan di Cipanas, Jawa Barat untuk membicarakan soal strategi di simposium. Tapi ada kelompok yang membubarkan pertemuan para korban ini. Kami pun mengadu di Simposium kepada seorang jenderal. Dia simpati ke kami. Kami dijanjikan akan melindungi.
Ketika saya mau berangkat ke hotel, dikawal ketat. Begitu mau pulang, kami dikawal dengan polisi dan tentara. Mereka melindungi kami dari yang menyerang. Siapa tahu ada penculikan. Bahkan di hari terakhir, polisi mengantarkan korban sampai tempat tujuan. Benar-benar dilindungi. Kali ini polisi benar-benar membela korban. Sebelumnya polisi hanya main usir saja kalau ada kegiatan korban 1965.
Di simposium, petinggi TNI menyampaikan janji-janji ingin mendukung proses rekonsiliasi. Sementara, Anda yakin mereka di balik kejahatan HAM 1965 itu. Apakah Anda masih percaya mereka?
Ini bagaimana individu masing-masing. Tapi di kalangan korban masih ada perasaan ada sesuatu yang tidak terbuka dari kalangan militer dan tentara. Bagaimana kita simpati ke mereka kalau semua serba tertutup dan represi.
Teman saya ditakut-takuti dan diintrogasi saat ingin berangkat ke Jakarta. Bahkan dia dipotret. Itu kan bentuk ancaman dan teror. Bahkan terus dimonitor ke mana pun pergi. Padahal kami para korban sudah berusia di atas 50 tahun dan tidak melakukan kegiatan apapun.
Bahkan sampai sekarang korban masih ‘diintel’….
Iya betul, nomor telepon korban sudah disadap semua. Makanya kalau ada acara apapun, kami selalu komunikasi dengan surat via Pos. Agar tidak bisa disadap. Bahkan tidak lewat telepon dan SMS.
Apakah perlu dilakukan simposium di daerah-daerah?
Itu sangat perlu, saya sudah kirimi surat ke teman-teman korban HAM di daerah untuk mengadakan simposium serupa di tingkat lokal. Agar pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ini bisa lebih rinci di tingkat lokal. Sebab intimidasi dan teror negara di daerah terhadap korban lebih kuat dan sering terjadi.
Korban kejahatan HAM 1965 meminta kompensasi. Apa bentuk kompensasi itu?
Bagi korban, membicarakan kompensasi adalah prioritas paling akhir. Sebab yang utama negara perlu melindungi saksi dan korban 1965. Jangan lagi direpresi dan dicurigai sebagai PKI atau yang ingin mempengaruhi hal buruk. Negara juga perlu mencabut undang-undang yang memicu represi alat negara. Jika itu dilakukan maka akan menjadi obat untuk para korban. Apalagi ada permintaan maaf.
Sementara kompensasi itu hak korban, mau tidak mau harus diberikan. Kompensasi itu bisa dalam bentuk beasiswa kepada keturunan korban, pengobatan gratis, jaminan sosial dan keamanan. Jadi bentuknya perbaikan taraf hidup untuk para korban. Sebelum korban ini meninggal, negara harus membahagiakan dan mengembalikan hak-haknya ke mereka.
Anda mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 ini di tahun 1999. Ini organisasi pertama yang mewadahi para korban 1965. Bagaimana latarbelakangnya?
Yayasan ini sebagai wadah perjuangan korban, karena nggak mungkin berjuang sendiri-sendiri. Saat itu korban masih trauma berat, sehingga kami tidak menggunakan cara organisasi massa. Kami tidak ingin dianggap sebagai organisasi massa yang mengkonsolidasi massa. Di forum ini, sebagai wadah bagaimana para korban bermanifestasi menyuarakan cerita dan tuntutannya. Dalam waktu yang singkat, korban 65 se-Indonesia langsung mendatangi dan bergabung.
Saat itu kita bisa berjalan dengan bebas, karena saat itu negara terfokus ke pasca krisis. Kami pun bisa melakukan penggalian kuburan massal di Wonosobo. Itu dalam rangka pembuktian juga. Saat itu YPKP bisa melakukan penggalian kuburan massal yang kerangkanya adalah korban dari penjara Wiroginan Yogyakarta, yang dieksekusi di daerah wonosobo. Bahkan ditemukan 21 kerangka dengan data lengkap. Saat itu sempat ingin digagalkan, tapi tidak berhasil karena ada tokoh Komnas HAM yang berani, Pak Asmara Nababan yang mem-back up.
Organisasi ini dibentuk supaya para korban ini mempunyai legalitas untuk bicara. Saya mendaftarkannya ke Menkumham. Tapi di daerah masih saja aparat membubarkan dan melakukan represi ke korban.
Sudah sejauhmana keberhasilan YPKP menolong para korban dan mengungkap kasus kejahatan masa lalu ini?
Sekarang ini para korban memperoleh pelayanan medis dan biaya sosial dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Mereka mendapatkan pengobatan gratis, transport berobat dan pengganti uang makan tiap kali berobat sejak tahun 2012. Sebulan mereka dijatah 2 kali berobat. Tiap kali berobat diberikan uang Rp50 ribu untuk makan dan Rp100 ribu untuk transportasi. Korban mendapatkan pelayanan medis kelas 1 dari BPJS Kesehatan. Sebelumnya ada BPJS, ada asuransi dari swasta.
Fasilitas pengobatan ini karena perintah UU LPSK. Setiap korban pelanggaran HAM berat akan medapatkan pelayanan medis agar nanti bisa memberikan kesaksian di pengadilan secara sehat. Sekarang LPSK kedodoran karena yang daftar banyak sekali. Sampai sekarang sekitar 2 ribuan yang diberikan pengobatan. Sementara jumlah korban sampai puluhan ribu.
Bagi korban kejahatan HAM yang ingin mendapatkan pengobatan ini harus mendaftar ke LPSK dan mendapatkan rekomendasi dari YPKP, jika dia memang korban pelanggaran HAM. Nantinya orang itu akan disurvei dan dicaritahu apakah benar dia korban.
Menkopolhuman menyebut tidak ada jejak korban pembunuhan massal. Bahkan dia yakin tidak ada kuburan massal…
Kuburan itu ada hampir di seluruh Indonesia. Kami meneliti itu, paling tidak kuburan itu ada di 3 pulau, Sumatera, Jawa dan Bali. Khusus Jawa ada puluhan titik kuburan massal. YPKP berhasil mengidentifikasi kuburan massal di Kuningan, Pati, Boyolali, Wonosobo dan Wonogiri. Di Pati saja ada 7 lokasi kuburan massal. Di Kabupaten Boyolali ada pemakaman umum di tengah. Di pinggiran pemakaman ada 100-200 jenazah tidak dikenal. Di sana banyak tahanan politik yang diseret, dipukul dan dieksekusi.
Tahun 2000, YPKP pernah menggali kuburan massal di Wonosobo. Ada 21 mayat tinggal tulang. Tulang itu langsung dimakamkan dengan layak. Masih banyak penemuannya, itu semua akan saya berikan ke Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan. Jadi bukti sudah sangat kuat dan tidak bisa disangkal.