Suara.com - Tuntutan buruh kepada pemerintah untuk memutuskan nilai upah layak di tingkat provinsi dan kota/kabupaten masih berlangsung. Bahkan tiap tahun permintaan itu dikeluarkan lewat aksi demonstrasi memperingati Hari Buruh Sedunia atau May Day tiap 1 Mei.
Sementara pengusaha mengklaim tidak mampu mengikuti putusan-putusan pemerintah provinsi dan kota dalam menentukan upah minimum. Sebagian dari mereka akhirnya gulung tikar.
Setiap tahun isu perburuhan tiap peringatan May Day sama. Buruh menuntut upah selangit, pengusaha menjerit dan pemerintah dituding membuat peraturan yang menyengsarakan buruh.
Doktor ilmu hukum perburuhan jebolan Universitas Leiden Belanda, Surya Tjandra tidak heran dengan konsdisi perburuhan Indonesia. Dia menilai itu akan mengancam buruh sendiri. Begitu juga mengancam perekonomian Indonesia.
Dalam penelitian doktornya, Surya membahas hukum perburuhan di Indonesia. Dia menyoroti soal UU Serikat Pekerja dan Serikat Buruh, UU Ketenagakerjaan, dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Menurut dia, gerakan perburuhan Indonesia harus diubah. Dia menilai ada yang salah dari komunikasi antara buruh, pengusaha dan pemerintah.
Di sisi lain, dia menilai ada penurunan pergerakan buruh Indonesia. Sehingga, tujuan dan perjuangan buruh tidak lagi dipandang sebagai gerakan yang kuat. Dia juga menyebut, gerakan buruh terpecah pascapertarungan politik di Pemilihan Umum 2014.
Surya yang melakukan penelitian perburuhan di Indonesia selama 10 tahun itu memandang, buruh harus berinovasi dalam menuntut kesejahteraan. Cara yang mereka pakai selama ini kuno dan cenderung tidak menghasilkan solusi.
Dalam wawancara dengan suara.com, Surya banyak bercerita soal keadaan gerakan perburuhan Indonesia terkini. Dia juga cerita asal usul lahirnya undang-undang perburuhan yang dianggap bermasalah itu.
Mengapa gerakan perburuhan Indonesia melemah dan terpecah? Apa yang harus dilakukan agar gerakan buruh kembali kuat dan melahirkan kesejahteraan?
Berikut wawancara lengkapnya:
Anda baru saja menyelesaikan program Ph.D dari Universitas Leiden dengan disertasi bertajuk “Labour Law and Development in Indonesia”. Anda menyoroti soal UU Serikat Pekerja dan Serikat Buruh, UU Ketenagakerjaan, dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Bisa Anda jelaskan, ada masalah apa di UU tersebut?
Tema penelitiannya reformasi hukum perburuhan pascareformasi. Tapi analisa yang saya pakai seputar politik, ekonomi dan hukum. Pertanyaannya adalah kenapa keluar undang-undang seperti itu? Jadi saya membahas kontestasi politik dan sosial yang terjadi dalam proses itu. Lalu dampak keluarnya undang-undang itu terhadap buruh dan serikat buruh.
Program reformasi UU perburuhan dilakukan dari tahun 1998 sampai 2006 dan menghasilkan 3 undang-undang. UU Serikat Pekerja dan Serikat Buruh, UU Ketenagakerjaan, dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dalam disertasi itu, saya bahas satu persatu sebagai kasus. Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh, kasusnya adalah legislasi serikat buruh. Pengaturan serikat buruh untuk pertama kalinya dalam bentuk UU. Sebelumnya ada Kepmen dan perjanjian kerja perburuhan, tapi tidak spesifik. Kalau Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pakai kasus penetapan upah minimum. Penelitian itu selama 10 tahun, jadi saya mendapatkan gambaran pergerakan perburuhan dari di bawah dan sampai sekarang yang antiklimaks.
Sehingga kesimpulan dari disertasi saya itu, kita perlu serikat buruh yang kuat tapi juga pengusaha yang kuat dan negara yang kuat. Tripartid itu harus kuat, dan mereka harus bertemu. Ini mengandalkan kemauan para pihak untuk bertemu dan negosiasi, bukan hanya asal menang. Tanpa itu, mereka akan perang terus.
Apakah dampak terburuk jika antara pengusaha dan buruh terus berdebat?
Kita berpacu pada waktu, ancamannya buruh Indonesia akan terjebak pada pendapatan kelas menengah. Karena saat ini upah buruh sudah middle income. Sementara Indonesia mempunyai bonus demografi yang merupakan mesin atau tenaga untuk naik menjadi negara maju. Maka harus dimulai dari sekarang. Sebab saat bonus demografi, usia 15 sampai 65 tahun lebih banyak dari di bawah 15 dan di atas 65 tahun. Kalau mau menggenjot Indonesia menjadi negara maju, yah saat ini. Karena ini akan terjadi sampai 2030, setelah itu orangtua akan tambah banyak. Jika konflik perburuhan terus terjadi dan tidak ada titik temu, tiap tahun berantem, maka situasi ketenagakerjaan tidak baik. Sehingga pendapatan buruh akan tertahan pada pendapatan kelas menengah saja.
Di Eropa Barat pernah terjadi seperti yang di alami Indonesia. Namun antara pemerintah, buruh dan pengusaha bertemu. Sehingga menemukan kesepakatan yang mensejahterakan buruh dan pengusaha. Ini butuh kedewasaan politik. Di Indonesia, saat ini semua pihak merasa menjadi korban, baik buruh, pengusaha dan negara. Kalau semua korban, bagaimana?
Jika ditarik ke masa lalu, apa yang menyebabkan UU perburuhan di Indonesia terus menjadi polemik?
Dulu buruh terlibat dalam penyusunan undang-undang itu. Dari segi konten, UU perburuhan Indonesia tidak buruk-buruk sekali. Cuma sebagai bahan propaganda buruh, pasti semua bilang jelek untuk menaikan upah atau gaji sedikit.
Di mana letak bagusnya undang-undang perburuhan ini?
Misalnya soal hak buruh relatif jelas. Tapi ini bicara soal konsep, bukan pelaksanaan. Sebab Indonesia menjadi negara yang sangat melindungi buruhnya. Buruh tidak mudah di-PHK, karena bisa protes ke pengadilan hubungan industrial. Serikat buruhnya pun sangat liberal, 10 orang boleh membuat serikat buruh. Dinas Tenaga Kerja pun tidak akan menolak.
Buruh Indonesia mempunyai hak mogok, walaupun orang masih berdebat soal legalitas mogok. Tapi kenyataannya mogok masih terjadi. Karena salah satu indikator kuat, buruh boleh mogok. Kalau belakangan nanti di-PHK, itu cerita lain. Tapi secara tertulis mogok diperbolehkan dalam undang-undang.
Hal seperti itu ada karena undang-undang masa lalu. Mulai tahun 1947 sampai 1960-an dibuat serial undang-undang perburuhan. Tahun itu isinya proteksi, atau protectif legislation. UU yang sangat protek terhadap buruh. Kita sudah dapat 8 jam kerja sehari, di luar itu dianggap lembur dari tahun 1948. Malaysia pada tahun yang sama masih 16 jam kerja sehari. Kenapa Indonesia bisa semaju itu? Karena saat itu Indonesia tengah berjuang revolusi fisik. Selain perang fisik, ada perang diplomas di mana negara belum efektif dan pemerintah pindah-pindah. Sementara UU sudah ada.
UU perburuhan di Indonesia pertama keluar tentang UU kecelakaan kerja. Begitu orde baru, produk UU ini tidak dihapus, tapi tidak dilaksanakan. Saat itu negara sangat kuat, buruh tak berani protes karena UU perburuhan tak jalan. Mereka bisa dipenjara.
Tahun 1998, pemerintah melemah dan tidak bisa pertahankan UU perburuhan. Maka timbulah reformasi UU perburuhan. Awalnya itu dianggap pesanan oleh IMF, tapi itu benar. Salah satu yang harus dilaksanakan Indonesia dari pinjaman dari IMF adalah perbaikan struktural negara. Salah satunya reformasi hukum perburuhan. Sehingga timbul liberalisasi dan menyebabkan pegawai kontrak dan outsourcing diberlakukan.
Anda menyebut gerakan perburuhan sudah antiklimaks, kapan puncak kekuatan buruh?
Puncak pergerakan buruh saat Pemilu 2014 karena di sana buruh masuk dalam pertarungan politik praktis yang terpolarisasi. Kalau saja buruh saat itu bisa mengambil jarak dengan keterlibatan politik, ceritanya akan berbeda sekarang.
Kekuatan politik saat itu dinamis, kalau buruh masuk pada satu pihak yag beda dengan politik buruh, maka akan larut. Saat ini buruh sudah masuk ke sana (politik). Coba saja saat 2014 buruh mengambil jarak dan setelah selesai pertarungan Pilpres buruh seharusnya melepaskan diri. Kalau itu terjadi, mungkin ada 3 kekuatan saat itu. Yaitu KMP (Koalisi Merah Putih), KIH (Koalisi Indonesia Hebat) dan Koalisi Buruh. Tapi itu tidak terjadi.
Saat ini masuk pada pematangan pergerakan buruh, tapi juga menimbulkan banyak tantangan. Saat ini pergerakan buruh sudah antiklimaks dan stuck. Bahkan cenderung menurun. Mau terobosan bagaimana pun, akan sulit karena jebakan politik masa lalu. Sehingga sulit keluar jari jebakan itu.
Namun kekuatan maksimalnya terjadi sekitar tahun 2009-2010 saat munculnya Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). Karena saat itiu ada pergeseran paradikma dari gerakan buruh. Gerakan buruh di Indonesia banyak yang berorientasi ekonomi dan politik, tidak pernah ada yang berorientasi sosial. Baru pada pembahasn RUU BPJS, buruh berorientasi sosial.
Saat itu buruh menjadi pemimpin pergerakan saat itu, sementara banyak unsur masyarakat yang terlibat. Seperti akademisi, nelayan, petani. Bagaimana ini membuat buruh bisa diterima oleh masyarakat. Karena perjuangannya bukan hanya buat buruh, buat masyarakat. Buruh tetap bicara upah, tapi juga saat itu bicara permasalahan sosial.
Masyarakat di Indonesia belum mengidentifikasi sebagai kelas pekerja. Itu wajar karena sektor formal di Indonesia masih sekitar 40 persen, sementara informal yang gajinya tidak upah minimum jumlahnya lebih dari 60 persen. Jadi buruh teriak tuntutan upah minimum, itu hanya untuk mereka saja. Masyarakat informal tidak terkena dampak. Namun kalau bicara soal jaminan kesehatan sosial untuk rakyat, itu berpengaruh ke semua. Itu terjadi saat tahun 2009-2010.
Keberhasilan buruh di KAJS dengan disahkannya UU BPJS, membuat mereka bereksperimen masuk ke politik praktis. Tapi di sisi lain ini godaan untuk politik, partai melirik massa buruh. Sebab partai tidak bagus dalam merawat massa. Mereka lebih baik mengambil dari massa yang sudah jadi, yaitu buruh. Mereka juga beranggapan jika sudah menguasai pimpinan buruh, maka akan menguasai semua buruhnya. Tapi itu tidak terjadi, karena buruh cerdas lebih cerdas dari masyarakat. Buruh punya potensi mempunyai kekuatan ekonomi sebagai pekerja, kalau mereka berhenti kerja, perusahaan akan terancam. Ancaman ini digunakan sebagai negosiasi dan posisi tawar.