Suara.com - Pucuk pimpinan Dewan Pers berganti setelah 2 periode dipimpin mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Saat ini institusi negara pengawal kebebasan pers Indonesia itu dipimpin Yosep Adi Prasetyo.
Stanley, begitu sapaan akrab Yosep di kalangan pegiat HAM, media dan aktivis perdamaian. Stanley merupakan tokoh pers Indonesia yang ikut berjuang untuk kebebasan pers saat kekuasaan otoriter Soeharto berganti di tahun 1998.
Suara.com menemui Stanley dalam suasana santai pekan lalu di ruang kerjanya. Tidak sulit menemuinya, namun tentu harus membuat janji terlebih dahulu. Maklum, banyak persoalan pers yang harus dia amati saban hari.
Menurut dia, persoalan pers saat ini jauh makin berat. Bahkan dari tahun ke tahun. Ada persoalan baru, ada juga persoalan lama yang tidak kunjung habis dipersoalkan insan per situ sendiri.
Dalam wawancara 1,5 jam itu, suara.com dan Stanley pun banyak berbincang soal persiapan World Press Freedom Day 2017. Indonesia nanti menjadi tuan rumah hajatan insane pers sedunia itu. Namun dia memberi catatan jika itu bukan perayaan dan seremoni semata.
“Harus ada kisah sukses pers Indonesia yang bisa diceritakan ke dunia,” kata Stanley.
Sementara masalah kebebasan pers dan kriminalisasi media masih menjamur di Indonesia. Kesejahteraan jurnalis pun masih menjadi mimpi karena kecilnya gaji jurnalis. Sementara gurita media makin dekat dengan kepentingan politik.
Simak wawancara suara.com selengkapnya dengan Stanley berikut ini:
Terakhir tahun 2003 Dewan Pers di pimpin oleh mantan jurnalis. Saat itu Atmakusumah Astraatmadja. Dan baru 2016 ini kembali dipimpin oleh Anda yang juga berlatar belakang jurnalis. Kita berharap penegakan etika jurnalis makin kuat. Apakah ada perubahan karakter Dewan Pers di bawah kepemimpinan Anda ke depan?
Tidak ada perbedaan, karena meski Bagir Manan bulan berlatar belakang wartawan tapi orang yang ada di belakang beliau kan berlatarbelakang wartawan. Dulu juga saya yang membuat surat di Komisi Hukum jika ada pengaduan.
Pak Bagir adalah figure yang melengkapi karena beliau mantan Ketua Mahkamah Agung. Di kepemimpinan dulu akan kita pertahankan karena tren-nya bagus. Kita sudah MoU dengan Polri dan Kejaksaan. Kita nantinya akan menguatkan MoU itu dengan membuat pedomen kerja sebagai turunannya.
Kemarin ada pertemuan dengan humas kepolisian. Di bawah pimpinan Rikhwanto, mereka bertanya apa yang menjadi kekurangan dalam bermitra dengan kepolisian. Mereka ingin membantu menjembatani dengan pihak Reskrim (Reserse Kriminal) di tingkat Polres dalam penerimaan pengaduan dan kekerasan terhadap wartawan.
Perkembangan media massa beberapa tahun belakangan makin mengarah ke media digital atau cyber. Bagaimana masukan Anda soal perkembangan media saat ini dari sisi penguatan etika jurnalistik?
New media ini menjadi momok media cetak dan konvensional yang mungkin generasi tua yang ada di pemimpin redaksi tidak bisa mengantisipasi ini. Sementara kita tahu generasi Y ini tidak pernah membaca koran lagi karena semua menggunakan gadget. Kami akan mendorong bagaimana media bisa mengantisipasi kemajuan teknologi ini.
Hal yang lain, ketika banyak peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers untuk menertibkan media abal-abal, itu membuat ribuan media abal-abal migrasi menjadi media online. Sementara di media online masih terjadi kekosongan pedoman terkait penulisan media cyber. Kita tidak punya pedomen spesifik, maka itu harus dibuat dan Dewan Pers akan mefasilitasi itu.
Seperti apa teknis aturan media cyber yang akan dibuat?
Kalau ingin disebut sebagai perusahaan pers, harus dibuat badan hukum. Gaji wartawan 13 kali setahun minimal sebesar Upah Minimum Provinsi (UMP). Di luar itu, kode etik dan pedoman pemberitaan media cyber juga mengikat. Kita juga mendorong media online, bagaimana membuat self regulation untuk kepentingan mereka. Jangan sampai ada penyamaan karakter media online, sementara yang dijadikan tolak ukur banyak melanggar etika.
Di daerah terpencil, media cyber dikelola oleh 1 orang. Dia yang membentuk, mengelola, meliput dan mencari uang sendiri. Saya ada pengalaman ke Tanjung Balai Karimun , Riau. Bupati di sana mengaku kuwalahan. Penduduk di sana ada 270 ribu jiwa. Media di sana ada 500 buah, kebanyakan media cetak dan online.
Kepala humas di sana tidak berani masuk kantor karena dicegat wartawan yang meminta uang. Wartawan di sana mewawancarai pemerintah dengan isu yang memojokan, misal korupsi. Padahal isu itu hanya dibuat-buat saja. Mereka bertanya harus melakukan apa?
Dewan Pers memberitahu jika media mempunyai syarat untuk berdiri. Maka pemerintah di sana harus memilah media mana saja yang benar dan abal-abal. Sebab mereka harus menyediakan 500 amplop berisi uang di setiap event yang diadakan.
Ini karena kebanyakan pemda tidak tahu soal profesi wartawan. Fenomena wartawan amplop ini hanya ada di Indonesia, di Singapura, Filipina dan Malaysia tidak ada. Di Indonesia, wartawan abal-abal ini tumbuh subur dan berkembang biak di tempat yang kotor, kebanyakan di daerah. Mereka menggunakan nama BIN, BNN dan KPK untuk memeras.
Pemda kebanyakan belum ter-edukasi soal media. Makanya kami sering membuat pertemuan media lliterasi untuk pemerintah daerah. Bagaimana membedakan media professional dan abal-abal. Hasilnya banyak wartawan di sana yang marah dengan alasan mengganggu kebebasan pers.
Bagaimana kebebebasan pers? Mereka memeras, berita menyudutkan dan meminta uang saat mewawancara. Mereka ini pembonceng gelap. Dewan Pers akan senang hati merekomendasikan untuk menangkap perusahaan pers dan wartawan seperti itu. Berbeda jika yang dijerat perusahaan pers dan wartawan professional terkena UU ITE, akan kita bela.
Mulai tahun ini, kondisi politik Indonesia mulai memanas karena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017. Ditambah Pilpres 2019 mendatang. Apa langkah Dewan Pers agar media tidak kembali dirasuki kepentingan politik?
Ini menjadi hal yang paling spesifik dari tugas Dewan Pers 3 tahun ke depan. Tahun 2016 ini sudah masuk tahun politik. Pemilukada DKI tahun depan, ini sudah riuh mulai sekarang. Banyak pemberitaan bermuatan SARA. Selain itu menjelang Pilpres dan Pileg 2019, mulai tahun 2018 ini sudah riuh sekali. Kami berharap Dewan Pers bisa mengawal independensi, keberpihakan ke ruang publik itu menjaga.
Jangan sampai pengalaman 2014 yang muncul ‘media merah’ dan ‘media biru’ kembali terulang dan makin parah. Banyak partai yang berambisi punya media, dan pemilik media berambisi masuk politik. Jadi diperlukan nanti media-media yang sangat independen. Kita akan memperkut media-media yang menjaga netralitasnya ini.
Sementara gaji wartawan sangat memprihatinkan. Ada koresponden yang dituntut menulis untuk sebuah media dan dibayar pertulisan, sementara dia dituntut loyalitas tidak boleh menulis untuk media lain. Bagaimana dia bisa hidup? Itu banyak terjadi di media besar, bagaimana untuk media kecil.
Makanya kita mendorong untuk digelar uji kompetensi wartawan (UKW) atau juga uji kompetensi jurnalis (UKJ). Sertifikat UKJ atau UKW itu bisa digunakan untuk dasar renumerasi untuk wartawan di perusahaan media. Jangan sampai UKJ atau UKW ini dianggap tidak berarti oleh perusahaan media.
Sementara banyak perusahaan media yang berpolitik lebih suka memasukan tim suksesnya menjadi pimpinan media itu. Banyak media yang berpolitik yang menghamburkan uangnya untuk politik tapi tidak diikuti dengan kesejahteraan wartawan. Padahal inti dari jurnalistik itu wartawan, bukan bisnisnya.
Dewan Pers akan mendorong perusahaan media mengaitkan kompetensi itu dengan jenjang karir. Misal ingin menjadi redaktur, maka harus punya sertifikat UKJ/UKW Madya, sementara pimpred harus UKJ/UKW Utama. Sekarang sudah ada beberapa media yang menggunakan itu. Misal di Kompas dan MNC.
Tapi sekarang ada puluhan ribu wartawan, tapi yang baru mengikuti uji kompetensi kurang dari 10 ribu. Nanti kita akan membuat surat ke pada perusahaan pers untuk mensyaratkan wartawannya mempunyai sertifikat uji kompetensi.
Fenomena wartawan amplop tidak lepas dari pertumuhan organisasi wartawan di Indonesia. Banyak kasus wartawan amplop ini mengatasnamakan organisasi profesinya untuk ‘menekan’ pihak tertentu. Apa yang akan dilakukan Dewan Pers untuk menekan ini?
Kita akan melakukan verifikasi terhadap organisasi wartawan. Sementara ada yang meminta verifikasi, misal dari IPJI (ikatan penulis dan jurnalis Indoensia). Nah IPJI ini agak sulit karena mereka menggabungkan 2 profesi antara penulis dan jurnalis karena kode etik di Dewan Pers mengikat pada jurnalis, bukan penulis.
Permintaan verifiksi ini diminta sejak tahun lalu. Sebab Dewan Pers pernah melakukan verifiksi dan ditemukan medianya tidak teratur penerbitannya. Ada juga yang pimpinan organisasi itu ketua koperasi peternakan bebek. Banyak juga alamatnya nggak jelas.