Suara.com - Pelarangan pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ di Goethe Institute, Jalan Diponegoro, Jakarta, pertengahan Maret 2016 lalu menambah daftar sikap pemerintah yang kalah dengan keinginan kelompok radikal. Saat itu FPI meminta film itu tidak diputar. Polisi menuruti dan meminta penyedia tempat pemutaran agar tidak memberikan izin.
Sebelum itu, polisi juga memaksa Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat juga tidak digelar. Alasannya ada organisasi masyarakat yang menolak festival yang membahas sejarah gerakan kiri Indonesia tersebut.
Hal serupa juga terjadi di Bandung. FPI melakukan tekanan terhadap pertunjukan monolog ‘Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah’ di Gedung Institut Francais Indonesia, Bandung, Jawa Barat. Monolog itu pun dibatalkan karena FPI menyerang dan memaksa pertunjukan dibubarkan.
Pelarangan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah pun masih berlanjut. Terakhir larangan eksistensi Ahmadiyah di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Mereka diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Polisi pun membiarkan pengusiran terjadi. Kejadian ini rutin terjadi dengan modus dan alasan yang sama. Polisi pun selalu membiarkan kelompok minoritas menjadi korban.
Padahal Indonesia disebut sebagai negara yang mempunyai berbagaimacam suku dan agama. Bahkan Indonesia pernah disebut sebagai negara paling toleran dan menghargai perbedaan.
Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat pun mengakui jika Indonesia negara yang plural. Masyarakat aslinya menghargai perbedaan suku, ras, dan agama. Namun klaim itu sudah berubah saat ini.
Menurut dia, Indonesia menjadi negara yang dihantui sikap radikal warganya. Buktinya banyak pengekangan kebebasan ekspresi, berkeyakinan dan berpendapat oleh kelompok yang mengatasnamakan agama. Tapi menurutnya itu ‘normal’ sebagai negara demokrasi.
Tapi dia memberikan catatan agar Indonesia waspada serangan ‘radikalisme’. Pemerintah harus lebih siap menghadapinya.
Mengapa radikalisme mengancam Indonesia? Darimana asal sikap radikal itu? Mengapa juga selama ini pemerintah cenderung membiarkan sikap radikal beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama? Apa yang perlu dilakukan pemerintah agar berani memberantas radikalisme?
Simak wawancara khusus suara.com dengan Profesor Komaruddin Hidayat di kediamannya di Ciputat, Tangerang Selatan, pekan lalu:
Aksi kelompok radikal yang mengatasnamakan nasionalisme dan agama masih marak di Indonesia. Sebut saja FPI yang saat ini bukan hanya mengincar kelompok yang mereka klaim sesat, namun juga kelompok yang dituduh ‘kiri’. Bagaimana pandangan Anda soal hal tesebut? Apa yang sebenarnya terjadi?
Secara global, saat ini era keterbukaan terasa sekali berhembus semenjak runtuhnya Uni Soviet. euforia demokrasi dan kebebasan muncul setelah itu. Dahulu Uni Soviet simbol pengekangan, lalu kemudian pecah dan buyar menjadi negara-negara kecil. Ini ditandai dengan era keterbukaan.
Sehingga orang-orang, kelompok, atau juga negara yang tadinya merasa tersisihkan atau merasa tertekan oleh kekuatan lain, mereka akhirnya berani keluar menyampaikan aspirasinya. Mereka berontak secara radikal. Jangan salah, bentuk radikalisme juga banyak dilakukan oleh negara.
Gejala itu ditopang oleh 3 hal. Pertama, karena merasa dunia itu tidak adil dan mereka merasa menjadi korban. Sebab alatnya dikuasi kekuatan luar, sehingga mereka melakukan perlawanan. Kedua, ditopang oleh ideologi. Misal kapitalisme, sosialisme atau juga komunisme yang masih ada sampai sekarang.
Negara yang mempunyai radikalisme yang masih eksis misalnya Kuba dan Korea Utara. Mereka melawan hegemoni. Dulu ada Libya dan Iran. Jadi negara-negara radikal pada tingkat global itu ada. Sementara di tingkat regional ada juga kelompok-kelompok yang selama ini tertekan, misalnya Kurdistan.
Hal yang menopang ketiga, karena ada figure yang merasa ingin memegang hegimoni, seperti Kim Il Sung (mantan Presiden Korea Utara) dan keturunannya.
Di sisi lain ada juga negara yang kemudian bergabung dengan negara yang kuat untuk eksistensi. Misal Korea Selatan bergabung dengan Amerika Serikat, lalu Singapura bekerjasama dengan Amerika Serikat dan Australia. Mereka yang bergabung karena merasa terjepit dengan negara lain. Mereka juga merasa monoritas. Mereka radikal dengan melawan, atau juga kebijakan politiknya yang radikal.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Kemudian pada tingkat nasional, negara yang plural seperti Indonesia di era keterbukaan, kelompok orang yang dulunya merasa tertekan, sekarang punya peluang untuk tampil ke permukaan. Makanya kelompok radikal di Indonesia itu kecil jumlahnya, tapi suaranya nyaring dan keras.
Kalau kelompok minoritas yang sudah mapan, dia lebih senang memerihara status quo. Mereka lebih baik diam dan tidak mau berubah. Kecuali dia tersinggung karena diusik. Kalau tidak ada yang ganggu dia diam saja dan menikmati.
Orang-orang Tionghoa yang ekonominya sudah mapan, dia kan diam saja menikmati. Lihat saja, pengembangan luar biasa di utara Jakarta. Lalu karena timbul kasus reklamasi, mereka merasa terusik. Kalau tidak mereka akan diam saja. Tapi dalam diamnya, mereka aktif memperkuat jaringan ekonomi. Jadi ada kelompok minoritas yang menikmati, lalu mereka diam.
Tapi ada juga kelompok minoritas yang dulu tergencet, mereka bicara keras. Di antaranya itu adalah misalnya masyarakat Papua semakin lantang bicara. Anak-anak Papua yang di Jogyakarta, mereka berani bicara kalau Papua ingin dibangun, lebih baik mereka merdeka. Di forum terbuka di Jakarta pun sudah berani bicara begitu. Lalu Aceh yang terus bergejolak, bagi mereka kekayaan mereka itu disedot ke luar. Mereka salah satu masyarakat yang terluka. Makanya sampai sekarang mereka menuntut terus.
Jadi aspirasi kelompok yang terpinggirkan itu muncul dari berbagai bentuk, dari iyang intelektual sampai yang tidak intelek. Jadi desentralisasi (penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah) itu membuka kran yang berpotensi menyuburkan kemarahan itu. Kemarahan ini sengaja dibuka lewat demokratisasi. Demokratisasi menurunkan tingkat kemarahan atau ketegangan. Seseorang jika tengah marah, tangannya mengepal. Ketika mulutnya dibuka dan diperdengarkan, kepalan tangannya mengendur.
Jadi semakin dibuka kebebasan berpendapat masyarakat, hiruk pikuk akan muncul. Tapi ketegangan fisik cenderung menurun. Apalagi kalau disalurkan lewat channel yang konstitusional. Seperti partai politik. Jadi kawan-kawan yang ekstrim radikal itu ada baiknya mereka bergabung ke partai politik. Jadi suaranya tersalur dan teruji di depan publik.
Persoalannya saat desentralisasi, pemerintah setempat tidak siap dan tidak bisa mengelola dengan baik, jadi rakyat tetap marah. Marahnya kepada pemerintah daerah dan pusat. Tapi dari semua itu, ada kelompok yang merasa belum tersalurkan aspirasinya. Dari posisi ekonomi dan politik. Orang-orang yang seperti inilah yang Anda sebut radikal yang suaranya mengeras.
Yang saya ceritakan itu semua radikalisme yang terjadi pada kelompok ‘kiri. Bagaimana dengan yang ‘kanan’. Ada 3 permasalahan radikalisme yang terjadi pada kelompok ‘kanan’. Pertama mereka memang punya memori yang mirip dengan aliran kiri tadi. Misalnya kakeknya termasuk orang-orang yang melakukan perlawanan, seperti PRRI, PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta tahun 1957 di Makassar). Keturunannya menuruni prinsip sikap radikal itu.
Kedua, karena paham idologis yang tetap memegang ingin membangun negara syariah. Kalau bentuk perlawanannya nulis buku, kritik dan sebagainya nggak apa-apa. Nah ini malah menjadi sempalan pengaruh luar, yaitu gejolak timur tengah.
Jadi krisis timur tengah dampaknya ke Indonesia. Israel jajah Palestina juga menimbulkan solidaritas dunia, termasuk di Indonesia. Tambah lagi sunni-syiah, dan banyak paham wahabi yang radikal. Padahal wahabi di Arab Saudi itu nggak laku. Kalau mereka ceramah ‘keras’, mereka bisa ditangkap raja. Masa di Indonesia diikuti, nggak laku di sana.
Mengapa paham wahabi bisa mudah masuk ke Indonesia?
Karena di Arab Saudi kan otoriter, penceramah di sana harus mendapatkan izin dari raja. Sementara rakyar di sana, hidupnya dimanjakan oleh raja. Di Indonesia kan alam keterbukaan dan pluralism sangat kuat. Sentuan dengan berbagai ideologi dan agama. Sehingga terjadi kontes pemikiran di ruang terbuka.
Gerakan ‘pengkafiran’ ini subur pascaorde baru. Sementara saat orde baru, pemerintan sangat protect. Saat ini gerakan seperti itu seperti dibiarkan oleh pemerintah. Sehingga yang keluar hanya imbauan. Analisa Anda, apakah di balik pembiaran ini?
Pemerintah memang meniti di antara dua hal. Antara keamanan, kedamaian dan demokrasi. Ini bagaimana mengelolanya? Sebab demokrasi itu harus noise atau ribut-ribut. Kalau nggak ribut, bukan demokrasi. Tapi di sisi lain negara yang plural dan belum mantap dari sisi demokrasi, ini akan mengganggu keamanan.
Pemerintah itu bebannya ada 2, yaitu mengawal demokrasi dengan risiko ada kebebasan sampai ribut, di sisi lain rakyat juga butuh keamanan. Kalau keamanannya terlalu dipegang dan dikekang, berarti bukan demokrasi. Tapi kalau terlalu dilepas, masyarakat juga lelah.
Demokrasi Indonesia belum mapan, tapi rakyat belum taat pada hukum. Sebab demokrasi berpasangan dengan ketaatan hukum. Demokrasi tanpa taat hukum, ya bubar. Dan taat hukum tanpa kebebasan namanya tirani. Kebebasan yang ingin dituntut, ketaatan hukum dari rakyat rendah, dan pemerintah juga belum mempunyai hukum yang kokoh dan berwibawa. Banyak jual beli hukum, dan banyak korupsi.
Bayangkan kalau Anda pemerintah, mau bagaimana? Kalau terlalu hati-hati, pasti dituduh melanggar HAM. LSM-LSM kan kencang sekali teriak HAM. Sekarang ini pemerintah repot, kalau ada orang mencurigakan tidak bisa ditangkap kalau tidak ada bukti. Jadi pemerintah serba bingung. Dibiarkan, membahayakan tapi kalau ingin ditangkap ini dikritik.
Artinya pemerintah dihadapkan pada situasi kehati-hatian untuk tidak melanggar HAM dan merusak demokrasi. Tapi di sisi lain, masyarakat menuntut keamanan. Sementara potensi radikal ada di Indonesia.
Lalu bagaimana masukan Anda agar pemerintah lebih tegas menghentikan pergerakan kelompok-kelompok radikal?
Pemerintah sudah cukup baik. Misalnya kalau radikalisme dibina dengan melibatkan unsur keagamaan dan melibatkan masyarakat dengan mengembangkan satu ideologi yang moderat. Jadi radikalisme bukan hanya musuh negara, tapi musuh masyarakat dan juga kalangan intelektual.
Kita tidak ingin terjebak dengan stigma radikalisme ini milik kelompok muslim. Tahun 2015 lalu, di media Anda pernah mengatakan budaya atua kultur Indonesia justru menyuburkan paham radikalime. Bisa Anda jelaskan pernyataan Anda itu?
Kita dipengaruhi trans-nasional budaya Timur Tengah kuat di Indonesia. Ada 7 faktor yang membuat Timur Tengah berantakan dan tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir. Pertama sentimen sukisme yang kental, konflik antara pejuang demokrasi dan pejuang yang tiran sehingga banyak negara yang jatuh satu persatu. Seperti di Tunisia, Libya, Mesir. Konflik kelompok Sunni dan Syiah juga memicu krisis politik yang berkepanjangan, konflik antara keluarga Hamsyimiyah di Jordan, kemudian intervensi asing ikut main memanfaatkan konflik regional, seperti mengincar minyak. Di Iran ada ISIS. Lalu garis perbatasan yang tidak solid. Semuanya itu hadir dan sulit di ramal kapan. Sehingga radikalisme antara agama, etnis, ekonomi, persaingan lokal-global jadi satu semua di sana. Ada aktor luar dalam yang memicu jadi satu.
Budaya Indonesia sesungguhnya jauh lebih baik. Di sana (Saudi) sultanisme masih bertanding. Di Indonesia, para sultan mendirikan republik. Begitu Indonesia berdiri, mereka rela menjadi sub culture saja. Misal di Yogyakarta dan Aceh. Kalau di Timur Tengah kesamaan agama, bahasa dan daratan tidak menyatukan.
Sehingga jika budaya Timur Tengah masuk ke Indonesia, itu akan sulit karena pilihan hidupnya sudah berbeda. Di timur tengah konflik terus, sementara di Indonesia melebur jadi satu. Jadi Indonesia jauh lebih maju. Semangat toleransi dan menerima perbedaan tinggi. Konflik yang belakangan terjadi saat ini kan karena pengaruh luar, politik. Masyarakat sendirikan, menjadikan beda agama jadi konflik.
Tapi intoleransi dan sifat radikal masih subur di masyarakat kelas bawah. Bagaimana ini?
Itu karena pengaruh dari luar. Misal konflik Ambon dan Poso, itu karena orang luar. Tapi penduduk aslinya tidak berkonflik. Selain itu lihat saja, Sunni, Syiah dan Ahmadiyah sejak dulu ada di Indonesia. Tapi damai-damai saja, baru sekarang dibuat masalah. Karena yang mempermasalahkan mendapat pengaruh dari luar.
Jadi bagaimana memperkuat menjaga identitas, tradisi, kebhinekaan, dan negara harus dekat dengan rakyat. Misalnya memberikan perhatian khusus di wilayah-wilayah yang potensi muncul radikalisme. Di mana sumber-sumber itu, selesaikan.
Lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab juga membentuk manusia yang toleran. Sebab meski Indonesia plular, tapi keseharian pergaulannya tidak setoleran. Banyak yang masih memandang agama dan suku. Apa masukan Anda soal konsep pendidikan toleran yang selama ini belum diterapkan?
Memang, pendidikan Indonesia berat tantangannya. Negaranya begitu besar. Local wisdom perlu dijaga dan dihidupkan. Identitas tradisi dan budaya. Sebab keunikan Indonesia karena pluraritas dan budayanya ini. Itu harus dijaga by desain. Pendidikan anak-anak kurang mengenalkan sisi kreatif identitas budaya setempatnya. Sementara pengaruh lokalitas globalitas sangat luar biasa. Globalitas boleh datang, tapi bukan menghancurkan, tapi memperkaya.
Lalu pendidikan kita ini kurang memberikan satu kejelasan ke depan bagi anak-anak memilih minat dan bakat, sehingg masih umum. Potensi anak tidak tersalurkan optimal. Tidak menguasai bidang begitu lulus SMA dan kuliah. Mereka harus training untuk bisa bekerja. Training terus, kapan produktifnya? Anak-anak muda kita juga miskin kebanggaan karena minim prestasi.
Tahun depan ada pilkada serentak, setelah itu Pemilihan Presiden dan Legislatif. Tiap tahun isu agama digunakan untuk menjatuhkan lawan dan menaikan pamor. Terutama untuk mencegah agama dipakai untuk menjatuhkan lawan, apa masukan Anda untuk pemerintah?
Isu SARA dalam dunia kepartaian saat ini semakin menurun dan mengendur. Karena partai-partai besar sudah tidak kental ideologinya. Partai yang kental mempunyai ideologi agama apa sih sekarang? Misal PKS dan PPP, itu pun sudah menurun kan. Yang kanan ke kiri, kiri ke kanan. Tapi ketika masuk pada Pilkada, itu bisa muncul dan masih tetap ada.
Hanya saja SARA itu jangan menjadi satu-satunya isu. SARA itu akan menjadi skunder kalau ada faktor lain yang lebih dominan bagi seseorang. Misal di Kalimantan, kreteria calon pemimpin Islam dan non Islam masih muncul. Tapi tidak seheboh di Jakarta. Desentralisasi ini secara langsung melahirkan satu kategori “pemimpin putra daerah atau tidak?”. Kalau putra daerah, tapi nggak mutu, bagaimana? Yang rugi rakyat sendiri.
Di Jakarta, faktor Ahok juga menarik karena dia non muslim, Cina, masih muda dan gaya retorikanya meledak. Jadi banyak faktor yang menyatu. Dia juga berprestasi dan calon independen.
Apakah serangan SARA ke Ahok berpengaruh menurunkan pamornya?
Ada saja pengaruhnya. Pengaruh negatifnya bisa menurunkan, tapi bisa juga menambah populer. Hanya saja, Ahok bagi saya memberikan amunisi untuk mendewasakan demokrasi. Karena dia independen, dia mengandalkan transparansi, dia punya rekam jejak yang jelas. Dia memaksa palpol harus menurunkan pendekar yang setingkat. Kalau tidak, bisa terlibas.
Biografi lengkap Komaruddin Hidayat
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953. Dia merupakan mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2006 sampai 2015. Pemikiran-pemikirannya soal toleransi dan sosial banyak dimuat di media massa.
Komarudin besari di lingkungan pesantren. Dia merupakan alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana lengkap di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta.
Lalu dia melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990). Dia juga menyelesaikan Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Connecticut, AS, selama satu semester (1997). Selain itu dia menyelesaikan International Visitor Program (IVP) ke AS (2002).