Komaruddin Hidayat: Radikalisme, HAM dan Beban Pemerintah

Senin, 11 April 2016 | 07:00 WIB
Komaruddin Hidayat: Radikalisme, HAM dan Beban Pemerintah
Komaruddin Hidayat. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Mengapa paham wahabi bisa mudah masuk ke Indonesia?

Karena di Arab Saudi kan otoriter, penceramah di sana harus mendapatkan izin dari raja. Sementara rakyar di sana, hidupnya dimanjakan oleh raja. Di Indonesia kan alam keterbukaan dan pluralism sangat kuat. Sentuan dengan berbagai ideologi dan agama. Sehingga terjadi kontes pemikiran di ruang terbuka.

Gerakan ‘pengkafiran’ ini subur pascaorde baru. Sementara saat orde baru, pemerintan sangat protect. Saat ini gerakan seperti itu seperti dibiarkan oleh pemerintah. Sehingga yang keluar hanya imbauan. Analisa Anda, apakah di balik pembiaran ini?

Pemerintah memang meniti di antara dua hal. Antara keamanan, kedamaian dan demokrasi. Ini bagaimana mengelolanya? Sebab demokrasi itu harus noise atau ribut-ribut. Kalau nggak ribut, bukan demokrasi. Tapi di sisi lain negara yang plural dan belum mantap dari sisi demokrasi, ini akan mengganggu keamanan.

Pemerintah itu bebannya ada 2, yaitu mengawal demokrasi dengan risiko ada kebebasan sampai ribut, di sisi lain rakyat juga butuh keamanan. Kalau keamanannya terlalu dipegang dan dikekang, berarti bukan demokrasi. Tapi kalau terlalu dilepas, masyarakat juga lelah.

Demokrasi Indonesia belum mapan, tapi rakyat belum taat pada hukum. Sebab demokrasi berpasangan dengan ketaatan hukum. Demokrasi tanpa taat hukum, ya bubar. Dan taat hukum tanpa kebebasan namanya tirani. Kebebasan yang ingin dituntut, ketaatan hukum dari rakyat rendah, dan pemerintah juga belum mempunyai hukum yang kokoh dan berwibawa. Banyak jual beli hukum, dan banyak korupsi.

Bayangkan kalau Anda pemerintah, mau bagaimana? Kalau terlalu hati-hati, pasti dituduh melanggar HAM. LSM-LSM kan kencang sekali teriak HAM. Sekarang ini pemerintah repot, kalau ada orang mencurigakan tidak bisa ditangkap kalau tidak ada bukti. Jadi pemerintah serba bingung. Dibiarkan, membahayakan tapi kalau ingin ditangkap ini dikritik.

Artinya pemerintah dihadapkan pada situasi kehati-hatian untuk tidak melanggar HAM dan merusak demokrasi. Tapi di sisi lain, masyarakat menuntut keamanan. Sementara potensi radikal ada di Indonesia.

Lalu bagaimana masukan Anda agar pemerintah lebih tegas menghentikan pergerakan kelompok-kelompok radikal?

Pemerintah sudah cukup baik. Misalnya kalau radikalisme dibina dengan melibatkan unsur keagamaan dan melibatkan masyarakat dengan mengembangkan satu ideologi yang moderat. Jadi radikalisme bukan hanya musuh negara, tapi musuh masyarakat dan juga kalangan intelektual.

Kita tidak ingin terjebak dengan stigma radikalisme ini milik kelompok muslim. Tahun 2015 lalu, di media Anda pernah mengatakan budaya atua kultur Indonesia justru menyuburkan paham radikalime. Bisa Anda jelaskan pernyataan Anda itu?

Kita dipengaruhi trans-nasional budaya Timur Tengah kuat di Indonesia. Ada 7 faktor yang membuat Timur Tengah berantakan dan tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir. Pertama sentimen sukisme yang kental, konflik antara pejuang demokrasi dan pejuang yang tiran sehingga banyak negara yang jatuh satu persatu. Seperti di Tunisia, Libya, Mesir. Konflik kelompok Sunni dan Syiah juga memicu krisis politik yang berkepanjangan, konflik antara keluarga Hamsyimiyah di Jordan, kemudian intervensi asing ikut main memanfaatkan konflik regional, seperti mengincar minyak. Di Iran ada ISIS. Lalu garis perbatasan yang tidak solid. Semuanya itu hadir dan sulit di ramal kapan. Sehingga radikalisme antara agama, etnis, ekonomi, persaingan lokal-global jadi satu semua di sana. Ada aktor luar dalam yang memicu jadi satu.

Budaya Indonesia sesungguhnya jauh lebih baik. Di sana (Saudi) sultanisme masih bertanding. Di Indonesia, para sultan mendirikan republik. Begitu Indonesia berdiri, mereka rela menjadi sub culture saja. Misal di Yogyakarta dan Aceh. Kalau di Timur Tengah kesamaan agama, bahasa dan daratan tidak menyatukan.

Sehingga jika budaya Timur Tengah masuk ke Indonesia, itu akan sulit karena pilihan hidupnya sudah berbeda. Di timur tengah konflik terus, sementara di Indonesia melebur jadi satu. Jadi Indonesia jauh lebih maju. Semangat toleransi dan menerima perbedaan tinggi. Konflik yang belakangan terjadi saat ini kan karena pengaruh luar, politik. Masyarakat sendirikan, menjadikan beda agama jadi konflik.

Tapi intoleransi dan sifat radikal masih subur di masyarakat kelas bawah. Bagaimana ini?

Itu karena pengaruh dari luar. Misal konflik Ambon dan Poso, itu karena orang luar. Tapi penduduk aslinya tidak berkonflik. Selain itu lihat saja, Sunni, Syiah dan Ahmadiyah sejak dulu ada di Indonesia. Tapi damai-damai saja, baru sekarang dibuat masalah. Karena yang mempermasalahkan mendapat pengaruh dari luar.

Jadi bagaimana memperkuat menjaga identitas, tradisi, kebhinekaan, dan negara harus dekat dengan rakyat. Misalnya memberikan perhatian khusus di wilayah-wilayah yang potensi muncul radikalisme. Di mana sumber-sumber itu, selesaikan.

Lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab juga membentuk manusia yang toleran. Sebab meski Indonesia plular, tapi keseharian pergaulannya tidak setoleran. Banyak yang masih memandang agama dan suku. Apa masukan Anda soal konsep pendidikan toleran yang selama ini belum diterapkan?

Memang, pendidikan Indonesia berat tantangannya. Negaranya begitu besar. Local wisdom perlu dijaga dan dihidupkan. Identitas tradisi dan budaya. Sebab keunikan Indonesia karena pluraritas dan budayanya ini. Itu harus dijaga by desain. Pendidikan anak-anak kurang mengenalkan sisi kreatif identitas budaya setempatnya. Sementara pengaruh lokalitas globalitas sangat luar biasa. Globalitas boleh datang, tapi bukan menghancurkan, tapi memperkaya.

Lalu pendidikan kita ini kurang memberikan satu kejelasan ke depan bagi anak-anak memilih minat dan bakat, sehingg masih umum. Potensi anak tidak tersalurkan optimal. Tidak menguasai bidang begitu lulus SMA dan kuliah. Mereka harus training untuk bisa bekerja. Training terus, kapan produktifnya? Anak-anak muda kita juga miskin kebanggaan karena minim prestasi.

Tahun depan ada pilkada serentak, setelah itu Pemilihan Presiden dan Legislatif. Tiap tahun isu agama digunakan untuk menjatuhkan lawan dan menaikan pamor. Terutama untuk mencegah agama dipakai untuk menjatuhkan lawan, apa masukan Anda untuk pemerintah?

Isu SARA dalam dunia kepartaian saat ini semakin menurun dan mengendur. Karena partai-partai besar sudah tidak kental ideologinya. Partai yang kental mempunyai ideologi agama apa sih sekarang? Misal PKS dan PPP, itu pun sudah menurun kan. Yang kanan ke kiri, kiri ke kanan. Tapi ketika masuk pada Pilkada, itu bisa muncul dan masih tetap ada.

Hanya saja SARA itu jangan menjadi satu-satunya isu. SARA itu akan menjadi skunder kalau ada faktor lain yang lebih dominan bagi seseorang. Misal di Kalimantan, kreteria calon pemimpin Islam dan non Islam masih muncul. Tapi tidak seheboh di Jakarta. Desentralisasi ini secara langsung melahirkan satu kategori “pemimpin putra daerah atau tidak?”. Kalau putra daerah, tapi nggak mutu, bagaimana? Yang rugi rakyat sendiri.

Di Jakarta, faktor Ahok juga menarik karena dia non muslim, Cina, masih muda dan gaya retorikanya meledak. Jadi banyak faktor yang menyatu. Dia juga berprestasi dan calon independen.

Apakah serangan SARA ke Ahok berpengaruh menurunkan pamornya?

Ada saja pengaruhnya. Pengaruh negatifnya bisa menurunkan, tapi bisa juga menambah populer. Hanya saja, Ahok bagi saya memberikan amunisi untuk mendewasakan demokrasi. Karena dia independen, dia mengandalkan transparansi, dia punya rekam jejak yang jelas. Dia memaksa palpol harus menurunkan pendekar yang setingkat. Kalau tidak, bisa terlibas.

Biografi lengkap Komaruddin Hidayat

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953. Dia merupakan mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2006 sampai 2015. Pemikiran-pemikirannya soal toleransi dan sosial banyak dimuat di media massa.

Komarudin besari di lingkungan pesantren. Dia merupakan alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana lengkap di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta.

Lalu dia melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990). Dia juga menyelesaikan Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Connecticut, AS, selama satu semester (1997). Selain itu dia menyelesaikan International Visitor Program (IVP) ke AS (2002).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI