Komaruddin Hidayat: Radikalisme, HAM dan Beban Pemerintah

Senin, 11 April 2016 | 07:00 WIB
Komaruddin Hidayat: Radikalisme, HAM dan Beban Pemerintah
Komaruddin Hidayat. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pelarangan pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ di Goethe Institute, Jalan Diponegoro, Jakarta, pertengahan Maret 2016 lalu menambah daftar sikap pemerintah yang kalah dengan keinginan kelompok radikal. Saat itu FPI meminta film itu tidak diputar. Polisi menuruti dan meminta penyedia tempat pemutaran agar tidak memberikan izin.

Sebelum itu, polisi juga memaksa Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat juga tidak digelar. Alasannya ada organisasi masyarakat yang menolak festival yang membahas sejarah gerakan kiri Indonesia tersebut.

Hal serupa juga terjadi di Bandung. FPI melakukan tekanan terhadap pertunjukan monolog ‘Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah’ di Gedung Institut Francais Indonesia, Bandung, Jawa Barat. Monolog itu pun dibatalkan karena FPI menyerang dan memaksa pertunjukan dibubarkan.

Pelarangan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah pun masih berlanjut. Terakhir larangan eksistensi Ahmadiyah di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Mereka diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Polisi pun membiarkan pengusiran terjadi. Kejadian ini rutin terjadi dengan modus dan alasan yang sama. Polisi pun selalu membiarkan kelompok minoritas menjadi korban.

Padahal Indonesia disebut sebagai negara yang mempunyai berbagaimacam suku dan agama. Bahkan Indonesia pernah disebut sebagai negara paling toleran dan menghargai perbedaan.

Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat pun mengakui jika Indonesia negara yang plural. Masyarakat aslinya menghargai perbedaan suku, ras, dan agama. Namun klaim itu sudah berubah saat ini.

Menurut dia, Indonesia menjadi negara yang dihantui sikap radikal warganya. Buktinya banyak pengekangan kebebasan ekspresi, berkeyakinan dan berpendapat oleh kelompok yang mengatasnamakan agama. Tapi menurutnya itu ‘normal’ sebagai negara demokrasi.

Tapi dia memberikan catatan agar Indonesia waspada serangan ‘radikalisme’. Pemerintah harus lebih siap menghadapinya.

Mengapa radikalisme mengancam Indonesia? Darimana asal sikap radikal itu? Mengapa juga selama ini pemerintah cenderung membiarkan sikap radikal beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama? Apa yang perlu dilakukan pemerintah agar berani memberantas radikalisme?

Simak wawancara khusus suara.com dengan Profesor Komaruddin Hidayat di kediamannya di Ciputat, Tangerang Selatan, pekan lalu:

Aksi kelompok radikal yang mengatasnamakan nasionalisme dan agama masih marak di Indonesia. Sebut saja FPI yang saat ini bukan hanya mengincar kelompok yang mereka klaim sesat, namun juga kelompok yang dituduh ‘kiri’. Bagaimana pandangan Anda soal hal tesebut? Apa yang sebenarnya terjadi?

Secara global, saat ini era keterbukaan terasa sekali berhembus semenjak runtuhnya Uni Soviet. euforia demokrasi dan kebebasan muncul setelah itu. Dahulu Uni Soviet simbol pengekangan, lalu kemudian pecah dan buyar menjadi negara-negara kecil. Ini ditandai dengan era keterbukaan.

Sehingga orang-orang, kelompok, atau juga negara yang tadinya merasa tersisihkan atau merasa tertekan oleh kekuatan lain, mereka akhirnya berani keluar menyampaikan aspirasinya. Mereka berontak secara radikal. Jangan salah, bentuk radikalisme juga banyak dilakukan oleh negara.

Gejala itu ditopang oleh 3 hal. Pertama, karena merasa dunia itu tidak adil dan mereka merasa menjadi korban. Sebab alatnya dikuasi kekuatan luar, sehingga mereka melakukan perlawanan. Kedua, ditopang oleh ideologi. Misal kapitalisme, sosialisme atau juga komunisme yang masih ada sampai sekarang.

Negara yang mempunyai radikalisme yang masih eksis misalnya Kuba dan Korea Utara. Mereka melawan hegemoni. Dulu ada Libya dan Iran. Jadi negara-negara radikal pada tingkat global itu ada. Sementara di tingkat regional ada juga kelompok-kelompok yang selama ini tertekan, misalnya Kurdistan.

Hal yang menopang ketiga, karena ada figure yang merasa ingin memegang hegimoni, seperti Kim Il Sung (mantan Presiden Korea Utara) dan keturunannya.

Di sisi lain ada juga negara yang kemudian bergabung dengan negara yang kuat untuk eksistensi. Misal Korea Selatan bergabung dengan Amerika Serikat, lalu Singapura bekerjasama dengan Amerika Serikat dan Australia. Mereka yang bergabung karena merasa terjepit dengan negara lain. Mereka juga merasa monoritas. Mereka radikal dengan melawan, atau juga kebijakan politiknya yang radikal.

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Kemudian pada tingkat nasional, negara yang plural seperti Indonesia di era keterbukaan, kelompok orang yang dulunya merasa tertekan, sekarang punya peluang untuk tampil ke permukaan. Makanya kelompok radikal di Indonesia itu kecil jumlahnya, tapi suaranya nyaring dan keras.

Kalau kelompok minoritas yang sudah mapan, dia lebih senang memerihara status quo. Mereka lebih baik diam dan tidak mau berubah. Kecuali dia tersinggung karena diusik. Kalau tidak ada yang ganggu dia diam saja dan menikmati.

Orang-orang Tionghoa yang ekonominya sudah mapan, dia kan diam saja menikmati. Lihat saja, pengembangan luar biasa di utara Jakarta. Lalu karena timbul kasus reklamasi, mereka merasa terusik. Kalau tidak mereka akan diam saja. Tapi dalam diamnya, mereka aktif memperkuat jaringan ekonomi. Jadi ada kelompok minoritas yang menikmati, lalu mereka diam.

Tapi ada juga kelompok minoritas yang dulu tergencet, mereka bicara keras. Di antaranya itu adalah misalnya masyarakat Papua semakin lantang bicara. Anak-anak Papua yang di Jogyakarta, mereka berani bicara kalau Papua ingin dibangun, lebih baik mereka merdeka. Di forum terbuka di Jakarta pun sudah berani bicara begitu. Lalu Aceh yang terus bergejolak, bagi mereka kekayaan mereka itu disedot ke luar. Mereka salah satu masyarakat yang terluka. Makanya sampai sekarang mereka menuntut terus.

Jadi aspirasi kelompok yang terpinggirkan itu muncul dari berbagai bentuk, dari iyang intelektual sampai yang tidak intelek. Jadi desentralisasi (penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah) itu membuka kran yang berpotensi menyuburkan kemarahan itu. Kemarahan ini sengaja dibuka lewat demokratisasi. Demokratisasi menurunkan tingkat kemarahan atau ketegangan. Seseorang jika tengah marah, tangannya mengepal. Ketika mulutnya dibuka dan diperdengarkan, kepalan tangannya mengendur.

Jadi semakin dibuka kebebasan berpendapat masyarakat, hiruk pikuk akan muncul. Tapi ketegangan fisik cenderung menurun. Apalagi kalau disalurkan lewat channel yang konstitusional. Seperti partai politik. Jadi kawan-kawan yang ekstrim radikal itu ada baiknya mereka bergabung ke partai politik. Jadi suaranya tersalur dan teruji di depan publik.

Persoalannya saat desentralisasi, pemerintah setempat tidak siap dan tidak bisa mengelola dengan baik, jadi rakyat tetap marah. Marahnya kepada pemerintah daerah dan pusat. Tapi dari semua itu, ada kelompok yang merasa belum tersalurkan aspirasinya. Dari posisi ekonomi dan politik. Orang-orang yang seperti inilah yang Anda sebut radikal yang suaranya mengeras.

Yang saya ceritakan itu semua radikalisme yang terjadi pada kelompok ‘kiri. Bagaimana dengan yang ‘kanan’. Ada 3 permasalahan radikalisme yang terjadi pada kelompok ‘kanan’. Pertama mereka memang punya memori yang mirip dengan aliran kiri tadi. Misalnya kakeknya termasuk orang-orang yang melakukan perlawanan, seperti PRRI, PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta tahun 1957 di Makassar). Keturunannya menuruni prinsip sikap radikal itu.

Kedua, karena paham idologis yang tetap memegang ingin membangun negara syariah. Kalau bentuk perlawanannya nulis buku, kritik dan sebagainya nggak apa-apa. Nah ini malah menjadi sempalan pengaruh luar, yaitu gejolak timur tengah.

Jadi krisis timur tengah dampaknya ke Indonesia. Israel jajah Palestina juga menimbulkan solidaritas dunia, termasuk di Indonesia. Tambah lagi sunni-syiah, dan banyak paham wahabi yang radikal. Padahal wahabi di Arab Saudi itu nggak laku. Kalau mereka ceramah ‘keras’, mereka bisa ditangkap raja. Masa di Indonesia diikuti, nggak laku di sana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI