Rhenald Kasali: "Sharing Economy" dan Bisnis Murah Masa Kini

Senin, 28 Maret 2016 | 07:00 WIB
Rhenald Kasali: "Sharing Economy" dan Bisnis Murah Masa Kini
Rhenald Kasali. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pakar Manajemen dan Bisnis, Rhenald Kasali baru saja dinobatkan sebagai salah satu guru manajemen dunia. Dia disejajarkan dengan pakar manajemen dunia.

Menariknya, Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia itu menjadi satu-satunya orang Indonesia yang masuk ke dalam Top 30 Global Gurus in Management. Penghargaan ini diberikan lembaga riset The Global Guru. Rhenald disejajarkan dengan John P Kotter (Harvard Business School, AS), Clayton Christensen (Harvard Business School, AS), atau juga Roger Martin (the Rotman School of Management, Kanada).

Ditemui suara.com di kantor Rumah Perubahan, Bekasi, Jawa Barat pekan lalu, Rhenald mengaku terkejut saat pertama kali mendapat kabar itu. Sebab dia tidak mendaftar atau juga berharap dapat penghargaan.

"Waktu ada surat masuk di email, saya tanya ke teman-teman ini hoax apa bukan? Siapa orang jahil yang mengirimkannya? Cari dan telusuri, jangan-jangan ada yang jahil," ceritanya.

Rhenald banyak menghasilkan pengusaha sukses melalui School of Entrepreneur yang dia dirikan. Menurut dia, penghargaan dunia terhadap seorang pakar manajemen di Indonesia sangat berarti. Sebab, kualitas penilaian itu berdasarkan karya yang dihasilkan. Sehingga objektif. Karirnya sebagai ilmuan, Rhenald banyak melakukan inovasi melalui pemikirannya. Dia pernah mempopulerkan istilah etika entrepreneur dan social entrepreneur.

Setelah konsep etika entrepreneur dan social entrepreneur, saat ini Rhenald mempopulerkan konsep bisnis sharing economy. Sharing economy menjadi tren bisnis masa kini. Bentuk bisnis itu menciptakan banyak peluang di tengah persaingan global dan perkembangan teknologi.

Lelaki bergelar profesor ilmu  manajemen itu mengatakan dampak nyata bentuk bisnis sharing economy di Indonesia adalah demo sopir taksi yang berujung anarkis, Selasa (22/3/2016) pekan lalu. Para sopir taksi protes dengan kemunculan bisnis transportasi online. Hasil dari demo itu, pemerintah meminta pebisnis transportasi online mengikuti peraturan ‘transportasi konvensional’ lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Rhenald Kasali menilai keputusan itu kurang tepat dan tidak menyelesaikan masalah.

Menurut Rhenald, pemerintah perlu membuat terobosan ‘radikal’ untuk menyambut konsep bisnis baru tersebut. Terobosan apa itu?

Dalam wawancara khusus ini, Rhenald pun banyak memberikan solusi agar Indonesia mempunyai banyak pengusaha baru.

Simak wawancara lengkap suara.com dengan Rhenald Kasali berikut ini:

Anda masuk ke dalam Top 30 Global Gurus in Management 2016 yang dirilis oleh lembaga riset The Global Gurus, Maret kemarin. Anda dijajarkan dengan ekonom dunia. Apa arti penghargaan ini untuk Anda secara khusus, dan Indonesia secara umum?

Tentu kita syukuri sebagai Bangsa karena ada nama Indonesia di sana. Walau kami sendiri tidak pernah memikirkan itu, tahu pun tidak, dan mendaftar pun tidak. Secara personal, biasa saja tidak ada satu yang spesial. Mungkin pandagan orang jadi lebih baik. Tapi tidak pernah bekerja untuk dapat penghargaan.

Anak-anak di sini (karyawan di Rumah Perubahan) tanya, bapak kasih penghargaan terus, kapan dapat penghargaannya? Saya bilang kita harus menghargai orang lain, karena kita guru. Saya banyak sekali terlibat dalam penjurian. Kan ada orang yang kerjanya menyebarkan proposal dan minta di-vote, kami tidak pernah melakukan itu. Tapi penghargaan ini, bagi Indonesia adalah sebuah prestasi.

Anda disejajarkan dengan orang-orang yang juga masuk ke dalam Top 30 Global Gurus in Management 2016 itu, seperti John P Kotter (Harvard Business School, AS), Clayton Christensen (Harvard Business School, AS), atau juga Roger Martin (the Rotman School of Management, Kanada). Anda merasa sejajar dengan mereka?

Tidak. Saya pasti pembaca buku mereka. Tapi mereka membaca buku saya, belum tentu. Kami sering bertemu di forum internasional. Tapi kan biasa para akademisi bertemu. Karena kami bukan akademisi yang pop culture atau popular. Kami komunitas dari dunia yang sangat serius, ilmuan. Kami berbagi hasil riset, persentasikan apa yang kami lalukan dan temukan dalam forum internasional. Boleh dikatakan saya mengidolakan dan membaca buku mereka. Dunia akademis karya mereka sangat digunakan.

Anda sempat tidak percaya masuk sejajar dengan mereka?

Iya. Waktu ada surat masuk di email, saya tanya ke teman-teman ini hoax apa bukan? Siapa orang jahil yang mengirimkannya? Cari dan telusuri, jangan-jangan ada yang jahil.

Sejauhmana dunia memandang eksistensi pakar ekonomi Indonesia?

Cara pandang untuk menguji karya perorangan berbeda antara Indonesia dengan negara barat. Mereka menghargai orang dilihat dari karya-karyanya, tidak memandang orang itu siapa. Bahkan dari bangsa mana, itu juga tidak penting. Kami sudah milik komunitas global yang dilihat dari karyanya. Pribadi kami, tidak dikenal seperti di Indonesia.

Kalau di Indonesia, mungkin kami ini bintang televisi. Mengapa menjadi bintang? Karena ini adalah public education yang di Indonesia ditempuh dengan cara pop culture, begitu kita kasih bahasan yang lebih berat pasti nggak nyabung sama masyarakat. Karena masyarakat kita belum menjadi pembaca serius. Makanya harus diberikan contoh atau juga sentuhan emosional. Kalau di dunia ilmiah itu dianggap menipu. Di dunia ilmiah, punya sosok sendiri yang serius.

Saya harus memberikan contoh yang baik menghadapi para pemain draman di televisi. Makanya di Indonesia lebih susah. Bayangkan bagaimana caranya menasihati politisi di DPR, sementara mereka para lulusan sarjana dari universitas negeri dan terbaik, sudah menjadi ‘pemain teater’. Di depan rakyat mereka pro rakyat dan religius, tapi di belakang mereka berpelukan dan bagi-bagi duit.

Bagiamana saya harus bicara di depan pemerintah daerah (Pemda) yang aparaturnya tidak betah duduk lama-lama. Saya harus jaga ritme kata-kata dan pijet yang kuat kaki agar berenergi. Sampai last minute, saya harus mengubah materi karena melihat suasana.

Artinya pembawaan Anda berbeda di setiap tempat?

Iya. Di kampus, seminar, televisi, dan media berbeda. Tapi basisnya sama, scientific. Kami bukan dunia gossip dan opini. Jadi saya sempat gelisah kalau orang menyebut saya motivator. Karena motivator itu kan tidak scientific. Mereka berdasarkan cerita, baca dan keriangan di lapangan memotivasi sudah menjadi stand up comedian dan menjadi hiburan. Orang di lapangan suruh teriak, angkat tangan dan pijet-pijetan. Misalnya si motivator bilang, “tidak perlu kerja keras, yang penting cepat kaya.” Bagaimana itu? Di otak saya nggak bisa sampai. Mereka terinspirasi buku, dan langsung bicara tanpa kritis membaca. Sebagai akademisi, itu bukan hal yang bisa saya ajarkan ke anak-anak saya.

Kiprah Anda sebagai praktisi manajemen sudah dikenal luas. Lalu tahun 2007, Anda mendirikan Rumah Perubahan. Sudah sejauh mana lembaga yang Anda dirikan ini membuat perubahan?

Kita kecil, perubahan yang sudah kita lakukan kecil. Tempat kita saja masuk kampung, jalan kecil. Kami bekerja dengan anak-anak muda, mereka lah sumber inspirasi kami. Kami bergulat pada pemikiran dimulai dari tahun 2004, kami buat buku yang judulnya ‘Change’. Sejak itu orang di mana-mana ngomongnya perubahan. Kami bukan lembaga bisis, tapi lembaga inspiratif yang membuat sesuatu dan bisa dicontoh orang lain. Sehingga bermanfaat untuk komunitas kecil. Kami menjual pelatihan dan itu laku.

Kami ke Pulau Buru di pedalaman bersama masyarakat adat dan transmigran. Kami membangun integrated farming. Ada 150 ekor sapi yang kami kelola dengan cara syariah atau bagi hasil. Kotoran sapi dijadikan bio gas yang bisa dibawa pulang oleh masyarakat yang mengelola. Karena di sana tidak ada listrik. Kemudian siang hari mereka menyuling minyak kayu putih dengan alat yang kami sediakan. Hasil penjualan akan dibagi dengan sistem syariah.

Kami juga menanam kopi di pegunungan Marapi, Sumatera Barat. Di sana tempat nenek moyangnya orang Padang. Sebanyak 30 ribu pohon Kopi yang kami tanam sudah berbuah dan menjadi salah satu yang terbaik. Kami juga membuat taman kanak-kanak di dekat kantor Rumah Perubahan di Bekasi. Gratis untuk masyarakat sini tapi kualitasnya internasional. Ada juga yang bayar, karena untuk mereka merasa percaya diri karena tidak gratisan. Alat-alat di TK itu kualitas internasional, kalau ke luar negeri kami beli. Sebanyak 8 anak diasuh oleh 1 guru.

Rumah Perubahan juga menjadi sekolah untuk membentuk pengusaha atau entrepreneur. Seperti apa konsepnya?

Tahun 1998 terjadi krisis multidimensi, saya baru pulang dari Amerika. Semua orang bilang saya aneh malah pulang ke Indonesia saat krisis. Tapi keluarga, masa depan dan tempat kerja saya di Indonesia, di Universitas Indonesia. Akhirnya saya bertemu dengan Malik Sjafei, salah satu yang punya Radio Prambors. Dia menawarkan mengisi acara di radionya. Saat itu saya banyak membawa entrepreneur, ternyata menarik. Saya membawa program itu ke televisi. Saya kampanyekan kewirausaan, dan masuk ke pikiran orang.

Saya tunjukan ke masyarakat, kalau kita bisa. Padahal saat itu semua berita memberitakan pengusaha Indonesia bangkrut dan semua kelaparan, tidak punya pekerjaan. Tapi saat itu saya bicara soal harapan. Saat itu pengusaha sudah membuka usahanya. Saya percaya, pasar tetap ada tapi keinginan membeli tidak ada karena semua orang ditakut-takutin karena PHK.

Saya ngobrol dengan teman-teman, akhirnya saya bikin sekolah kewirausahaan. Beberapa pengusaha datang ke sini. Banyak yang sudah dihasilkan dari sekolah ini. Tapi saya kecewa, banyak yang sudah jadi pengusaha, dan datang ke sini malah jadi motivator. Meng-copy bahan-bahan saya dan disampaikan ulang tanpa mempunyai basic science-nya.

Usaha mereka pun ditinggal dan menjadi motivator karena dianggap lebih untung sekali ngomong Rp1 juta. Mereka mengajarkan bagaimana menjadi kaya. Kata saya, itu salah. Kaya itu bukan tujuan, tapi akibat. Kaya itu karena Anda bisa membuat banyak hal yang bagus, jadi pengusaha jujur, sehingga banyak orang yang beli.

Dahulu saya mengajarkan soal etika entrepreneur, lalu social entrepreneur. Saat ini saya sudah bicara soal sharing economy dan dampaknya kemarin demo sopir taksi segala.

Catatan Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2015, jumlah pengusaha di Indonesia sekitar 1,65 persen dari jumlah penduduk. Jauh dari persentase di Singapura (7 persen) atau juga Malaysia (5 persen). Dengan persentase sekecil itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar di MEA. Apa masalah yang dihadapi Indonesia?

Saya tidak peraya data itu. Datanya dari mana? Tidak kritis untuk saya. Kenapa? Saya baru keluar rumah, setiap orang sudah buka warung. Sepanjang 10 meter sekali ada pedagang. Apakah mereka bukan entrepreneur? Banyak tukang ojek, apakah mereka bukan entrepreneur? Lihat sepanjang jalan ke Sukabumi, di sana pedagang semua. Menurut saya jauh jauh lebih banyak dari data itu. Orang Indonesia itu semangat dagang, hanya saja mereka pengusaha kecil yang lemah. Lemah modal, lemah pendidikan, tidak dibantu oleh pemerintah. Pemerintah baru membantu yang terdidik, yang lemah ini bagaimana?

Mereka juga tidak mempuyai tempat promosi seperti anak-anak muda yang mepunyai smartphone sebagai tempat promosi. Harus ada bantuan dari tangan pemerintah yang menyediakan tempat gratis dan lampu yang terang.

Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong agar masyarakat bisa berjiwa wirausaha?

Jaman sekarang kalau Kementerian Koperasi dan UMKM lewat KUR hanya memberikan Rp10 juta, buat apa? Nggak jadi apa-apa untuk mendirikan usaha. Membuat akte pendirian perusahaan saja Rp15 juta. Lalu harus sewa tempat dan izin lokasi, bayar lagi minimal Rp10 juta. Akhirnya mereka bisanya masuk ke sektor informal, nggak bayar pajak. Jangan salahkan mereka.

Pemerintah bisa memberikan kesempatan pengusaha muda untuk menggarap proyek pengadaan barang. Sengan catatan perusahaan baru itu sudah terbukti punya barang dan berjalan minimal 2 tahun. Mereka juga bisa diberikan modal dasar yang lebih besar. Selain itu dilibatkan dalam beberapa jaringan. Banyak sekali yang bisa dilakukan. Anak muda ini memerlukan lebih dari sekadar modal, mereka memerlukan akses yang terbuka lebar.

Belakangan terjadi persaingan antara bisnis transportasi online dan konvennsional. Ini berujung pada demo sopir taksi di Jakarta. Seperti Anda memandang persaingan bisnis ini?

Masalah taksi, saya memikirkan bukan hanya bicara soal anak muda yang senang dengan taksi murah. Tapi saya memikirkan nasib para sopir. Kalau saya mencibir taksi yang lama, saya tahu di sana tidak ada sopir yang bergaji baik dan tidak mempunyai rumah sampai saat ini.

Jadi kalau pemerintah mengatakan peraturan soal transportasi sudah bagus, saya bertanya di mana bagusnya? Bagus bagi siapa? Pengusaha taksi? Puluhan tahun mereka jadi sopir taksi, tapi belum punya rumah. Rumah mereka di pinggir sungai dan jadi korban gusuran, mereka tidur di pinggir jalan dengan jam kerja yang gila.

Sayang, pemerintahnya masih menerapkan peraturan dengan sistem konvensional. Sementara rakyatnya sudah mau sistem transportasi berbasis aplikasi. Jika mengikuti sistem aplikasi, biaya transportasi jadi murah. Tapi mengapa pemerintah maunya di konvensional? Jangan-jangan ada udang di balik batu? Cost-nya besar ke pemerintah karena semua ada duitnya. Biaya KIR, kalau 1 mobil perenam bulan bayar Rp60 ribu, ada berapa banyak mobil dan banyak pendapatan? Berapa yang bisa dijadikan biaya tunjangan PNS? Membuat SIM B Umum, apakah masih perlu? Kayaknya nggak tambah keahlian dengan dengan ganti SIM itu. Sekarang ini zamannnya sudah beda.

Kenapa terjadi sampai ricuh? Pertama karena yang barunya ini (transportasi online) kan baru tahap promosi. Mereka bilang, gaji sopirnya besar sampai Rp14 juta sebulan atau Rp500 ribu sehari. Mendengar ini, sopir taksi konvensional pasti lemes. Sopir taksi pangkalan bilang, cari Rp100 ribu saja sulit. Bos taksi itu bilang ada persaingan tidak sehat, ini kan aneh.

Saya buka data keuntungan Blue Bird dan Ekspress di bursa saham, karena mereka perusahaan go public. Keuntungan mereka besar, sampai triliunan. Mengapa uang itu tidak didistribusikan kepada sopir-sopir. Maka perusahaan ini mengambil keuntungan lebih besar daripada seharusnya.

Seharusnya perusahaan itu yang memperbaiki perusahaan. Mana perhatian pemerintah? Pajak perusahaan itu sudah banyak sekali. Negara terlalu banyak mengambil pajak dari perusahaan taksi, sehingga sopir taksi mengambil banyak (setoran) dari sopir. Ini sangat tidak asing.

Lalu banyak yang bilang di belakang demo itu ada konglomerat. Saya bilang, ini sharing economy.

Apakah yang dimaksud sharing economy?

Ini model bisnis masa kini. Dulu, orangtua kita mempunyai sebidang tanah yang menganggur dan tak menghasilkan. Bingung ingin apakan tanah itu. Saat ini, dengan konsep sharing maka siapapun bisa menggarap lahan tersebut. Misal ada sekelompok orang ingin bertani, maka mereka menanam hasil pertanian di sana. Keuntungan dibagi dengan si pemilik.

Sharing ekonomi ini juga bisa diterapkan dalam bisnis property, salah satunya jasa penginapan. Seseorang yang mempunyai kamar kosong di rumahnya bisa menyewakan kamar itu harian kepada traveler. Bahkan si pemilik rumah bisa menjadi tour guide.

Sekarang cost bisnis lebih murah karena sistem sharing, semua orang patungan. Misal dalam kasus transprtasi online, taksi sudah tidak perlu pakai pool karena mobil diparkir di rumah masing-masing. Orang yang punya dua mobil, satu mobil bisa dibuat taksi online.

Jika sharing economy menjadi besar di Indonesia, maka ini akan menjadikan perubahan besar. Sebut saja, akan terjadi deflasi karena semua serba murah. Di sektor pariwisata, jumlah turis akan meningkat karena ada budget yang terpangkas, yaitu hotel. Mereka bisa mendapatkan menginap murah di rumah warga yang melakukan sharing economy. Sehingga untuk menjadi pengusaha hotel, tidak perlu membangun hotel. Untuk menjadi pengusaha taksi tidak perlu mempunyai pool taksi atau membeli mobil. Cukup membuat aplikasi saja, maka pemilik kendaraan akan mendaftar untuk menjadi driver.

Itu model bisnis zaman sekarang. Itu bukan ancaman, tapi peluang baru. Namun akan menjadi ancaman untuk bisnis model lama yang tidak ingin berinovasi.

Bagaimana seharusnya sikap yang diambil oleh pengusaha transportasi dalam menghadapi model bisnis baru itu?

Bukan mereka harus apa, tapi pemerintah harus membuat aturan yang kondusif bagi industri secara menyeluruh, pemerintah harus deregulasi. Karena ini ada dua sistem, konvensional dan online. Pemerintah inginnya ini semua ikuti aturan sistem konvensional. Pemerintah harus deregulasi aturan tentang biaya-biaya yang dibebankan ke moda transportasi. Jangan semua dipajakin. Negara nggak ada kekurangan pendapatan pajak karena ekonomi tentang baik.

Pengusaha transportasi online seperti Gojek atau juga Grab tergolong start up. Apakah dengan adanya banyak protes terhadap bisnis yang berinovasi baru itu akan membuat pertumbuhan start up di Indonesia melambat?

Saya kira tidak, karena mereka mempunyai daya letur yang luar biasa. Banyak akal untuk bisnis seperti itu bisa tumbuh meski dilarang. Pasti akan melahirkan inovasi lain. Misal Uber dilarang, pasti akan muncul yang lain dengan inovasi dan bentuk yang serupa.

Dengarlah suara kemarin, sebagian besar masyarakat semua inginkan transportasi online. Bagaimana bisa melawan keinginan masyarakat?

Pakar kebijakan publik harus belajar tentang kebijakan publik era baru. Di era lama sistem dijalakan birokratik control. Karena dulu rakyat tidak berkuasa, semua diatur pemerintah yang otoriter. Birokrasi membuat aturan. Birokratik itu kebanyakan menyusahkan.

Saat ini ada istilah community control. Teman-teman membentuk komunitas, yang dijalankan dengan trust (kepercayaan). Kalau satu anggota komunitas ini ada yang curang, maka akan dikeluarkan dan sudah tidak dipercaya. Sehingga mereka (transportasi online) sudah membuat aturannya sendiri, tanpa harus mengikuti aturan birokrat. Mereka juga mempunyai standar keamanan sendiri. Kalau mereka tidak dipercaya dan tidak aman, maka mereka akan ditinggal sendiri. Sosial akan menghakimi mereka.

Biografi singkat Rhenald Kasali

Rhenald Kasali merupakan pakar manajemen dan praktisi bisnis yang sudah mendunia. Baru-baru ini lelaki kelahiran 13 Agustus 1960 itu disejajarkan dengan pakar manajemen dunia sekelas John P Kotter (Harvard Business School, AS), Clayton Christensen (Harvard Business School, AS), atau juga Roger Martin (the Rotman School of Management, Kanada). Dia masuk ke Top 30 Global Gurus in Management 2016.

Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu saat ini ingin menciptakan entrepreneur lewat lembaga yang dia dirikan, ‘Rumah Perubahan’. Pemikiran bidang perekonomian Rhenald selalu mengikuti perkembangan zaman. Doktor dari University of Illinois itu banyak mengeluarkan pemikirannya tentang bisnis dan kewirausahaan lewat banyak buku yang dia terbitkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI