Rhenald Kasali: "Sharing Economy" dan Bisnis Murah Masa Kini

Senin, 28 Maret 2016 | 07:00 WIB
Rhenald Kasali: "Sharing Economy" dan Bisnis Murah Masa Kini
Rhenald Kasali. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Catatan Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2015, jumlah pengusaha di Indonesia sekitar 1,65 persen dari jumlah penduduk. Jauh dari persentase di Singapura (7 persen) atau juga Malaysia (5 persen). Dengan persentase sekecil itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar di MEA. Apa masalah yang dihadapi Indonesia?

Saya tidak peraya data itu. Datanya dari mana? Tidak kritis untuk saya. Kenapa? Saya baru keluar rumah, setiap orang sudah buka warung. Sepanjang 10 meter sekali ada pedagang. Apakah mereka bukan entrepreneur? Banyak tukang ojek, apakah mereka bukan entrepreneur? Lihat sepanjang jalan ke Sukabumi, di sana pedagang semua. Menurut saya jauh jauh lebih banyak dari data itu. Orang Indonesia itu semangat dagang, hanya saja mereka pengusaha kecil yang lemah. Lemah modal, lemah pendidikan, tidak dibantu oleh pemerintah. Pemerintah baru membantu yang terdidik, yang lemah ini bagaimana?

Mereka juga tidak mempuyai tempat promosi seperti anak-anak muda yang mepunyai smartphone sebagai tempat promosi. Harus ada bantuan dari tangan pemerintah yang menyediakan tempat gratis dan lampu yang terang.

Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong agar masyarakat bisa berjiwa wirausaha?

Jaman sekarang kalau Kementerian Koperasi dan UMKM lewat KUR hanya memberikan Rp10 juta, buat apa? Nggak jadi apa-apa untuk mendirikan usaha. Membuat akte pendirian perusahaan saja Rp15 juta. Lalu harus sewa tempat dan izin lokasi, bayar lagi minimal Rp10 juta. Akhirnya mereka bisanya masuk ke sektor informal, nggak bayar pajak. Jangan salahkan mereka.

Pemerintah bisa memberikan kesempatan pengusaha muda untuk menggarap proyek pengadaan barang. Sengan catatan perusahaan baru itu sudah terbukti punya barang dan berjalan minimal 2 tahun. Mereka juga bisa diberikan modal dasar yang lebih besar. Selain itu dilibatkan dalam beberapa jaringan. Banyak sekali yang bisa dilakukan. Anak muda ini memerlukan lebih dari sekadar modal, mereka memerlukan akses yang terbuka lebar.

Belakangan terjadi persaingan antara bisnis transportasi online dan konvennsional. Ini berujung pada demo sopir taksi di Jakarta. Seperti Anda memandang persaingan bisnis ini?

Masalah taksi, saya memikirkan bukan hanya bicara soal anak muda yang senang dengan taksi murah. Tapi saya memikirkan nasib para sopir. Kalau saya mencibir taksi yang lama, saya tahu di sana tidak ada sopir yang bergaji baik dan tidak mempunyai rumah sampai saat ini.

Jadi kalau pemerintah mengatakan peraturan soal transportasi sudah bagus, saya bertanya di mana bagusnya? Bagus bagi siapa? Pengusaha taksi? Puluhan tahun mereka jadi sopir taksi, tapi belum punya rumah. Rumah mereka di pinggir sungai dan jadi korban gusuran, mereka tidur di pinggir jalan dengan jam kerja yang gila.

Sayang, pemerintahnya masih menerapkan peraturan dengan sistem konvensional. Sementara rakyatnya sudah mau sistem transportasi berbasis aplikasi. Jika mengikuti sistem aplikasi, biaya transportasi jadi murah. Tapi mengapa pemerintah maunya di konvensional? Jangan-jangan ada udang di balik batu? Cost-nya besar ke pemerintah karena semua ada duitnya. Biaya KIR, kalau 1 mobil perenam bulan bayar Rp60 ribu, ada berapa banyak mobil dan banyak pendapatan? Berapa yang bisa dijadikan biaya tunjangan PNS? Membuat SIM B Umum, apakah masih perlu? Kayaknya nggak tambah keahlian dengan dengan ganti SIM itu. Sekarang ini zamannnya sudah beda.

Kenapa terjadi sampai ricuh? Pertama karena yang barunya ini (transportasi online) kan baru tahap promosi. Mereka bilang, gaji sopirnya besar sampai Rp14 juta sebulan atau Rp500 ribu sehari. Mendengar ini, sopir taksi konvensional pasti lemes. Sopir taksi pangkalan bilang, cari Rp100 ribu saja sulit. Bos taksi itu bilang ada persaingan tidak sehat, ini kan aneh.

Saya buka data keuntungan Blue Bird dan Ekspress di bursa saham, karena mereka perusahaan go public. Keuntungan mereka besar, sampai triliunan. Mengapa uang itu tidak didistribusikan kepada sopir-sopir. Maka perusahaan ini mengambil keuntungan lebih besar daripada seharusnya.

Seharusnya perusahaan itu yang memperbaiki perusahaan. Mana perhatian pemerintah? Pajak perusahaan itu sudah banyak sekali. Negara terlalu banyak mengambil pajak dari perusahaan taksi, sehingga sopir taksi mengambil banyak (setoran) dari sopir. Ini sangat tidak asing.

Lalu banyak yang bilang di belakang demo itu ada konglomerat. Saya bilang, ini sharing economy.

Apakah yang dimaksud sharing economy?

Ini model bisnis masa kini. Dulu, orangtua kita mempunyai sebidang tanah yang menganggur dan tak menghasilkan. Bingung ingin apakan tanah itu. Saat ini, dengan konsep sharing maka siapapun bisa menggarap lahan tersebut. Misal ada sekelompok orang ingin bertani, maka mereka menanam hasil pertanian di sana. Keuntungan dibagi dengan si pemilik.

Sharing ekonomi ini juga bisa diterapkan dalam bisnis property, salah satunya jasa penginapan. Seseorang yang mempunyai kamar kosong di rumahnya bisa menyewakan kamar itu harian kepada traveler. Bahkan si pemilik rumah bisa menjadi tour guide.

Sekarang cost bisnis lebih murah karena sistem sharing, semua orang patungan. Misal dalam kasus transprtasi online, taksi sudah tidak perlu pakai pool karena mobil diparkir di rumah masing-masing. Orang yang punya dua mobil, satu mobil bisa dibuat taksi online.

Jika sharing economy menjadi besar di Indonesia, maka ini akan menjadikan perubahan besar. Sebut saja, akan terjadi deflasi karena semua serba murah. Di sektor pariwisata, jumlah turis akan meningkat karena ada budget yang terpangkas, yaitu hotel. Mereka bisa mendapatkan menginap murah di rumah warga yang melakukan sharing economy. Sehingga untuk menjadi pengusaha hotel, tidak perlu membangun hotel. Untuk menjadi pengusaha taksi tidak perlu mempunyai pool taksi atau membeli mobil. Cukup membuat aplikasi saja, maka pemilik kendaraan akan mendaftar untuk menjadi driver.

Itu model bisnis zaman sekarang. Itu bukan ancaman, tapi peluang baru. Namun akan menjadi ancaman untuk bisnis model lama yang tidak ingin berinovasi.

Bagaimana seharusnya sikap yang diambil oleh pengusaha transportasi dalam menghadapi model bisnis baru itu?

Bukan mereka harus apa, tapi pemerintah harus membuat aturan yang kondusif bagi industri secara menyeluruh, pemerintah harus deregulasi. Karena ini ada dua sistem, konvensional dan online. Pemerintah inginnya ini semua ikuti aturan sistem konvensional. Pemerintah harus deregulasi aturan tentang biaya-biaya yang dibebankan ke moda transportasi. Jangan semua dipajakin. Negara nggak ada kekurangan pendapatan pajak karena ekonomi tentang baik.

Pengusaha transportasi online seperti Gojek atau juga Grab tergolong start up. Apakah dengan adanya banyak protes terhadap bisnis yang berinovasi baru itu akan membuat pertumbuhan start up di Indonesia melambat?

Saya kira tidak, karena mereka mempunyai daya letur yang luar biasa. Banyak akal untuk bisnis seperti itu bisa tumbuh meski dilarang. Pasti akan melahirkan inovasi lain. Misal Uber dilarang, pasti akan muncul yang lain dengan inovasi dan bentuk yang serupa.

Dengarlah suara kemarin, sebagian besar masyarakat semua inginkan transportasi online. Bagaimana bisa melawan keinginan masyarakat?

Pakar kebijakan publik harus belajar tentang kebijakan publik era baru. Di era lama sistem dijalakan birokratik control. Karena dulu rakyat tidak berkuasa, semua diatur pemerintah yang otoriter. Birokrasi membuat aturan. Birokratik itu kebanyakan menyusahkan.

Saat ini ada istilah community control. Teman-teman membentuk komunitas, yang dijalankan dengan trust (kepercayaan). Kalau satu anggota komunitas ini ada yang curang, maka akan dikeluarkan dan sudah tidak dipercaya. Sehingga mereka (transportasi online) sudah membuat aturannya sendiri, tanpa harus mengikuti aturan birokrat. Mereka juga mempunyai standar keamanan sendiri. Kalau mereka tidak dipercaya dan tidak aman, maka mereka akan ditinggal sendiri. Sosial akan menghakimi mereka.

Biografi singkat Rhenald Kasali

Rhenald Kasali merupakan pakar manajemen dan praktisi bisnis yang sudah mendunia. Baru-baru ini lelaki kelahiran 13 Agustus 1960 itu disejajarkan dengan pakar manajemen dunia sekelas John P Kotter (Harvard Business School, AS), Clayton Christensen (Harvard Business School, AS), atau juga Roger Martin (the Rotman School of Management, Kanada). Dia masuk ke Top 30 Global Gurus in Management 2016.

Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu saat ini ingin menciptakan entrepreneur lewat lembaga yang dia dirikan, ‘Rumah Perubahan’. Pemikiran bidang perekonomian Rhenald selalu mengikuti perkembangan zaman. Doktor dari University of Illinois itu banyak mengeluarkan pemikirannya tentang bisnis dan kewirausahaan lewat banyak buku yang dia terbitkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI