Apa yang salah dari keadaan ini? Pemerintah tidak perhatikan mereka atau justru pemerintah tidak punya apa-apa?
Masalah strategi aja, bagaimana kita menyiapkan guru untuk daerah tertinggal, melatihnya dengan metode yang baik. Dana, pasti pemerintah ada karena sudah 20 persen dari dana APBN. Sekrang strategi ke sana bagamana?
Bagaimana masukan Anda?
Buat program untuk guru, karena kuncinya guru. Satu, persiapkan guru yang hebat dan menguasi olimpiade. Karena guru sekarang ini takut menghadapi soal olimpiade. Didik dari awal, seperti 3 tahun sampai 4 tahun untuk guru olimpiade. Itu butuh usaha besar. Latih guru jangan 3-4 hari, itu buang-buang uang dan nggak ada artinya. Latih 3 bulan nonstop, lulus dan dapat sertifikat lalu ngajar dengan konten yang lebih tinggi. Sehingga mereka tahu cara mengajarnya.
Juara olimpiade dari tahun ke tahun didominasi oleh swasta, ke mana sekolah negerinya?
Training olimpiade fisika selama 1 tahun di sini gratis, kita semua yang tanggung dari yayasan. Maslaah utamanya, kita punya waktu 1 tahun untuk training, kita sulit cari murid yang sudah matang. Lalu diadakan seleksi, murid yang sudah matang hanya dari sekolah swasta.
Saya pernah usul dengan pemerintah , saya ingin training 3 tahun anak-anak daerah, saya jamin bisa menang. Pemerintah bilang, training 3 tahun kelamaan. Pemerintah ini maunya instan. Kalau mau instan yang sudah jadi, lagi-lagi sekolah swasta. Kalau mau nabur benih harus susah payah dong, 3 tahun. Pemerintah bilang kalau training 3 tahun dananya disetujui DPR nggak. Mereka bilang ada nggak yang lebih murah. Akhirnya nggak bisa dan jatuhnya ke sekolah swasta lagi yang ikut.
Harusnya pemerintah buat program yang benar-benar maksimal, 3 tahun training. Jadi Indonesia bisa menang tiap tahun. Investasi pendidikan tidak bisa dihitung bulanan. Misal dari 33 provinsi dilatih 2 anak. Jadi yang training olimpiade sain ada 66 orang, yang ikut berlomba 5 orang. Mereka yang tak masuk lomba, berika beasiswa ke luar negeri untuk kuliah S1 sampai S3. Sehigga 10 tahun mendatang Indonesia mempunyai 60 doktor. Ini investasi mahal dan jangka panjang.
Anda melakukan ini semua, lalu apa untungnya buat Anda?
Kepuasan hidup. Sejak awal saya pikirkan target Indonesia menjadi juara dunia, itu sudah tercapai. Fase kedua, saya ingin membuat universitas riset tingkat dunia. Makanya saya ingin Surya University masuk top 10 dunia. Tapi kan nggak gampang. Tapi 14 tahun saya berjuang untuk olimpiade, bisa. Ini target jangka panjang, bukan instan. Universitas ini berdiri 2013 lalu. Saya nggak pernah mikir jangka pendek.
Anda juga ahli di bidang Fisika Nuklir, mengapa tidak terjun ke dunia swasta? Karena lebih menjanjikan?
Saya lebih cenderung ke pendidikan. Panggilan saya sebagai seorang pendidikan. Saya bahagia ketika melihat anak didik saya berhasil. Sampai saat ini sudah banyak yang jadi doktor.
Sistem pendidikan Indonesia selalu dikritik, masukan Anda apa dari segi pendidikan yang ideal untuk Indonesia?
Setelah saya mengamati berapa tahun ini, kenapa anak Indonesia tertinggal dari negera lain? Karena kemampuan berhitungnya rendah. Sejak SD harus dikuatkan ke konsep berhitung. Karena kalau sudah bisa berhitung, begitu belajar matematika dan Fisika mudah. Murid pun jadi percaya diri. Dan gurunya tidak lagi membodoh-bodohi muridnya.
Kalau mau pelatihan di sini, 1 guru harus bawa 1 murid yang paling bodoh. Saya latih guruunya dan gurunya akan melatih anaknya. Kalau mengajar yang paling bodoh saja sudah bisa, pasti akan mudah ajarkan murid lain. Nanti Juni ada 30 guru dari Papua akan ikut pelatihan. Saya bilang, kasih saja murid yang paling bodoh dan sebodoh-bodohnya anak. Nanti saya tunjukan bagaimana cara ngajar.
Apa kesalahan terbesar guru di Indonesia dalam hal mengajar?
Kalau di Fisika, mereka selalu menekankan rumus, itu saja salah. Seharusnya mereka tekankan konsep. Pelatihan konten itu 3 bulan. Karena soal olimpiade sulitnya 3 kali lipat dari soal UN. Doktor Fisika saja belum tentu bisa.
Universitas mana yang Anda jadikan contoh untuk mendirikan Surya University?
Universitas di luar negeri itu universitas riset, tapi kalau universitas berbasis riset itu belum ada. Di Indonesia, universitas riset saja belum ada. Di luar negeri, universitas riset banyak menghasilkan penelitian. Banyak dilakukan profesor. Mahasiswa S2 di sana mengikuti profesornya untuk riset, kalau S1 jarang diikutkan.
Surya University ini mahasiswa S1-nya dari tahun pertama itu sudah riset. Ini pertama di dunia. Sistem pendidikan saya ubah total, bukan sistem pendidikan universitas biasa. Semua kita arahkan untuk riset dan meneliti.
Berapa uang kuliah yang harus dibayarkan?
Banyak beasiswa, hampir separuh mahasiswa. Sejak tahun pertama mereka beasiswa. Sekkarang kita lagi funding untuk berikan beasiswa. Karena kemarin kita agak kewalahan karena terlalu banyak yang mendapatkan beasiswa. Uangnya ini pinjam ke bank, berdarah-darah sekali.
Dua tahun kemarin habis dan pusing sudah habis biaya. Awalnya saya pikir semua bisa dihandle, tapi agak ‘kedodoran’. Hasil riset kita belum bisa dikomersialkan. Mengkomersialkan riset butuh 3-5 tahun. Kalau sudah bisa dikomersialkan kita ada masukan lain.
April ini kita akan pemasukan pinjaman dana yang cukup besar dari Amerika, Eropa dan Cina. Sehingga kita bisa mendirikan kampus yang besar. Kita akan bangun di daerah Tenjo seluas 100 hektar. Ini pinjaman lunak. Kita jadi riset university yang besar. Kalau dana sudah turun, April kita kebut.
Biografi singkat Yohanes Surya
Yohanes Surya lahir di Jakarta, 6 November 1963. Ia mulai memperdalam fisika pada jurusan Fisika MIPA Universitas Indonesia hingga tahun 1986. Dia pernah mengajar di SMAK I Penabur Jakarta hingga tahun 1988. Selanjutnya menempuh program master dan doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Program masternya diselesaikan pada tahun 1990 dan program doktornya di tahun 1994 dengan predikat cum laude. Setelah mendapatkan gelar Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant of Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator Facility) Virginia – Amerika Serikat (1994).
Pulang dari Amerika, disamping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada program pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995 –1998). Dari tahun 1993 hingga 2007 siswa-siswa binaannya berhasil mengharumkan nama bangsa dengan menyabet 54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali perunggu dalam berbagai kompetisi Sains/Fisika Internasional. Pada tahun 2006, seorang siswa binaannya meraih predikat Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO) XXXVII di Singapura.
Yohanes Surya merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika/Matematika. Ada 68 buku sudah ditulis untuk siswa SD sampai SMA. Di luar aktifitasnya di atas, Yohanes Surya berkiprah dalam berbagai organisasi internasional sebagai Board member of the International Physics Olympiad, Vice President of The First step to Nobel Prize sejak 1997. Dia juga penggagas dan President Asian Physics Olympiad sejak 2000.
Yohanes mendapatkan Lencana Satya Wira Karya (2006) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu juga dia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam bidang pendidikan untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush.
Di dunia kampus, Yohanes Surya adalah guru besar fisika dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan. Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Multimedia. Tahun 2010 Yohanes Surya mendirikan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan) Surya untuk mencetak guru-guru yang berkualitas dari berbagai daerah tertinggal di Indonesia.