Suara.com - Di tahun 1999, Indonesia mendapatkan medali emas di ajang olimpiade fisika di Universitas Padua, Italia. Di tempat itu, fisikawan besar Galileo Galilei pernah mengajar dan mengembangkan fisika lebih dari 400 tahun yang lalu.
Kala itu anak bangsa yang mendapatkan medali emas adalah Made Agus Wirawan, siswa SMUN 1 Bangli. Dia anak dari desa di Bangli, Bali. Agus anak seorang pemahat. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah ada siswa Indonesia naik ke panggung menerima medali emas di Olimpiade Fisika Internasional.
Sosok yang ada di belakang kemenangan itu adalah Yohanes Surya. Saat itu dia menjadi pelatih Agus. Sejak itu, Indonesia percaya diri untuk terus mengirimkan kontingennya ke berbagai olimpiade fisika dan matematika internasional.
Ditemui suara.com di ruang kerjanya di Universitas Surya, Serpong, Tangerang, Yohanes masih gagah dan segar di usianya yang sudah menginjak 53 tahun. Tercatat sudah 100 medali emas yang didapatkan anak didiknya dari olimpiade fisika dan matematika internasional. Sebanyak 200 anak yang sudah dia ‘orbitkan’.
Doktor College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat ini sejak lulus dari Universitas Indonesia sebagai sarjana fisika memang sudah terjun di dunia pendidikan. Bahkan Dia rela pulang ke Indonesia untuk melatih anak-anak berbakat untuk mengikuti ajang olimpiade fisika dan matematika.
Universitas yang didirikan Yohanes diklaim sebagai kampus berbasis riset pertama di dunia. Dia memberikan beasiswa hampir dari setengah mahasiswanya sejak tahun 2013. Nantinya, kampusnya akan melahirkan peneliti-peneliti dan banyak melahirkan penemuan baru.
Berikut cerita lengkap Yohanes kepada suara.com:
Anda dikenal banyak mencetak pemenang olimpiade fisika dan matematika internasional. Sudah berapa banyak anak didik Anda yang menang?
Saya mulai dari tahun 1993, saat itu saya masih graduate student di Amerika. Tahun 1994, saya sudah mendapat doktor. Sampai sekarang sudah dapat 100 medali emas dari olimpiade fisika dan matematika. Olimpiade internasional dan tingkat Asia ada lebih 70 medali emas. Jumlah anak didik, jika saya melatih 10 orang setahun, ini sudah 22 tahun, jadi sudah 200 anak. Itu yang benar-benar koor-nya. Sementara saya juga sempat melatih yang 30 besar masuk semi final.
Di mana lombanya?
Lombanya pindah-pindah, tiap tahun Indonesia sudah ikut ke berbagai negara, Cina, Rusia, Amerika dan hampir semua negara di dunia.
Bisa Anda cerita, bagaimana awalnya melatih anak-anak untuk ikut kompetisi sain?
Saya ingin percaya diri bangsa Indonesia naik. Saya berharap dengan menjadi juara olimpiade, jadi yakin dengan kemampuan Indonesia. Dan kita percaya kalau kita bisa. Misalnya saat kita merebut juara dunia jadi absolute winner tahun 2006, orang-orang di Indonesia kagum dan banyak yang beritakan.
Di sana percaya dirinya langsung muncul. Jadi saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan “Kita Bisa”. Akhirnya ini menjadi selogan terus-terusan bahwa “Kita Bisa” dan nggak kalah dengan bangsa lain. Ini yang ingin saya ciptakan.
Tapi ini baru satu langkah. Langkah berikutnya, bagaimana membawa Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi. Saya mempunya target dan mencanangkan tahun 2030 Indonesia Jaya, Indonesia Mandiri. Selain itu tahun 2045 Indonesia super power. Cina bisa, kenapa Indonesia tidak bisa.
Sekarang ini Indonesia sudah percaya diri, saat ini bagaimana Indonesia mempunyai riset-riset yag hebat. Sehingga kita mempunyai 1 step yang lebih lanjut. Makanya saya membuat Surya University. Satu universitas yang berbasis riset, mahasiswa riset dari tahun pertama. Budaya riset ini harus terus disosialisasikan, sehingga di Indonesia muncul istilah setiap orang bicarakan riset…riset…dan riset. Ini harus menjadi istilah yang nggak asing, karena membuat orang ke sana.
Bahkan saya berharap sejak SD, SMP, SMA akan mendorong mereka melakukan penelitian. Hal yang sederhana penelitian di SD, Semut lebih suka gulamerah atau gula putih? Mereka harus mencari tahu dengan cara sendiri. Ini menarik merangsang otak mereka.
Apa kesulitan terbesar Anda saat itu?
Kesulitan pertama itu percaya diri. belum apa-apa sudah merasa kalah, “ah kita nggak akan bisa menang, pak”. Saya bilang, ah bisa kita menang. “Susah pak soalnya, nggak terbayang soal begini.” Saya bilang, nggak, kita bisa.
Tujuh tahun pertama kita cuma dapat perunggu dan perak. Tapi tahun 1999, setelah tahun ke-7 itu kita dapat emas. Saat itu mulai muncul. Tapi ada saja yang bilang kalau itu medali emas kebetulan.
Siswa yang dapat emas pertama orang Bali, Made Agus Wirawan. Jadi itu yang bikin heboh juga, bisa yah anak bali. Ternyata anak bali bukan hanya bisa jadi tukang pahat. Itu pertama kali Indonesia dapat Emas. Tahun 1993, ini anak yang dapat perunggu sekolah di Flint University, Amerika Serikat. Dia masuk ke sana, lalu dia kerja di IBM New York.
Selama melatih anak berbakat untuk olimpiade sain, Anda mencari mereka atau mereka yang membayar Anda untuk dilatih?
Kunci keberhasilan, anaknya ngotot mau belajar dan punya kemampuan sedikit matematika. Siapa pun bisa dilatih dan jadi juara. Syaratnya mereka ada keinginan kuat dan punya dasar matematika yang cukup baik.
Orangtua tidak sekadar punya uang, bayar pelatih dan anaknya akan pintar. Kalau anaknya tidak mampu, percuma. Jadi kita ambil anak-anak yang sudah matang, dan tinggal ‘poles’ saja.
Tapi kalau saya dikasih waktu 2 sampai 3 tahun, siapa pun bisa dilatih. Karena 1-2 tahun itu persiapan. Jadi kalau saya ambil anak Papua dari mana saja, kita bisa buat jadi juara asal kasih waktu yang cukup.
Anda juga melatih guru dari pelosok. Mengapa itu dilakukan?
Jika kita bicara Indonesia Jaya 2013, jadi kita bicara Indonesia Aceh sampai Papua dan daerah pedalaman. Kalau bicara Indonesia tanpa bicarakan mereka, itu sama juga bohong. Saya pikir daerah pedalaman harus dibantu. Saya latih dan mereka balik ke daerah untuk mengajar anak pedalaman. Makanya saya bikin sekolah guru. Daerahnya dari Papua, Ambon, Kupang, Flores, Belitung Timur, pinggiran Palembang, Kalimantan dan Sulawesi. Saya datangkan dari 250 kabupaten lebih sejak tahun 2006.
Apakah kesulitan melatih guru-guru itu? Sebab mereka tidak mempunyai fasilitas yang cukup di pedalaman Indonesia.
Nggak sulit, karena yang kita ajarkan metodenya. Kalau guru diberika metode yang asik dan menyenangkan, nggak sulit. Gurunya kebanyakan pegawai negeri dan swasta.
Anda mendirikan Surya University yang mengajar mahasiswa mahasiswi dari pelosok. Kebanyakan dari Papua. Bagaimana ceritanya?
Saya berpikir nggak ada anak bodoh, asal mereka dikasih waktu untuk belajar. Saya membuat program matrikulasi 1 tahun atau program penyetaraan di mana mereka ditraning setahun sebelum masuk universitas. Ternyata hasilnya masih kurang.
Tahun depan ada perubahan, kita mendidikan sejak lulus SMP. SMA-nya di sini, tapi materi persiapan universitas. Ini khusus matematika dan fisika. Jadi setelah selesai dan masuk universitas anak ini bisa bersaing.
Apa kesulitannya saat itu, sehingga gagal mendidik selama 1 tahun?
Knowledge masih zero (nol). Anak Papua lulus SMA, 3x3, 25+37 nggak bisa. Itu karena di sana nggak ada guru dan pengetahuan gurunya rendah. Saya langsung melatih guru di sana, sangat memprihatinkan pengetahuannya.
Sejak tahun 2007, saya selalu menemukan hal seperti itu saat melatih ke kampung-kampung. Karena yang jadi guru matematika itu guru agama atau guru olahraga. Penyebaran guru tidak merata, karena tempatya di pelosok. Jadi nggak ada yang mau jadi guru di sana, makanya orang saja yang kita latih.
Anda melatih mereka gratis?
Kalau mereka tidak punya dana, kita kasih gratis. Tapi untuk makan dan penginapan mereka sendiri. Tapi untuk pemda yang punya uang, mereka membiayai si guru itu dengan cara subsidi.
Mengapa Anda harus melakukan itu semua?
Sekarang kita ngomong MEA, tapi hitung 8x8 saja nggak bisa. Siapa yang mau handle anak di 187 kabupaten daerah tertinggal? Jadi itu sama saja sepertiga dari 500 kabuaten. Mau dikemanakan mereka? Masa ditinggalkan? Masa mereka cuma jadi penonton, kuli dan angkut barang di MEA. Saya selalu ke daerah, masih sampai saat ini.