Suara.com - Bergelar profesor hukum tata negara dan besar dan malang melintang menimba ilmu di berbagai negara, belum membuat Amzulian Rifai puas. Sekarang dia menjajal berkiprah di tingkat nasional sebagai ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Menurut dia, ORI bukan lembaga sembaragan. Bahkan dia berani menyebut lembaga yang dia pimpin ini menentukan nasib sebuah bangsa. Bagaimana tidak, ORI mencatatkan ada 4 misi.
Di antaranya melakukan tindakan pengawasan, menyampaikan saran dan rekomendasi serta mencegah maladministrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik. Kedua, mendorong penyelenggara negara dan pemerintah agar lebih efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Ketiga, meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaraan hukum masyarakat dan supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta keadilan. Terakhir, mendorong terwujudnya sistem pengaduan masyarakat yang terintegrasi berbasis teknologi informasi.
Faktanya, pelayanan publik di Indonesia masih terpuruk, menurut Amzulian.
Dia mengamati pegawai negera atau pun pegawai negeri sipil (PNS) banyak yang tidak melayani warga negara dengan tulus. Padahal, warga negara berhak mendapatkan pelayanan maksimal. Sebab mereka sudah membayar pajak untuk itu.
“Negara ini lama dijajah, dan banyak orang yang ingin jadi pejabat, PNS, dan pegawai negara. Itu warisan penjajahan Belanda yang masih sangat kuat. Istilah PNS di Indonesia saja sudah salah. Seharusnya public servant atau pelayan publik. Di Indonesia pegawai negeri jadi cita-cita,” kata Amzulian.
Menurut dia, perlu perubahan total di usia Indonesia yang sudah menginjak 70 tahun ini. Pelayanan publik perlu diawasi ketat agar tidak lagi timbul penyimpangan.
Bagaimana kiat Amzulian mengawal pelayanan publik agar membaik? Sektor mana saja yang menjadi prioritas pengawasan ORI?
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Amzulian di ruang kerjanya di Kantor ORI, Jakarta pekan lalu:
Kedudukan Anda sebagai akademisi sudah sangat mapan, bahkan status Anda profesor hukum. Mestinya sosok ‘sekelas’ Anda duduk di lembaga lebih besar. Mengapa Anda memilih Ombudsman?
Tim panitia seleksi Ombudsman pun tanya ke saya, apa tidak salah dengan pilihan ini. Karena saya melepas semua jabatan saja. Saya melepas sebagai komisaris BUMN, PT Pupuk Sriwijaya, saya mundur dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, dan kantor pribadi saya di Palembang dinonaktif.
Saya sebagai orang tata negara melihat, Ombudsman ini lembaga yang sangat strategis. Yang diutamakan kan sarjana hukum. Tapi banyak orang yang menganggap Ombudsman tidak seperti itu. Secara pribadi, timingnya pas. Saya di daerah sudah mendapatkan semua di kampus. Sebagai dekan, komisaris, sekertaris senat dan segala macam.
Sementara pensiun saya ini masih lama. Usia saya 51 tahun. Di kantor saya sendiri banyak muncul anak-anak muda yang sudah bisa menggantikan. Saya ingin menjadi suasana baru, jadi tolak ukur bukan soal duit. Saya ingin mengabdi dengan skup yang lebih besar. Saya pernah seleksi hakim MK, tapi tidak terpilih.
Anda terlalu cepat untuk meraih profesor?
Nggak juga. Ini karena saya adalah orang yang disiplin. Satu-satunya yang saya punya itu mental disiplin. Saya bangun sebelum subuh, saya aktif menulis, saya sampai di kantor pasti jam 07.00 WIB. Ini saya lakukan di Palembang juga.
Sejak 2010 sampai 2014, jumlah laporan keluhan pelayanan publik meningkat pesat sampai 6.000 laporan. Laporan itu ditindaklanjuti oleh ORI dengan menginvestigasi dan memberikan rekomendasi ke terlapor. Sejauhmana investigasi ORI ditindaklanjuti oleh lembaga negara atau pun institusi publik?
Kalau kita bicara rekomendasi, diikuti atau tidak diikuti, itu kan cerminan bobrok atau tidak bobroknya institusi di republik ini. Kalau mereka tidak bobrok, itu pasti dipatuhi. Begitu juga sebaliknya, kalau institusi kita banyak yang bobrok, rekomendasi ORI tidak akan ditindaklanjuti. Karena patuh terhadap rekomendasi Ombudsman ini kepentingan terlapor. Saya yakin rekomendasi kami benar. Jadi dalam menindaklanjuti ini bukan kepentingan Ombudsman.
Sebab lembaga atau instutusi publik harus merebut kepercayaan masyarakat terhadap lembaga itu. Misalnya ditemukan penyelewengan pengurusan administrasi mengurus sertifikat atau kesulitan mengurus IMB. Kalau lembaga itu patuhi rekomen lembaga tersebut, itu akan menguntungkan. Ini yang perlu dibangun.
Makanya saya dorong kepada staf kita kalau ada rekomendasi, kejar saja itu. ORI harus terus kawal sampai rekomendasi itu ditindaklanjuti. Kalau belum ditanggapi, kirim surat sampai 3 kali. Kalau tidak ditindaklanjuti, publikasikan ke media, lapor ke presiden, dan DPR. Kalau ada celah hukum, pidanakan saja.
Payahnya, institusi atau pun lembaga di Indonesia, baru berwibawa jika ada ancaman masuk penjara. Walah pun Ombudsman dibentuk bukan untuk penjarakan orang. ORI itu bukan pengacara pelaporan, bukan memojokan terlapor, kita ada di tengah.
Tapi repotnya baik pelapor maupun terlapor ingin rekomendasi itu sesuai dengan apa yang ada di kepalanya. Banyak pelapor yang beranggapan ORI tidak ada ‘taringnya’. Karena memang dia ingin rekomendasi yang keluar sesuai kehendak dia. Padahal belum tentu laporannya itu benar. Bahkan ada institusi atau lembaga negara yang cuek dengan rekomendasi Ombudsman, karena dianggap sejajar.
Berapa jumlah rekomendasi ORI yang dipatuhi institusi atau lembaga terkait?
Jumlahnya masih dihitung, nanti akan diumumkan. Saya belum mendapatkan angka pastinya. Tapi secara umum, tingkat kepatuhan semakin meningkat. Para terlapor patuh dengan rekomendasi ORI. Dari sisi ORI, kita akan memastikan jika rekomendasi itu ditindaklanjuti.
Anda sebagai profesor hukum dan lama di dunia akademisi. Bagaimana Anda membawa ORI di tengah penegakan hukum dan tatanan birokrasi Indonesia yang masih jauh dari layak?
Pertama, di internal ORI harus paham posisi lembaga ini di hukum tata negara kita. Jika sudah paham, saya ingin membangun kepercayaan diri di ORI jika dari hukum tata negara, kami ini sangat kuat. Kalau ada rekomendasi ORI yang tidak disukai oleh pemerintah daerah, pemerintah daerah jangan minta klarifikasi.
Jangan suruh ORI yang aktif, justru mereka yang harus aktif. Kan mereka terperiksa. Sayangnya itu banyak terjadi, pemerintah daerah memanggil kita. Mereka tidak mengerti hukum tata negara. Ibaratnya, hakim bicara dengan putusannya, sementara Ombudsman bicara dengan rekomendasinya. Mungkin karena saya orang hukum, jadi keras seperti itu. Saya juga menekankan kepatuhan hukum di internal ORI. Saya akan tindak tegas orang tidak patuh dengan aturan.
Dengan keterbatasan wewenang ORI yang tidak sampai eksekusi, perlukah ada perubahan untuk menambah wewenang ORI?
Kami bertugas menjalankan undang-undang. Kalau untuk mengubah UU Nomor 37 Tahun 2008, kami tidak pada posisi yang menuntut itu. Kalau kita dimintai saran, tentu saja. Tetu saja saya pikir DPR sudah melihat jika ORI jangan setengah jalan dalam mempunyai wewenang, tanggung.
Ini bukan hanya soal kewenangan. Tapi juga sumber daya manusia dan anggaran yang kurang. Bagaimana ORI ingin menjadi lembaga pengawas kalau tidak ada kebanggaannya, tidak ada kemampuan untuk menindak, anggaran tidak memenuhi kebutuhan minimal.
Anda sebagai profesor hukum tata negara, seperti apa masukan Anda agar ORI menjadi lembaga yang ‘bergigi’?
Setikdak-tidaknya rekomendasi itu sudah menjadi putusan ORI yang harus dipatuhi. Misal, kalau kita perintah memberhentikan, ya sudah berhenti itu pejabat. Sama dengan mematuhi jaksa, polisi, atau juga KPK. Selama ini kita hanya mengeluarkan rekomendasi, bagusnya UU itu memberikan wewenang ke ORI tidak berhenti ke rekomendasi. Rekomendasi harus menjadi putusan yang wajib dipatuhi, tapi UU tidak menyebut begitu.
Tatangannya jika wewenang ORI ditambah, investigasi ORI terhadap satu laporan harus mendalam. Misal keputusan memecat orang, tidak sembarangan. Sementara dalam menindaklanjuti, ORI dikejar waktu. Bayangkan tahun 2014 sekitar 6.000-an laporan.
Lalu tahun 2015 meningkat 6.800-an laporan. Bayangkan siapa yang menyelesaikan. Meski di daerah sudah ada perwakilan ORI yang terdiri dari kepala perwakilan dan 5 asistennya. Di pusat kita punya 70-an asisten yang pintar-pintar.
Ombudsman yang ada di Indonesia, sudah ada di luar negeri sejak lama. Apa yang membedakan Ombudsman di Indonesia dan di luar?
Pembentukan Ombudsman tidak mudah. Ombudsman di negara lain, seperti di Scandinavia yang menjadi contoh model di dunia. Saat mereka awal pembentukan negara, yang dibentuk pertama kali adalah Ombudsman. Karena kalau Ombudsman berdiri sejak awal negara berdiri, maka birokrasinya bagus, kulkur tidak korupsi, kolusi dan nepotisme sudah terbentuk di masyarakat dan pemerintahnya. Kalau memang sudah baik seperti itu, untuk apa lembaga lain, termasuk tidak perlu ada KPK.
Kalau di Indonesia terbalik, keadaan sudah kacau balau. Budaya korupsinya kuat, akhirnya Indonesia membutuhkan lembaga yang luar biasa, KPK. Kemudian Ombudsman dibentuk untuk ubah prilaku koruptif itu. Kalau Scandinavia, diperbaiki dulu perilakunya. Dalam pembentukan sebuah negara, itu kan kacau balau. Tinggal seberapa parahnya saja.
Saya tidak tahu kenapa Ombudsman di Indonesia ini tidak dibentuk sejak awal. Negara ini lama dijajah, dan banyak orang yang ingin jadi pejabat, PNS, dan pegawai negara. Itu warisan penjajahan Belanda yang masih sangat kuat.
Istilah PNS di Indonesia saja sudah salah. Seharusnya public servant atau pelayan publik. Di Indonesia pegawai negeri jadi cita-cita.
Ombudsman mengawasi soal pelayanan publik. Bagaimana kualitas pegawai negeri sipil atau pun pegawai negara di Indonesia dalam melayani publik?
Anda lihat TV, siapa yang masuk ke KPK itu? Siapa yang korupsi itu? Di era otonomi daerah, pegawai negara di daerah itu makmur-makmur. Mental pegawai negara sudah sangat parah, maka harus diperbaiki.
Saya sudah berkeliling ke beberapa negara, pelayanan publik Indonesia ini sangat payah dan sangat terpuruk. Tidak perlu bercerita macam-macam, lihat saja toilet gedung pemerintahan. Lalu citra orang, berurusan dengan kantor pemerintahan ini hanya menyusahkan saja, membuat KTP saja sampai setahun. Tapi kami nggak boleh pesimis.
Berapa Anggaran Ombudsman 2016?
Tahun ini sekitar Rp147 miliar dengan kantor yang begitu banyak. Tahun lalu tidak sampai setengahnya. Idealnya dana yang dibutuhkan ORI, Rp500 miliar. Dengan kondisi seperti ini, kita harus atur anggaran. Tapi kami paham, pemerintah pun mempunyai prioritas dalam susun anggaran.
Tapi lembaga yang ingin kuat itu harus diberikan fasilitas untuk bekerja, bukan untuk pribadi. Bagaimana kalau mau ke lapangan saja, rebutan mobil? Operasional kita belum memadai.
Apakah target Ombudsman dalam jangka pendek?
Ombudsman sudah membentuk kantor perwakilan hampir di semua provinsi, kecuali di Kalimantan Utara. Dalam waktu dekat kita bentuk. Saya juga akan melakukan pembenahan internal segala aspek manajerial. Melanjutkan kalau ada pekerjaan rumah laporan tahun lalu. On going, kita melakukan public awarnes terhadap ORI.
Banyak wajah lama yang menjadi pimpinan di Ombudsman yang sebelumnya sudah menduduki lembaga negara lain. Tentu mereka lebih berpengalaman. Bagaimana strategi kerja Ombudsmen ke depan?
Tentunya kerja saya akan lebih ringan, banyak yang sudah berpengalaman. Tentu bagaimana membangun kekompakan, dan ini sudah terbangun. Mereka paham berorganisasi, aura kebersamaannya cukup tinggi. Dengan Pak Adrianus, saya sudah lama berteman. Sejak tahun 1992 di Australia. Kalau ada keluhan pelayanan di kepolisian, jadi lebih mudah masuk. Karena dia mantan komisioner di Komisi Kepolisian Nasional.
Sektor mana yang menjadi prioritas pengawasan Ombudsman?
Mestinya tidak ada prioritas, tapi semua. Tapi saat ini kita fokus ke sektor pelayanan publik yang menyentuh langsung. Semisal pengurusan sertifikat tanah, kesehatan, pendidikan dan juga pelayanan pelabuhan. Semua itu ada kantor-kantor pemerintah daerah, lalu kita juga menyoriti pelayanan badan penyelenggaran jaminan sosial (BPJS) kesehatan dan ketenagakerjaan.
Semua itu menyentuh langsung ke publik. Masing-masing komisioner sudah memegang bidang-bidang pelayanan publik. Jadi semua prioritas dan mereka serius semua.
Dengan adanya media sosial, semua orang bisa mengeluhkan pelayanan publik, bahkan langsung ditujukan ke pejabat terkait. Bagaimana Anda menyoriti fenomena ini?
Itu bagus. Seharusnya pejabat negara, mulai dari bupati, walikota sampai gubernur, bahkan menteri mempunyai akun media sosial. Sehingga desakan perbaikan layanan publik dilakukan langung oleh masyarakat.
Tapi apakah Ombudsman juga akan mendaklanjuti keluhan rakyat di media sosial, tentu tidak mungkin. Sebab ORI akan menindaklanjuti keluhan pelayanan publik, jika ada bukti-bukti kuat. Baru kami akan meninvestigasi. Netizen bisa lapor ke kami setelah mengeluhkan pelayanan publik ke media sosial.
Biografi singkat Amzulian Rifai
Prof. Amzulian Rifai, S.H., LLM., Ph.D lahir di Desa Muara Kati, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, 2 Desember 1964. Amzulian menghabiskan kariernya di dunia akademisi. Dia pernah mennjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Ketua Program Magister Ilmu Hukum (S2) Universitas Sriwijaya, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya.
Lelaki berkumis itu menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Sriwijaya tahun 1988. Pada 1993 mendapat beasiswa dari AIDAB untuk program Master Ilmu Hukum di Melbourne University Law School, Australia. Dia juga menyelesaikan program Ph.D bidang Ilmu Hukum dari Monash University Faculty of Law, Australia melalui beasiswa AusAID.
Pernah belajar di Oxford University, Inggris (1997), Birmingham University, Inggris (1998), Institute of human Rights, Lund University, Swedia (2003), dan Petroria University, Afrika Selatan (2004). Pernah menjadi visiting Scholar, Ohio University, AS (2006). Dia juga pernah menjadi anggota International Barrister Association (IBA) sejak mengikuti kegiatan di New York, AS, 2009 dan Toronto, Canada, 2014.
Amzulian sempat belajar HAM di International Institute of Human Rights, Strasbourg, Perancis tahun 1996 atas beasiswa Parlemen Eropa. Belajar HAM di Oxford University,Inggris, 1997 serta Birmingham University, Inggris, 1998 atas beasiswa dari the British Council. Masih banyak lagi sederet pengalamannya menimba ilmu hukum di luar negeri.