Anda sebagai profesor hukum tata negara, seperti apa masukan Anda agar ORI menjadi lembaga yang ‘bergigi’?
Setikdak-tidaknya rekomendasi itu sudah menjadi putusan ORI yang harus dipatuhi. Misal, kalau kita perintah memberhentikan, ya sudah berhenti itu pejabat. Sama dengan mematuhi jaksa, polisi, atau juga KPK. Selama ini kita hanya mengeluarkan rekomendasi, bagusnya UU itu memberikan wewenang ke ORI tidak berhenti ke rekomendasi. Rekomendasi harus menjadi putusan yang wajib dipatuhi, tapi UU tidak menyebut begitu.
Tatangannya jika wewenang ORI ditambah, investigasi ORI terhadap satu laporan harus mendalam. Misal keputusan memecat orang, tidak sembarangan. Sementara dalam menindaklanjuti, ORI dikejar waktu. Bayangkan tahun 2014 sekitar 6.000-an laporan.
Lalu tahun 2015 meningkat 6.800-an laporan. Bayangkan siapa yang menyelesaikan. Meski di daerah sudah ada perwakilan ORI yang terdiri dari kepala perwakilan dan 5 asistennya. Di pusat kita punya 70-an asisten yang pintar-pintar.
Ombudsman yang ada di Indonesia, sudah ada di luar negeri sejak lama. Apa yang membedakan Ombudsman di Indonesia dan di luar?
Pembentukan Ombudsman tidak mudah. Ombudsman di negara lain, seperti di Scandinavia yang menjadi contoh model di dunia. Saat mereka awal pembentukan negara, yang dibentuk pertama kali adalah Ombudsman. Karena kalau Ombudsman berdiri sejak awal negara berdiri, maka birokrasinya bagus, kulkur tidak korupsi, kolusi dan nepotisme sudah terbentuk di masyarakat dan pemerintahnya. Kalau memang sudah baik seperti itu, untuk apa lembaga lain, termasuk tidak perlu ada KPK.
Kalau di Indonesia terbalik, keadaan sudah kacau balau. Budaya korupsinya kuat, akhirnya Indonesia membutuhkan lembaga yang luar biasa, KPK. Kemudian Ombudsman dibentuk untuk ubah prilaku koruptif itu. Kalau Scandinavia, diperbaiki dulu perilakunya. Dalam pembentukan sebuah negara, itu kan kacau balau. Tinggal seberapa parahnya saja.
Saya tidak tahu kenapa Ombudsman di Indonesia ini tidak dibentuk sejak awal. Negara ini lama dijajah, dan banyak orang yang ingin jadi pejabat, PNS, dan pegawai negara. Itu warisan penjajahan Belanda yang masih sangat kuat.
Istilah PNS di Indonesia saja sudah salah. Seharusnya public servant atau pelayan publik. Di Indonesia pegawai negeri jadi cita-cita.
Ombudsman mengawasi soal pelayanan publik. Bagaimana kualitas pegawai negeri sipil atau pun pegawai negara di Indonesia dalam melayani publik?
Anda lihat TV, siapa yang masuk ke KPK itu? Siapa yang korupsi itu? Di era otonomi daerah, pegawai negara di daerah itu makmur-makmur. Mental pegawai negara sudah sangat parah, maka harus diperbaiki.
Saya sudah berkeliling ke beberapa negara, pelayanan publik Indonesia ini sangat payah dan sangat terpuruk. Tidak perlu bercerita macam-macam, lihat saja toilet gedung pemerintahan. Lalu citra orang, berurusan dengan kantor pemerintahan ini hanya menyusahkan saja, membuat KTP saja sampai setahun. Tapi kami nggak boleh pesimis.
Berapa Anggaran Ombudsman 2016?
Tahun ini sekitar Rp147 miliar dengan kantor yang begitu banyak. Tahun lalu tidak sampai setengahnya. Idealnya dana yang dibutuhkan ORI, Rp500 miliar. Dengan kondisi seperti ini, kita harus atur anggaran. Tapi kami paham, pemerintah pun mempunyai prioritas dalam susun anggaran.
Tapi lembaga yang ingin kuat itu harus diberikan fasilitas untuk bekerja, bukan untuk pribadi. Bagaimana kalau mau ke lapangan saja, rebutan mobil? Operasional kita belum memadai.
Apakah target Ombudsman dalam jangka pendek?
Ombudsman sudah membentuk kantor perwakilan hampir di semua provinsi, kecuali di Kalimantan Utara. Dalam waktu dekat kita bentuk. Saya juga akan melakukan pembenahan internal segala aspek manajerial. Melanjutkan kalau ada pekerjaan rumah laporan tahun lalu. On going, kita melakukan public awarnes terhadap ORI.
Banyak wajah lama yang menjadi pimpinan di Ombudsman yang sebelumnya sudah menduduki lembaga negara lain. Tentu mereka lebih berpengalaman. Bagaimana strategi kerja Ombudsmen ke depan?
Tentunya kerja saya akan lebih ringan, banyak yang sudah berpengalaman. Tentu bagaimana membangun kekompakan, dan ini sudah terbangun. Mereka paham berorganisasi, aura kebersamaannya cukup tinggi. Dengan Pak Adrianus, saya sudah lama berteman. Sejak tahun 1992 di Australia. Kalau ada keluhan pelayanan di kepolisian, jadi lebih mudah masuk. Karena dia mantan komisioner di Komisi Kepolisian Nasional.
Sektor mana yang menjadi prioritas pengawasan Ombudsman?
Mestinya tidak ada prioritas, tapi semua. Tapi saat ini kita fokus ke sektor pelayanan publik yang menyentuh langsung. Semisal pengurusan sertifikat tanah, kesehatan, pendidikan dan juga pelayanan pelabuhan. Semua itu ada kantor-kantor pemerintah daerah, lalu kita juga menyoriti pelayanan badan penyelenggaran jaminan sosial (BPJS) kesehatan dan ketenagakerjaan.
Semua itu menyentuh langsung ke publik. Masing-masing komisioner sudah memegang bidang-bidang pelayanan publik. Jadi semua prioritas dan mereka serius semua.
Dengan adanya media sosial, semua orang bisa mengeluhkan pelayanan publik, bahkan langsung ditujukan ke pejabat terkait. Bagaimana Anda menyoriti fenomena ini?
Itu bagus. Seharusnya pejabat negara, mulai dari bupati, walikota sampai gubernur, bahkan menteri mempunyai akun media sosial. Sehingga desakan perbaikan layanan publik dilakukan langung oleh masyarakat.
Tapi apakah Ombudsman juga akan mendaklanjuti keluhan rakyat di media sosial, tentu tidak mungkin. Sebab ORI akan menindaklanjuti keluhan pelayanan publik, jika ada bukti-bukti kuat. Baru kami akan meninvestigasi. Netizen bisa lapor ke kami setelah mengeluhkan pelayanan publik ke media sosial.
Biografi singkat Amzulian Rifai
Prof. Amzulian Rifai, S.H., LLM., Ph.D lahir di Desa Muara Kati, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, 2 Desember 1964. Amzulian menghabiskan kariernya di dunia akademisi. Dia pernah mennjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Ketua Program Magister Ilmu Hukum (S2) Universitas Sriwijaya, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya.
Lelaki berkumis itu menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Sriwijaya tahun 1988. Pada 1993 mendapat beasiswa dari AIDAB untuk program Master Ilmu Hukum di Melbourne University Law School, Australia. Dia juga menyelesaikan program Ph.D bidang Ilmu Hukum dari Monash University Faculty of Law, Australia melalui beasiswa AusAID.
Pernah belajar di Oxford University, Inggris (1997), Birmingham University, Inggris (1998), Institute of human Rights, Lund University, Swedia (2003), dan Petroria University, Afrika Selatan (2004). Pernah menjadi visiting Scholar, Ohio University, AS (2006). Dia juga pernah menjadi anggota International Barrister Association (IBA) sejak mengikuti kegiatan di New York, AS, 2009 dan Toronto, Canada, 2014.
Amzulian sempat belajar HAM di International Institute of Human Rights, Strasbourg, Perancis tahun 1996 atas beasiswa Parlemen Eropa. Belajar HAM di Oxford University,Inggris, 1997 serta Birmingham University, Inggris, 1998 atas beasiswa dari the British Council. Masih banyak lagi sederet pengalamannya menimba ilmu hukum di luar negeri.