Jalaluddin Rakhmat: Benih Radikalisme dan Intoleransi Indonesia

Senin, 07 Maret 2016 | 07:00 WIB
Jalaluddin Rakhmat: Benih Radikalisme dan Intoleransi Indonesia
Jalaluddin Rakhmat. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kekerasan yang mengatasnamaka Agama, berdasarkan catatan Komnas HAM di tahun 2015 lalu terdapat 87 kasus. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan kasus cukup signifikan.

Komnas HAM mencatat empat bentuk kekerasan itu adalah perusakan rumah ibadah, pelarangan terhadap aktivitas keagamaan, diskriminasi dengan alasan agama, dan pemaksaan keyakinan. Jemaat Ahmadiyah paling sering menjadi korban karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Diskriminasi terhadap mereka didukung penuh lewat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Peningkatan kekerasan juga disodorkan oleh The Wahid Institute. Mereka mencatat tahun 2015 ada 84 kasus kekerasan atasnama agama. Dalam laporan bertajuk ‘Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia 2015’ itu, mencatat pelaku kekerasan itu dari negara dan non negara. Baru-baru ini menimpa komunitas Gafatar dan Ahmadiyah.

Cendikiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat tidak terkejut dengan data tersebut. Bahkan dia memperkirakan kekerasan karena perbedaan dan atasnama agama bisa tercatat lebih banyak. Menurut dia, Indonesia merupakan negara yang tidak toleran.

Salah satu ‘biang keladi’ yang menyebabkan banyak kekerasan atasnama agama adalah masyarakat tidak bisa menghargai perbedaan sesama. Selain itu, keinginan pengajut agama mayoritas untuk dominan.

Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) itu mengatakan kekerasan terhadap minoritas juga diperburuk dengan pernyataan MUI yang menyesatkan agama dan keyakinan lain di luar agama resmi negara. Sebab yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Mereka diusir, dan tidak diberikan tempat di negaranya sendiri.

Tidak hanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan kepercayaan, Kang Jalal – sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat – juga menyoroti penghakiman terhadap kaum gay, lesbian, biseksual dan transgender. Menurutnya, LGBT mempunyai hak tempat hidup. Negara wajib melindungi mereka.

“Nyatanya negara selalu tidak hadir saat diskriminasi dan kekerasan itu terjadi,” kata anggota DPR Komisi VIII itu.

Kang Jalal mengatakan beni intoleransi di Indonesia perlu dihapus. Jika tidak, radikalisme yang berujung terorisme bisa sibur di Indonesia.

Bagaimana caranya? Apa yang membuat Indonesia ‘subur’ dengan kekerasan atasnama perbedaan? Sejak kapan itu terjadi?

Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Kang Jalal di sebuah tempat di Ciputat, Tangerang Selatan pekan lalu:

Komnas HAM dan Wahid Institute mencatat kekerasan atasnama agama dan perbedaan di Indonesia terus meningkat. Namun Pemerintah Indonesia masih mengklaim jika negaranya sudah toleran, begitu juga warganya. Bagaimana pandangan Anda?

Saat Presiden lalu, Susilo Bambang Yudhoyono memperoleh penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) di Amerika Serikat tahun 2013 lalu, banyak LSM dan pegiat HAM mengkritik. Karena SBY disebut sebagai pelopor toleransi di Indonesia.

Sementara dalam kenyataannya kita tidak setoleran seperti yang diduga orang. Survei tentang intoleransi makin tinggi. Survei yang terakhir menunjukkan provinsi atau daerah yang paling toleran adalah kawasan yang banyak non muslim. Jadi Indonesia bagian timur seperti Papua dan Maluku itu paling toleran.

Sebaliknya, daerah yang mayoritas muslim adalah daerah yang paling tidak toleran. Jawa Barat yang paling tidak toleran. Jadi berdasarkan penelitian, semakin mendalam pengetahuan mereka tentang Islam, makin tidak toleran. Intoleran bukan hanya untuk kelompok syiah dan Ahmadiyah saja, tapi juga kelompok minoritas juga. Seperti kelompok lebian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

Contoh nyata di Indonesia, LGBT itu sudah diterima sejak lama. Bahkan ada kebudayaan yang mengaku jika jenis kelamin tidak hanya lelaki dan perempuan. Di Bugis ada istilah bissu. Kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang. Hal ini dianut komunitas Amparita Sidrap di Sulawesi, Indonesia.

Di sana ada 4 jenis kelamin. Yaitu Oroane (laki-laki), Makunrai, (perempuan), Calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki), dan Calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan). Mereka hidup berdapingan dan mempunyai tempat di masyarakat. Tidak diserang dan tidak didiskriminasi.

Tapi begitu datang Islam, Kristen, berubahlah semua itu. Tapi saya tidak bermaksud mengatakan Islam atau Kristen itu cenderung tidak toleran. Tapi kesimpulan saya, faham Islam dan Kristen yang dominan itu selalu cenderung tidak toleran. Terutama paham Islam yang mainstream dan keras yang menyebabkan Indonesia tidak toleran.

Sejauhmana benih anti toleransi dan radikalisme berkembang di Indonesia?

Di Indonesia punya sejarah lama pertentangan antara kelompok Islam dan nasionalisme. Kalau nasionalisme pasti toleran. Karena bagian dari warga negara. Ada yang ingin mendirikan negara berdasarkan pancasila dan ada juga yang ingin mendirikan negara berdasarkan Islam.

Perdebatan itu di ranah politik setelah pemilihan umum pertama dalam konstituante. Yang akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Tapi akhirnya konflik itu terjadi terus menerus antara kelompok yang ingin mendirikan syariat Islam dan kelompok nasionalis.

Jadi benih-benih intoleransi dan radikalisme sudah tubuh sejak itu. Tapi sampai akhir orde baru tidak ada konflik suku, agama, ras dan antar-glongan (SARA) itu.

Mengapa kelompok radikal masa lalu tidak bisa aktif?

Karena orde baru sangat keras terhadap isu SARA. Isu itu akhirnya jadi api di dalam sekam. Begitu terjadi reformasi dan orang diberikan kebebasan, orang begitu semangat. Terutama partai-partai yang dilandaskan Islam dan syariat Islam.

Saat itu ada sebuah teori, bahwa untuk memenangkan pemilu, partai harus mempunyai identitas kuat. Salah satunya, tentu menjual syariat Islam kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.

Saya meneliti, banyak konflik dengan minoritas itu sebetulnya karena dijual sebagai komoditas menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu). Isu SARA dikumpulkan, sebab mereka tidak mempunyai identitas lain yang dijual.

Seperti apa skema ‘menjual’ Islam untuk menyingkirkan minoritas?

Dalam negara yang bersyariat Islam dibagi dua sasaran. Yaitu komoditas muslim dan komoditas non muslim. Yang komoditas muslim ini didominasi mazhab mayoritas, yaitu ahlussunnah wal jamaah alias Sunni. Ahmadiyah dan syiah di luar itu. Makanya mereka diserang dan dimusuhi. Karena mereka di luar masyoritas.

Dalam kelompok agama setiap hal yang dianggap berbeda berpendapat selalu dianggap sebagai kelompok lain. Sehingga banyak pendapat yang disebar, Syiah bukan Islam dan Ahmadiyah bukan Islam.

Begitu juga terkait LGBT, saya akan tetap membela sebagai warga negara Indonesia yang punya hak hidup di sini. Bukan berarti saya setuju dengan orientasi seksual mereka, nggak. Selama mereka tidak melanggar hak-hak orang lain, nggak apa-apa. Kita juga berhak mendapapatkan pengakuan dari negara.

Dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan the Wahid Institute dimasukan aktor negara yang berperan sebagai pendukung gerakan intoleransi, bagaimana ini bisa terjadi?

Saat ini ada Undang-Undang yang dijadikan dasar untuk melainkan kelompok minoritas. Yaitu Undang-Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama atau UU No. 1 Tahun 1965. Jadi orang-orang yang beragama ingin terlihat dalam pembelaan agamanya sendiri. Mereka ingin menjaga kemurnian agama itu.

Karena itu istilah pemurnian agama ini mengerikan sekali. Artinya selain 6 agama yang diakui pemerintah itu tidak diakui. Siapa yang bisa mengukur kelompok yang masih mempunyai agama murni dan sudah tercemari? Karena itu sangat subjektif. Selama ini Majelis Ulama Indonesia, tapi kita tahu bagaimana MUI itu.

Contoh kasus yang baru berlalu adalah kelompok Gafatar. Mereka tidak mengganggu ketertiban masyarakat. Mereka justru ingin melindungi diri mereka supaya tidak diganggu dengan cara pindah melakukan transmigrasi spontan ke Kalimantan.

Mereka sudah hidup damai dan menanam, tahunya ada fatwah majelis ulama yang menyebut mereka sesat. Padahal Majelis Ulama Indonesia ini salah satu faktor penyebab intoleransi di Indonesia.

Saat ini isu radikalisme kembali mencuat karena munculnya gerakan ISIS di Suriah dan Irak. Indonesia mempunya anggota ISIS yang baru pulang. Gerakan ini tengah diwaspadai. Sebab dikhawatirkan akan mempengaruhi kelompok radikal lain. Bagaimana seharusnya pemerintah menangkal ini?

Sebenarnya undang-undang kita cukup. Walaupun kita saat ini tengah mengusakan mengeluarkan UU tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal yang paling penting masyarakat harus terlindungi. Selama tidak mengganggu dan menghambat orang lain, seluruh kebebasan tidak dibatasi. Semoga ke depan tidak ada lagi peristiwa sebuah kelompok diserang atas nama agama. KUHP melarang ujaran kebencian dan ajaran kebencian.

Tapi pelaksanaan di lapangan itu ada kesan bahwa negara tidak hadir di tengah-tengah. Kenyataaanya di konflik sosial, negara itu sebenarnya tidak hadir. Bahkan membiarkan itu terjadi. Itu sebuah kejahatan membiarkan terjadinya penyerangan, membiarkan terjadinya diskriminasi.

Tataran implementasi sangat buruk. Kalau mereka menjalankan UU dengan benar, bisa dihindarkan.

Analisa Anda, mengapa dibiarkan?

Ada banyak faktor, di antaranya faktor politik. Orang memanfaatka isu radikalisme dan SARA sebagai jualan. Misal di Jawa Timur orang kalau tidak memihak kelompok mayoritas, mereka akan dikucilkan. Ada asusmsi, yang tidak toleran itu adalah kelompok mayoritas.

Padahal kelompok itu mayoritas. Karena nyatanya nggak pada peduli tuh kebanyakan orang.

Di kasus lain, para pejabat di Jawa Timur beranggapan kalau Sunni adalah mayoritas dan Syiah adalah minoritas. Kalau menekan syiah, maka akan menang dalam pemilu. Padahal masyarakat nggak tahu itu, dan tidak peduli juga. Maka pejabat politik itu menggunakan tokoh muslim yang suaranya vokal untuk menyuarakan.

Kasus lain juga, FPI. FPI juga bukan mayoritas. Mereka itu minoritas yang suaranya riuh atau yang kita sebut noisy minority. Dia ini bisa mempengaruhi petugas keamanan, pempengaruhi anggapan masyarakat.

Faktor lain, faktor ekonomi. Biasa terjadi di daerah. Misal peristiwa di Sunnni-Syiah di Sampang, Madura. Di sana ada ulama-ulama yang dapat bantuan uang dari yayasan di Surabaya untuk menyerang Syiah. Demi mendapatkan uang itu, mereka ikut memusuhi Syiah. Di Sampang juga ada kawasan pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Camplong. Jadi pemerintah menilai sebelum itu, lebih baik disingkirkan dulu supaya tidak terjadi pengusiran. Jadi semua orang di sana dianggap syiah atau disyiahkan saja. Sebab pengungsi yang ada di Sidoarjo itu tidak semua warga Syiah, Sunni juga banyak.

Selain itu ada faktor geo politik internasional. Saat ini Arab Saudi tengah menyerang Yaman. Yaman, secara kultural dekat dengan Indonesia. Yaman itu negara kecil yang sedang diserang Arab Saudi dan sekutunya.

Di sisi lain dahulu Indonesia ‘diislamkan’ oleh orang Yaman. Habib-habib itu datang dari Yaman. Semesatinya Indonesia ini membantu. Tapi diplomasi dari Arab Saudi dengan model diplomasi cash. Saudi memberikan uang ke beberapa tokoh Islam. Padahal politik Indonesia bebas dan aktif. Tapi semua itu dilanggar.

Anda perlu ketahui, Saudi menganut mazhab negaranya yang anti toleransi, itulah yang mengilhami ISIS. ISIS itu lahir di Saudi, mereka juga yang betuk. Dan mereka juga yang melawan. Persamaan ISIS dengan Saudi itu adalah paham wahabisme. Wahabisme itu anti toleransi. Mereka beranggapan pokoknya yang non muslim itu harus dibunuh. Sampai sekarang mereka perlahan-lahan dia masuk ke Indonesia.

Berapa jumlah populasi wahabi di Indonesia?

Jumlahnya kecil. Tapi pastinya tidak tahu karena itu bentuk ideologi dan masuknya dengan cara menyusup. Bisa ke Muhammadiyah dan ke Nahdalatul Ulama.

Wahabisme menjadi penyebab gerakan radikalisme indoneisa subur?

Dia sebagai salah satu faktor penting.

Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menghentikan paham radikalisme?

Di Indonesia itu sudah ada cikal bakal gerakan untuk menegakan syariat Islam jauh sebelumnya. Gerakan politik Masyumi dan gerakan bersenjata DI/TII, tahun 1965. Tapi gerakan itu dihabisi pemerintah orde lama. Gerakan politik juga dihabisi di zaman orde baru.

Saat reformasi, gerakan mendirikan syariat Islam itu bangkit kembali. Tapi tidak ada hubungannya dengan ISIS. Jauh sebelum ISIS, kelompok syariat Islam punya kedudukan kuat di Indonesia.

Ketika muncul ISIS, kelompok yang merindukan khilafah di Indonesia, Mujahidin, Abu Bakar Baasyir menemukan gerakan internasional. Yang terjadi sekarang ini ‘rebranding’, seperti merk dagang agar lebih laku. Selain itu mereka juga melakukan remainding atau mengikatkan dirinya dengan ISIS. Sebenarnya ISIS juga nggak tahu ada pembaiatan di Indonesia. Tapi mereka menyambut baik saja.

Saya menyimak komentar ahli terorisme Australia, Profesor Greg Barton soal bom sarinah kemarin. Dia menyebut gerakan itu sangat amatiran. ISIS yang benar itu, 1 orang membunuh 25 orang. Kalau di Indonesia yang terbunuh malah terorisnya. Sehingga dia menduga kayaknya bukan benar-benar dikomandoi ISIS di sana, hanya menggunakan nama ISIS untuk gerakan. Jadi Indonesia sudah ada potensi untuk gerakan seperti itu masuk.

Saat ini ada anggapan paham barat pindah ke timur tengah. Sebab cara berpakaian perempuan di sana sudah terbuka. Sementara Indonesia akan dijadikan negara Islam dengan menerapkan kehidupan Islami akibat seruan habib-habib. Apakah ini akan berhasil?

Menurut saya metode ISIS tidak cocok dengan kultur Indonesia yang keberagaaan. ISIS itu pemahaman agamanya masih dangkal. Karena sebetulnya kehadiran agama kan rahmatan lil alamiin. Cocoknya dengan negara barat yang baru masuk Islam dan berusaha memberontak nilai-nilai mereka sendiri. Sebagai pilihannya Islam yang benar-benar anti barat.

Para pengikut ISIS itu kebanyakan dari negara-negara peradaban barat. Indonesia mayoritas Islam, tapi sedikit yang mengirimkan ke Suriah. Di barat, mereka berangkat sendiri. Kalau di Indonesia, diberangkatkan.

Islam phobia juga menyebar di seluruh negara barat. Ditambah dengan pascabom Sarinah, beberapa negara makin mewaspadai keamanan Indonesia. Sehingga stigma ‘Islam teroris’ pun menguat di Indonesia. Bagaimana pandangan Anda?

Saat ini seolah-olah Indonesia sepakat membagi dua label Islam garis keras dan Islam moderat. Yang merepotkan orang seperti saya ini (Syiah), dalam satu hal mereka anggap saya ini orang fundamentalis yang menjalankan agama dengan taat. Nah dari fundamentalis menuju ke garis keras itu tinggal selangkah saja.

Dari isu ini, kasihan orang-orang yang benar-benar ingin menjalankan agamanya, lalu mereka terjebak dalam kelompok-kelompok radikal. Atau akhirnya terkena labeling sebagai kelompok radikal.

Saya menemukan di beberapa daerah, ada orang yang mulai kembali kepada Islam, dia menemukan nilai hidupnya dalam Islam. Nah, si pembina mereka itu langsung kelompok garis keras.

Misalnya para artis yang celananya tiba-tiba menjadi jingkrak, dahinya menghitam, sudah ramai. Itu tanda kesolehan dan kita harus turut berbahagia. Cuma sayang guru mengaji mereka kebanyakan dari kelompok garis keras.

Saya pernah ke Papua, ada seorang muslim di sana dari Bugis, dia mau kasih aqiqah. Karena di sana tidak banyak ulama Islam, mereka mengirimkan ke perkampungan Islam garis keras. Letaknya tidak jauh dari lapangan terbang Sentani. Banyak orang Papua masuk Islam, kemudian islamnya garis keras. Mereka ingin menjalankan Islam dengan tulus, tapi terjerembab ke garis keras.

Saya tidak tahu sampai kapan labeling ini terus berlanjut.

Bagaimana dengan program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)?

Tapi belum nampak hasilnya. Karena ada kelompok yang berusaha menggeserkan radikal ke kelompok lain. Misal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa waktu lalu mengumpulkan berapa ratus dai dari berbagai daerah dan judulnya deradikalisasi. Tapi mereka memasukan syiah sebagai kelompok radikal. Itu sama saja menyebarkan kebencian dan tidak ada bedanya dengan kelompok garis keras yang mudah mengkafirkan.

Sebenarnya ada peran penting dari tokoh Islam atau Dai yang dari Islam moderat. Mengapa mereka tidak angkat bicara?

Dalam teori komunikasi ada yang disebut sebagai spiral kebisuan. Media sosial saat ini kebanyakan menampilkan dai dari Islam garis keras. Ada ribuan websitenya. Orang yang melihat itu, merasa pendapatnya tidak sama dengan itu. Jadi dia tidak mengungkapkan pendapatnya. Kalau dia mengungkapkan pendapatnya dia bakal di-bully. Jadi sebetulnya mereka yang mayoritas. Jadi ada lingkaran kebisuan yang menyebabkan orang-orang moderat itu tidak dikenal.

Anda dari kaum minoritas dan masuk DPR, sejauhmana pengaruh Anda untuk mengampanyekan toleransi beragama?

Pertama DPR kan mewakili mayoritas, saya di PDIP Perjuangan, partai pemenang pemilu. Tapi partai kecil ini bergabung menjadi mayoritas. Itu lah yang mengusasi parlemen. Itulah sulitnya menyuarakan kaum minoritas.

Mereka membela kelompok mayoritas dan partainya. Tapi saya percaya masih banyak juga di antara mereka yang membela kelompok minoritas, tapi tidak berani bersuara saja.

Biografi singkat Jalaluddin Rakhmat

Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Dia salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia. Kang Jalal besar di lingkungan Nahdiyyin (orang-orang NU). Semasa kecil ia mendalami buku-buku filsafat dan kenal dengan para filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche.

Dia pernah menempuh pendidikan di Fakultas Publisistik, Unpad Bandung. Kemudian, S2-nya diselesaikan di Fakultas Komunikasi dan Psikoloogi di Lowa State University. Dia lulus dengan predikat magna cum laude karena memperoleh 4.0 grade point average. Terakhir, S3-nya diselesaikan di Australian National University dan memperoleh gelar doctor ilmu politik.

Saat ini Kang Jalal menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sejak Juli 2000. Sejak itu penganut Syiah terus melonjak sampai 2,5 juta orang. Dia pun mendirikan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab. Lebih dari 45 buku sudah dia tulis dan diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI